Tidak tahan dengan makian Arfah yang seolah-olah lebih menghargai sekarung beras ketimbang persahabatannya, Ghali pun terpaksa mengeluarkan kalimatnya untuk mengingatkan Arfah betapa dirinya telah berbuat baik kepadanya.
Utang harus tetap dibayar, tapi bukan dengan makian cara menagihnya, sampai-sampai nilai dan etika serta pengorbanan atas nama persahabatan menjadi terlupakan. Begitulah kalimat Ghali kepada Arfah.
Seiring berjalannya waktu, persahabatan menegang lalu putus karena tidak kuat melawan arus hidup. Kini Ghali sendirian dengan keteguhannya. Utang beras telah diselesaikannya.
Kini, Ghali merenung dalam kegelapan hidupnya, demi persahabatannya ia rela berbagi hidup, demi persahabatannya ia rela menolak pekerjaan disebuah perusahaan lokal dengan gaji lebih dari delapan juta rupiah perbulan.
Pengorbanan yang terhapuskan hanya karena sekarung beras senilai tidak lebih dari dua ratus ribu rupiah.
Yah, itulah gambaran sebuah kehidupan didunia yang keras. Ibaratnya pertarungan politik merebut kursi dan kekuasaan, saling memanfaatkan, saling menjatuhkan.
Tidak jarang kita menemukan orang yang mengorbankan orang yang lainnya untuk tetap bertahan hidup. Tidak jarang pula kita temukan orang yang menjulurkan lidahnya dan menjilat pantat orang yang lainnya untuk tetap mempertahankan hidupnya.
Sangat sering kita temukan orang yang memuji-muji dan mengangkat orang yang sedang diatas lalu menjatuhkan dan meninggalkan orang yang sedang jatuh padahal dahulu pernah memujanya.
Inilah hidup dan sesungguhnya hidup ini adalah perjalanan politik yang panjang. Semuanya ditentukan oleh strategi untuk bertahan dan meraih apa yang dicita-citakan dalam hidup. Seperti layaknya, perebutan kursi presien, siapa yang hebat strategi taktiknya, dialah yang akan mendapatkan kursinya.
Dan pada dasarnya, perjuangan tiap-tiap manusia adalah soal bagaimana memperjelas dan mempertahankan eksistensinya untuk kemudian menyusun strategi pencapaian tujuan hidupnya.
Bagaimana kita menjalaninya dengan cara kita tanpa harus mengorbankan orang lain. Bagaimana kita merebut tujuan kita tanpa ada tumbal. Karena tidak ada seorang manusia pun yang mau menjadi tumbal untuk dikorbankan, termasuk untuk tujuan meraih sebuah kekuasaan apalagi hanya untuk sekedar membeli nasi campur diwarung makan.