Mohon tunggu...
Humaniora Artikel Utama

Sastra, Katarsisme, dan Generasi Galau

28 Maret 2017   10:43 Diperbarui: 29 Maret 2017   10:00 1679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastra dapat menjadi katarsis atas kegalauan yang dihadapi generasi muda.

Sebagai bagian dari unsur budaya, seni sastra telah begitu lekat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak petatah-petitih yang disampaikan melalui cerita atau puisi lama mampu mengisi ruang-ruang kosong dalam jiwa masyarakat. Para pujangga menempati kedudukan terhomat karena dianggap memiliki ilmu yang tinggi dan terpelajar. Segala perkataannya dianggap berharga melebihi mutiara. Di lingkungan kerajaan pun, kedudukan para pujangga sangat penting. Para pujangga menjadi penasihat para raja yang dapat menunjukkan jalan kebenaran. Sehingga tidak heran kalau kemudian banyak muncul karya sastra yang mengisahkan raja dan seputar kehidupan istana. Dalam sejarah Jawa, kita mengenal karya adiluhung Arjuna Wiwahakarya Mpu Kanwa dan Negara Kertagama karya Mpu Prapanca.

Ajip Rosidi (1995) mengatakan bahwa kegemaran menggunakan kata-kata yang bertuah, yang secara indah menyampaikan kebenaran yang hakiki, menyebabkan kesusastraan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup bangsa kita. Boleh dikatakan bahwa masyarakat pada masa itu merupakan masyarakat yang “nyastra”. Kata-kata indah dan bermakna yang disampaikan melalui pantun dan syair mampu mengisi kehidupan rohani masyarakat.

Sebelum bahasa Melayu dan sastra Melayu berkembang di wilayah nusantara, bahasa dan sastra daerah sudah lebih dulu ada. Bahasa Jawa, Sunda, Bugis, dan Bali telah memiliki khazanah kesastraan yang kaya. Persebarannya dipengaruhi pula oleh masyarakat pengguna bahasa daerah tersebut yang juga sangat banyak, khususnya bahasa Jawa dan Sunda.

Meskipun kesusastraan sudah ada sejak lama, tetapi karya sastra terus mengalami perkembangan sampai sekarang, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat. Pengaruh Barat tidak dimungkiri telah mengubah persepsi masyarakat tentang sastra, sehingga muncul dikotomi sastra lama atau klasik dan sastra modern. Modernisasi sastra Indonesia muncul semenjak adanya pengaruh sastra Barat yang lebih universal dari segi tema dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai media ungkapnya. Sastra modern tidak lagi berkutat pada mitos, legenda, dan cerita seputar istana, serta tidak lagi menggunakan bahasa Arab-Melayu atau bahasa daerah sebagai media ungkapnya. Menggeliatnya sastra Indonesia modern sejalan dengan menggeliatnya cara berpikir masyarakat Indonesia yang mulai dipenuhi kaum intelektual bermahzab Barat.

Masa Abdullah bin Abdur Kadir Munsyi disebut-sebut sebagai penutup zaman lama dan menjadi awal lahirnya sastra Indonesia modern. Peralihan ini terutama diwarnai sikap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang mulai berkiblat ke Barat dengan banyak bergaul dengan orang Inggris. Di satu sisi Abdullah dianggap sebagai “cahaya fajar zaman baru”, namun di sisi lain dikecam oleh masyarakat tradisional karena selalu mengejek dan mengecam raja-raja di tanah Melayu (Zuber Usman, 1959). Apalagi pada masa itu kerajaan-kerajaan besar di tanah Melayu dan Jawa mulai runtuh oleh keperkasaan bangsa penjajah, seperti Portugis, Inggris, dan Belanda.

Pengaruh Barat tersebut tergambar dari cara berpikir Abdullah yang mulai objektif dan berani mengemukakan pendapatnya. Sikap seperti itu yang tidak ada pada masyarakat lama yang segala sesuatu sangat bergantung pada penguasa dan aturan adat yang mengekang. Bahkan, pada masa Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana dengan tegas mengkritik bentuk puisi lama, seperti syair dan pantun yang dianggapnya tidak menjadi media ekspresi penyairnya, tetapi hanya merupakan kerajinan orang-orang tua yang nyinyir antara kantuk dan mimpi belaka (Ajip Rosidi, 1995). Meskipun demikian, sastra lama, baik prosa maupun puisi tidak berarti harus dimusnahkan. Pantun, syair, gurindam, hikayat, dan cerita rakyat lainnya masih diapresiasi, dikaji, dan dipelajari sampai sekarang. Walau bagaimana pun, karya-karya tersebut mampu memberikan informasi mengenai keadaan masyarakat pada zamannya. Lebih dari itu, ternyata sastra lama sangat kaya kandungan nilai-nilai dan tata-titi aturan hidup yang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Kandungan nilai-nilai adiluhung tersebut banyak bersumber dari ajaran agama dan pengalaman hidup sehingga perlu digali dan diaplikasikan kembali dalam kehidupan saat ini.

Sastra sebagai Katarsis

Saat ini, pengertian sastra sebagai seni dianggap mulai bias. Ada yang beranggapan bahwa sastra tidak lagi berada di wilayah kesenian seperti halnya seni musik atau rupa. Hal ini disebabkan sastra lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Selain itu, media ungkap sastra adalah kata. Kata bukan saja bunyi bahasa, melainkan mengandung makna yang luas dan dalam. Media ungkap seperti ini tidak ditemukan dalam media dalam seni musik atau seni rupa. Kondisi seperti ini dinilai Jakob Sumardjo (1999) telah menciptakan jarak antara seni dan sastra. Sastra justru lebih akrab bergumul dengan buah pikiran yang mempermasalahkan segala pengalaman manusia yang luas, termasuk dengan filsafat. Terlepas dari pemaknaan sastra sebagai seni atau bukan, karya sastra itu sendiri telah diakui sebagai karya yang memiliki keindahan dan kebermanfaatan (dulce et utile).

Kedekatan sastra dengan pikiran dan jiwa itulah menjadikan dirinya semacam katarsis. Para sastrawan atau pembaca sastra dapat melepaskan beban emosi, tekanan mental, kegelapan batin, kegaduhan jiwa, dan keruwetan hidup. Mereka akan dibawa pada dunia perenungan yang tenang, sehingga mampu melahirkan buah pikiran yang jernih, kebijaksanaan, serta mampu menjalin kembali tali kasih dengan Sang Maha Pencipta. Hal itulah yang dilakukan masyarakat terdahulu sehingga mereka mampu melahirkan kebijaksanaan yang tergambar dari kata-kata yang diucapkan dan hidup menyatu dengan alam semesta.

Sastra sebagai pembebas dan pencerah jiwa semakin nyata manakala ilmu psikologi menggunakan media puisi sebagai alat terapi jiwa. Maka muncullah istilah psychopoetry atau poetry therapy yang menarik untuk dicermati. Terapi puisi ini diterapkan kepada masyarakat yang terganggu kehidupan jiwanya.

Jakob Sumardjo (1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa gangguan-gangguan jiwa yang menjelma dalam kecenderungan lekas marah, sedih, terhina, kecewa, bingung, ragu-ragu, tegang, tertekan, ingin menyendiri, dan merasa disalahkan, lambat-laun hilang lewat penulisan puisi. Jadi, orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan dalam hidupnya bisa terbebas dari segala belenggu dengan terapi puisi, dengan cara menulis puisi.

Selain menulis puisi, membaca novel, cerpen, atau puisi pun mampu membebaskan belenggu jiwa. Karya-karya sastra yang bernilai tinggi bisa menjadi obat dan pengisi ruang-ruang kosong dalam batin kita, baik karya sastra lama maupun modern. Kata-kata indah dan bermakna akan mampu menyentuh relung-relung jiwa, menyadarkan manusia dari kekhilafan, serta dimensi rohani dalam diri manusia. Sebab, selain agama, kesenian, dan filsafat, kesusastraanlah yang dapat memenuhi dimensi rohani manusia. Ketika manusia sudah jauh dari agama, tidak menikmati kesenian, atau alergi terhadap filsafat, maka sastra dapat menjadi media untuk menyadarkan manusia agar kembali pada agama, menikmati kesenian, dan melahirkan kebijaksanaan hidup seperti halnya para filsuf.

Sastra di Tengah Pusaran Generasi Galau

Tidak berlebihan kiranya jika saya mengatakan bahwa generasi yang lahir sekarang adalah generasi galau. Betapa tidak, mereka begitu cemas dan gagap menjalani kehidupan. Ungkapan-ungkapan kegalauan, kecemasan, hiruk-pikuk pikiran, dan segala keputusasaan tergambar jelas dalam berbagai media sosial yang berkembang saat ini. Inikah yang dimaksud dengan masyarakat modern?

Di era globalisasi saat ini, teknologi tinggi (hi-tech) mewarnai sekaligus memengaruhi pola hidup dan cara berpikir masyarakat, khususnya generasi muda. Cara berbahasa pun mengalami bentuk konvensi baru seiring makin berkembangnya teknologi tersebut. Terkadang kata sebagai alat ucap pikiran dan perasaan sudah tidak lagi menunjukkan keluhuran etika dan norma. Di sisi lain, bahasa yang keinggris-inggrisan makin digandrungi dan mewarnai cara berkomunikasi masyarakat. Perlu upaya keras untuk mengindonesiakan kembali konvensi bahasa yang sudah berkembang sehingga bercita rasa Indonesia. Apakah karya sastra yang muncul mampu menangkap fenomena ini dan menyadarkan mereka? Ataukah karya sastra yang lahir justru terbawa arus kehidupan mereka yang galau, sehingga melahirkan “sastra alay”?

Pemujaan terhadap produk canggih, sebetulnya telah menggiring kita pada situasi gamang, bingung, dan hampa. Secara perlahan kehidupan agama dijauhkan agar tidak mengusik keasyikan kita menikmati teknologi. Tanpa disadari, kita telah diseret ke dalam wilayah yang gelap. John Naisbitt menyebutnya sebagai “zona mabuk teknologi”.

Lebih lanjut Naisbitt (2001) memaparkan bahwa janji teknologi ibarat bujukan sang dewi penggoda yang terdengar begitu manis dan merdu, sehingga kita tidak mampu menolaknya. Setiap hari, tanpa henti, kita dikelilingi oleh janji teknologi, yang disampaikan melalui iklan kemasan, juga melalui bujukan para wiraniaga, mitra-kerja, dan teman. Dan sebagai masyarakat yang didera stres dan dikejar waktu, kita memohon agar bisa mendapat solusi yang lebih baik. Kita menelan program langkah-demi-langkah secepat program itu dikeluarkan dan berpaling ke teknologi untuk memperoleh jawaban: dari lebih baik ke lebih cerdas, dari yang baru ke revolusioner, dari yang cepat ke seketika, dari keselamatan ke keamanan, dari yang mudah ke tanpa upaya, dari yang bersih ke steril, dari kekuatan ke kinerja. Akan tetapi, seperti nyanyian sang dewi penggoda, suara teknologi bisa memperdaya. Suara itu membujuk, lalu menjerat. Bahwa ternyata teknologi tidak bisa menjamin kebahagiaan hidup secara penuh, karena di sisi lain kita pun harus tetap mempertahankan eksistensi sebagai manusia yang bermartabat. Di sini kita dapat belajar menyadari dampak teknologi terhadap kehidupan sehari-hari kita, keberagamaan kita, kesenian dan kemanusiawian kita.

Karya sastra tumbuh dan berkembang karena keberadaan (eksistensi) manusia. Anggapan ini lahir  karena kita menyadari bahwa sastra merupakan bagian dari kehidup­an. Tentang hal ini, Teeuw (1982) menyatakan bahwa sastra adalah gejala universal yang terdapat pada setiap masyarakat manusia. Karya sastra juga menjadi media subjektif yang mencoba mengangkat persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, antara sastra dan masyarakat terjadi hubungan yang saling mempenga­ruhi.

Sangat wajar jika kemudian karya sastra yang muncul mengikuti zaman yang berkembang begitu pesat, termasuk dalam penggunaan bahasa sebagai medianya. Namun, perkembangan bahasa itu sejatinya tidak akan mengubah esensi sastra sebagai katarsis atau penyedia ruang sunyi bagi manusia untuk merenung. Kita bisa lihat fenomena karya sastra yang muncul saat ini tetap membawa tema-tema kesejatian, ketuhanan, ketangguhan, dan kemanusiaan untuk menyadarkan manusia akan makna kehidupan.

Dengan demikian, sastra tetap bisa dijadikan alat terapi psikologis bagi generasi yang tengah diterpa kegalauan sebagai akibat pengaruh kemajuan teknologi. Sebab, kekosongan jiwa ternyata tidak bisa dipenuhi oleh perangkat teknologi dan kehidupan yang hingar bingar, penuh suara “bip-bip”, deringan, dan kilatan cahaya.

Kesejatian Sastra

Karya sastra sebagai salah satu karya budaya merupakan tanggapan (respons) sastrawan terhadap lingkungannya yang diwujudkan secara estetis dan memiliki nilai keindahan. Oleh karena itu, kelahiran karya sastra selalu memiliki nilai guna bagi masyarakat. Kandungan nilai suatu karya sastra merupakan unsur yang esensial dari karya itu secara keseluruhan. Telaah yang mendalam terhadap suatu karya sastra, bukan saja akan memberi pengertian tentang latar belakang budaya pengarangnya melainkan juga mengungkapkan ide-ide dan gagasan sastrawannya dalam menanggapi situasi yang ada di sekelilingnya.

Kesenyapan menyuburkan pikiran, perenungan mengembangkan kebijaksanaan, mendengarkan menghasilkan kemanusiaan. Manakala tak ada kesenyapan, tak akan ada ruang untuk berpikir. Di situlah peran sastra sebagai penyedia ruang senyap agar kita senantiasa berpikir di tengah hiruk-pikuk kehidupan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun