Selain menulis puisi, membaca novel, cerpen, atau puisi pun mampu membebaskan belenggu jiwa. Karya-karya sastra yang bernilai tinggi bisa menjadi obat dan pengisi ruang-ruang kosong dalam batin kita, baik karya sastra lama maupun modern. Kata-kata indah dan bermakna akan mampu menyentuh relung-relung jiwa, menyadarkan manusia dari kekhilafan, serta dimensi rohani dalam diri manusia. Sebab, selain agama, kesenian, dan filsafat, kesusastraanlah yang dapat memenuhi dimensi rohani manusia. Ketika manusia sudah jauh dari agama, tidak menikmati kesenian, atau alergi terhadap filsafat, maka sastra dapat menjadi media untuk menyadarkan manusia agar kembali pada agama, menikmati kesenian, dan melahirkan kebijaksanaan hidup seperti halnya para filsuf.
Sastra di Tengah Pusaran Generasi Galau
Tidak berlebihan kiranya jika saya mengatakan bahwa generasi yang lahir sekarang adalah generasi galau. Betapa tidak, mereka begitu cemas dan gagap menjalani kehidupan. Ungkapan-ungkapan kegalauan, kecemasan, hiruk-pikuk pikiran, dan segala keputusasaan tergambar jelas dalam berbagai media sosial yang berkembang saat ini. Inikah yang dimaksud dengan masyarakat modern?
Di era globalisasi saat ini, teknologi tinggi (hi-tech) mewarnai sekaligus memengaruhi pola hidup dan cara berpikir masyarakat, khususnya generasi muda. Cara berbahasa pun mengalami bentuk konvensi baru seiring makin berkembangnya teknologi tersebut. Terkadang kata sebagai alat ucap pikiran dan perasaan sudah tidak lagi menunjukkan keluhuran etika dan norma. Di sisi lain, bahasa yang keinggris-inggrisan makin digandrungi dan mewarnai cara berkomunikasi masyarakat. Perlu upaya keras untuk mengindonesiakan kembali konvensi bahasa yang sudah berkembang sehingga bercita rasa Indonesia. Apakah karya sastra yang muncul mampu menangkap fenomena ini dan menyadarkan mereka? Ataukah karya sastra yang lahir justru terbawa arus kehidupan mereka yang galau, sehingga melahirkan “sastra alay”?
Pemujaan terhadap produk canggih, sebetulnya telah menggiring kita pada situasi gamang, bingung, dan hampa. Secara perlahan kehidupan agama dijauhkan agar tidak mengusik keasyikan kita menikmati teknologi. Tanpa disadari, kita telah diseret ke dalam wilayah yang gelap. John Naisbitt menyebutnya sebagai “zona mabuk teknologi”.
Lebih lanjut Naisbitt (2001) memaparkan bahwa janji teknologi ibarat bujukan sang dewi penggoda yang terdengar begitu manis dan merdu, sehingga kita tidak mampu menolaknya. Setiap hari, tanpa henti, kita dikelilingi oleh janji teknologi, yang disampaikan melalui iklan kemasan, juga melalui bujukan para wiraniaga, mitra-kerja, dan teman. Dan sebagai masyarakat yang didera stres dan dikejar waktu, kita memohon agar bisa mendapat solusi yang lebih baik. Kita menelan program langkah-demi-langkah secepat program itu dikeluarkan dan berpaling ke teknologi untuk memperoleh jawaban: dari lebih baik ke lebih cerdas, dari yang baru ke revolusioner, dari yang cepat ke seketika, dari keselamatan ke keamanan, dari yang mudah ke tanpa upaya, dari yang bersih ke steril, dari kekuatan ke kinerja. Akan tetapi, seperti nyanyian sang dewi penggoda, suara teknologi bisa memperdaya. Suara itu membujuk, lalu menjerat. Bahwa ternyata teknologi tidak bisa menjamin kebahagiaan hidup secara penuh, karena di sisi lain kita pun harus tetap mempertahankan eksistensi sebagai manusia yang bermartabat. Di sini kita dapat belajar menyadari dampak teknologi terhadap kehidupan sehari-hari kita, keberagamaan kita, kesenian dan kemanusiawian kita.
Karya sastra tumbuh dan berkembang karena keberadaan (eksistensi) manusia. Anggapan ini lahir karena kita menyadari bahwa sastra merupakan bagian dari kehidupan. Tentang hal ini, Teeuw (1982) menyatakan bahwa sastra adalah gejala universal yang terdapat pada setiap masyarakat manusia. Karya sastra juga menjadi media subjektif yang mencoba mengangkat persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, antara sastra dan masyarakat terjadi hubungan yang saling mempengaruhi.
Sangat wajar jika kemudian karya sastra yang muncul mengikuti zaman yang berkembang begitu pesat, termasuk dalam penggunaan bahasa sebagai medianya. Namun, perkembangan bahasa itu sejatinya tidak akan mengubah esensi sastra sebagai katarsis atau penyedia ruang sunyi bagi manusia untuk merenung. Kita bisa lihat fenomena karya sastra yang muncul saat ini tetap membawa tema-tema kesejatian, ketuhanan, ketangguhan, dan kemanusiaan untuk menyadarkan manusia akan makna kehidupan.
Dengan demikian, sastra tetap bisa dijadikan alat terapi psikologis bagi generasi yang tengah diterpa kegalauan sebagai akibat pengaruh kemajuan teknologi. Sebab, kekosongan jiwa ternyata tidak bisa dipenuhi oleh perangkat teknologi dan kehidupan yang hingar bingar, penuh suara “bip-bip”, deringan, dan kilatan cahaya.
Kesejatian Sastra
Karya sastra sebagai salah satu karya budaya merupakan tanggapan (respons) sastrawan terhadap lingkungannya yang diwujudkan secara estetis dan memiliki nilai keindahan. Oleh karena itu, kelahiran karya sastra selalu memiliki nilai guna bagi masyarakat. Kandungan nilai suatu karya sastra merupakan unsur yang esensial dari karya itu secara keseluruhan. Telaah yang mendalam terhadap suatu karya sastra, bukan saja akan memberi pengertian tentang latar belakang budaya pengarangnya melainkan juga mengungkapkan ide-ide dan gagasan sastrawannya dalam menanggapi situasi yang ada di sekelilingnya.
Kesenyapan menyuburkan pikiran, perenungan mengembangkan kebijaksanaan, mendengarkan menghasilkan kemanusiaan. Manakala tak ada kesenyapan, tak akan ada ruang untuk berpikir. Di situlah peran sastra sebagai penyedia ruang senyap agar kita senantiasa berpikir di tengah hiruk-pikuk kehidupan.***