Balian van Ibelin bersama sisa-sisa pasukan Eropa lainnya dengan gigih mempertahankan Yerusalem, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Saladdin. Pertempuran berakhir dan Kota Suci itu berpindah tangan, berganti penguasa.
Pengepungan Yerusalem (1187) bagian dari episode panjang Perang Salib, sebagaimana dikisahkan dalam film "Kingdom of Heaven" (2005) memang tidak seluruhnya sejalan dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa itu. Namun beberapa kejadian juga dialog dalam film ini menunjukkan bahwa Perang Salib tidak seluruhnya dilandasi motivasi keagamaan dan sentimen permusuhan Kristen dan Muslim.
Ada begitu banyak faktor yang memengaruhi jalannya peperangan ini, sehingga pada tahap-tahap tertentu sebagian orang akan melihat, betapa agama dijadikan alat yang tidak saja mengancurkan pada suatu masa, tetapi meninggalkan teror yang bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun kemudian.
Agama dijadikan pembenaran untuk mengadakan pertempuran dan pertumpahan darah selama bertahun-tahun. Kemanusiaan dilindas, dan penghormatan atas kehadiran yang lain dilenyapkan dengan mencari legitimasi dalam ayat-ayat kitab suci dan tafsir kepemilikan atas Yerusalem, kota yang disucikan oleh agama-agama kaum keturunan Abraham.
Sejarah mencatat, atas nama agama banyak peradaban besar lahir, dan banyak pula peradaban besar runtuh atau diruntuhkan. Di antara sekian peristiwa itu, Perang Salib mendapat tempat istimewa dalam sejarah, karena ia memperhadapkan secara langsung dua peradaban besar, juga dua agama besar yang mendominasi masing-masing bagian dunia yang berbeda kala itu.
Namun, satu hal yang sama di antara kedua kubu itu adalah ambisi dan keserakahan manusia yang tidak segan-segan mengorbankan yang lain demi kemegahan yang dibalut imjinasi semu pengabdian kepada agama. Perang Salib menunjukkan, seberapa sucinya ajaran satu agama, ketika ia dibelokkan ke arah yang salah oleh para penganutnya, maka yang kemudian dikisahkan ialah tragedi dan bencana.
Ada hal lain yang boleh jadi perlu ditempatkan mengatasi posisi semua agama, yakni Kemanusiaan. Bila Kemanusiaan ditempatkan melampaui posisi agama, maka kisah peradaban dan sejarah dunia akan lebih banyak dihiasi toleransi, penerimaan akan "yang lain", dan keharmonisan. Ketika semua itu mampu diwujudkan, sesungguhnya Dia Yang Tersembunyi sedang tersenyum menyaksikan buah dari keputusan-Nya menciptakan makhluk fana bernama Manusia.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H