Jenazahmu tiba, sudah malam
lampu-lampu kota redup menahan haru
air mata mama-mama, gugur bersama pucuk-pucuk sepe
Tiga tahun lalu ia berangkat, kami tak tahu ke mana
ia masih gadis belia, kala itu
perginya adalah tanda tanya yang tak tentu mendapat jawab
hingga hari ini,Â
ia kembali tanpa berbagi cerita
tentang lelahnya di tanah orang
Lelaki pemamah sirih pinang itu berkisah
tentang kau yang kini menjadi jenazah
gerimis turun tipis-tipis, samar kulihat bening menetes
di keriput pipi lelaki tua itu
Kematiannya ialah kematian yang lain,
dengan nama yang lain, umur yang lain
alamat yang lain, di negeri lain
tapi aku tetap mengenalinya,
sebab hanya dia, anak gadis semata wayangku
Kisahnya berakhir dengan isak tertahan di ujung lidahnya
Aku hanya bisa bergumam, dalam hati yang terbakar amarah
sebab di negeri ini, orang tak bosan saling memangsa
manusia-manusia ditukar lembar-lembar rupiah
sedang yang berdasi sibuk memoles senyum sambil tak bosan menebar janji,Â
meski terus diruwat nyala seribu lilin
Ah, sahabat yang malang
di negeri  yang tak lagi berlimpah cendana ini
aku heran janji-janji manis masih mengalir
bersama datangnya peti-peti mati.
Kupang, 19
Gusty Fahik
(Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT-KampungNTT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H