Mohon tunggu...
Gusty Fahik
Gusty Fahik Mohon Tunggu... Administrasi - Ayah dan pekerja. Menulis untuk tetap melangkah.

I'm not who I am I'm who I am not (Sartre)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Amien Rais dan Tanda dari Langit

16 Januari 2019   10:48 Diperbarui: 17 Januari 2019   08:11 1954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amien Rais telah melihat tanda. Bukan sembarang tanda. Amien melihat tanda dari langit. Sebuah isyarat yang menurut Amien tidak boleh diremehkan. Bagi Amien, tanda yang ia lihat adalah petunjuk bagaimana masa depan negara ini. Karena itu kepada para juru warta di Solo (13/01), Amien dengan blak-blakan bertutur bahwa tanda yang ia lihat mengisyaratkan pergantian presiden pada 2019 ini.

Ketika para politisi sibuk berdebat di televisi, dan ahli survey seperti Denny JA atau para peneliti LIPI sibuk membuat analisis berbasis data, Amien Rais cukup melihat tanda dari langit untuk mengetahui apa yang bakal terjadi di tahun politik ini.

Tidak ada yang bertanya bagaimana rupa tanda yang telah muncul dalam penglihatan Amien Rais. Mungkin para juru warta berpikir penglihatan seperti yang dialami Amien Rais adalah sebuah pengalaman spiritual yang sangat personal. Sesuatu yang tidak mungkin dialami sembarang orang. Hanya orang-orang dengan tingkatan spiritual dan laku rohani tertentu saja yang bisa mengalaminya.

Namun, justru di sinilah letak persoalannya. Bagaimana pengalaman yang sangat personal itu bisa dipakai sebagai ukuran untuk menentukan masa depan sebuah negara? Dalam kata lain, bagaimana pengalaman itu menjadi patokan bagi urusan-urusan politik yang menyangkut nasib banyak orang?

Penuturan Amien Rais tentang tanda dari langit ini setidaknya menyeret kita kembali pada zaman kerajaan-kerajaan. Di sana kekuasaan selalu dilihat sebagai sesuatu yang terberi dari atas, bukan sesuatu yang dikonstruksi dari bawah.

Ada campur tangan ilahi, dalam hal ini para dewa, yang memungkinkan seseorang bisa berkuasa atau tidak. Karena itu, tidak semua orang bisa memiliki kekuasaan, apalagi kekuasaan politik. Hanya orang-orang atau klan-klan tertentu saja yang layak memegang tampuk kekuasaan.

Hal ini kemudian membentuk sifat kekuasaan sebagai sesuatu yang bisa diwariskan. Artinya, seorang raja akan menurunkan kekuasaannya kepada anak laki-laki yang lahir dari benihnya sendiri (kecuali dalam kasus tertentu di mana raja tidak punya anak laki-laki). Sifat kekuasaan yang demikian lalu dilanggengkan oleh struktur masyarakat yang terdiri atas kelas-kelas sosial dengan pembagian peran masing-masing.

Meski demikian, bukan berarti orang dari lingkungan di luar istana tidak bisa menjadi penguasa. Ada kasus tertentu di mana orang yang bukan dari lingkaran istana bisa merebut kekuasaan. Bukti paling gamblang dapat kita lihat dari sejarah munculnya Ken Arok. Bagaimana bisa, Ken Arok yang bukan dari lingkaran istana itu bisa menjadi penguasa setelah menyingkirkan Tunggul Ametung?

Ken Arok sadar ia tidak mungkin diterima sebagai penguasa sebab latar belakang keluarganya yang termasuk golongan paling bawah dalam struktur masyarakat zaman itu. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa membuatnya diterima rakyat dan layak menjadi penguasa.

Kita tahu, dalam banyak catatan sejarah Ken Arok kemudian dinarasikan sebagai titisan dewata. Ada sosok ilahi dalam silsilah keluarganya. Darah dewata yang mengalir dalam nadinya menjadikan dia bukan seperti manusia pada umumnya.

Ia lahir dan ditakdirkan oleh kehendak langit untuk menjadi penguasa yang tidak saja menggulingkan Tunggul Ametung, melainkan juga Kertajaya, raja Kediri dan kelak memengaruhi jalannya sejarah raja-raja di Tanah Jawa.

Mengenai silsilah, kita ingat Prabowo sering dihubung-hubungkan dengan Pangeran Diponegoro. Penghubungan semacam ini bukan tanpa maksud. Ini perlu dilihat sebagai bagian dari upaya menunjukkan bahwa dalam nadi Prabowo mengalir darah pahlawan besar yang pernah menentang Belanda.

Pada sisi yang lain, Jokowi sering sekali dikaitkan dengan PKI. Bahkan ada yang dengan terbuka menyebarkan kebohongan bahwa Jokowi adalah turunan PKI. Di sini kita lihat bagaimana kontestasi soal silsilah dan asal-usul seorang  (calon) pemimpin dimainkan untuk menunjukkan siapa yang lebih berhak memegang tampuk kekuasaan berdasarkan tradisi dan kepercayaan masyarakat, terutama di Jawa.

Foto: Agung Pambudhy/detik.com
Foto: Agung Pambudhy/detik.com
Bila kita melihat sedikit lebih jauh, Prabowo bukan saja menunjukkan dirinya sebagai keturunan Diponegoro. Ia bahkan tampil seperti Diponegoro dengan menunggang kuda dan mengenakan keris di pinggangnya ketika menjumpai para pendukungnya di Gelora Bung Karno, Agustus 2014 silam.

Ia berusaha membangkitkan ingatan orang tentang Diponegoro dan Sukarno sekaligus. Ia berpakaian layaknya Sukarno, tetapi dengan menyelipkan keris dan menunggang kuda layaknya Diponegoro.

Menarik bahwa pada tahun 2014 itu, kala Prabowo menunjukkan diri sebagai keturunan dan berpenampilan layaknya sosok-sosok pahlawan, Jokowi justru membangun narasi sebagai bagian dari rakyat kebanyakan. Jokowi menandingi narasi Prabowo dengan menampilkan kesederhanaan yang membuatnya diterima rakyat. Orang-orang kebanyakan menganggap Jokowi sebagai bagian lain dari diri mereka.

Jokowi adalah salah satu dari rakyat kebanyakan yang tidak memerlukan legitimasi dari kayangan untuk naik ke tampuk kekuasaan. Saya ingat slogan yang gencar dikampanyekan waktu itu ialah: Jokowi adalah kita. Dengan itu Jokowi menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dikonstruksi dari bawah. Kekuasaan tidak melulu datang dari atas. Tidak perlu mengklaim diri sebagai titisan dewata untuk bisa menjadi pemimpin.

Kembali ke soal Amien Rais dan tanda yang dilihatnya, kita menanti apakah narasi yang menghubungkan pergantian presiden dengan tanda dari langit itu akan memengaruhi preferensi pemilih dalam pemilu April mendatang. Pada 2014 hal semacam itu terbutki tidak cukup efektif untuk mengalahkan Jokowi.

Kini pertarungan kembali diulang, termasuk narasi-narasi seputar sosok Prabowo pun Jokowi. Apakah narasi yang juga diulang akan melahirkan kemenangan atau akan mengulang kekalahan? Biarlah rakyat yang menentukan, sebab bukankah suara rakyat adalah suara Tuhan?

Sumber 
Amien Rais: Jangan Dianggap Remeh, Saya Sudah Melihat Tanda-tanda dari Langit
Prabowo Keturunan Pangeran Diponegoro

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun