"Buku ini tidak ada gunanya bagiku. Aku tidak paham. Kakak bisa ambil kembali dan jual atau kasih ke orang lain saja."
Aku menerima buku itu sambil tertawa terpingkal-pingkal dalam hati, sebab aku yakin ia pasti menyangka buku itu akan memberi penjelasan mendetail tentang kaum vegetarian sejagat, yang akan berguna bagi skripsinya. Halaman-halaman awal buku itu telah penuh dengan berbagai coretan layaknya dinding toilet kampus.Â
Tidak apa-apa. Toh buku itu miliknya dan ia berhak melakukan apapun atas buku itu. Ia mungkin tidak bertanya apapun tentang isi buku itu sebelum membelinya atau barangkali ia tertarik hanya dengan melihat judul buku itu saja. Apa peduliku?
Delapan bulan bisnis itu berjalan, modalku belum juga kembali. Beberapa kenalan yang dulu rajin mengecek kiriman buku-buku baru kini lenyap entah ke mana. Ada yang bahkan belum melunasi utangnya kepadaku. Jadilah aku kebingungan memikirkan cara melunasi sisa pinjaman istriku di koperasi swasta yang bunganya mencekik leher itu.
Beberapa penerbit masih menghubungiku untuk memberitahukan buku-buku baru yang sudah atau akan diterbitkan disertai informasi harga pemesanan di muka, dan lain-lain. Aku mengabaikan saja semua informasi itu. Tidak mungkin aku membalas mereka bahwa aku kini telah bangkrut dan terlilit utang.Â
Biar saja mereka terus menghubungiku sampai batas kesabaran mereka habis lalu mereka akan berhenti sendiri. Aku tidak berjualan lagi. Buku-buku yang tidak laku itu menumpuk di rumah kontrakanku. Kadang-kadang aku hanya duduk seharian memandangi tumpukan buku-buku yang kini menjelma gunung berapi yang bisa meletus kapan saja dan membunuhku.
Tinggal bersama tumpukan buku lama-lama membuatku berpikir untuk menjadi penulis. Mungkin nasibku akan berubah jika aku bisa menulis sebuah buku dan menjual buku yang aku tulis sendiri. Â
Aku larut dalam ketekunan mewujudkan keinginan menjadi penulis itu selama berminggu-minggu. Aku semakin sering mengabaikan hal-hal rutin yang harusnya kulakukan selagi istriku bekerja. Seiring dengan itu pertengkaran mulut di antara kami mulai terjadi.
Istriku wanita yang tangguh, sangat tangguh. Ia bekerja sehari penuh di sebuah  toko roti yang sibuk. Ia mulai kerja sejak jam delapan pagi hingga jam sembilan malam, tanpa sekalipun mengeluh tentang pekerjaannya itu. Istriku yang tangguh itu, tidak pernah membawa pulang keluhan apapun dari tempat kerjanya untuk dibagikan kepadaku. Kalau akhirnya kami mulai bertengkar itu lebih disebabkan oleh urusan rumah tangga belaka.
Setiap pulang kerja ia akan mengecek kondisi rumah, sambil mengoceh tentang pakaian kotor yang menumpuk, alat makan ditambah alat masak yang tidak kucuci, bak mandi yang belum dikuras, ranjang yang berantakan, dan sekian banyak hal lain yang memancing amarahku.
"Aku menulis. Aku akan menjadi terkenal suatu saat nanti."