"Hai Mas sombong, ga pernah kasih kabar!"
"Eh, cie-cie... udah jadi tukang foto keliling ternyata! Udah ga jadi tukang tarik-tarik kabel RJ 45 lagi ya masku?"
"Bosen Dek di Jakarta, mau di kampung aja."
"Uh, sombong... ajarin Ki ya!"
"Boleh aja, private tapi dek hanya kita berdua."
"Yeee, Ki bisa dipotong bebek angsa sama suami Ki, Mas Dud**. Lagian Mas udah pulang kampung, jauh...."
"Hii, siapa juga yang mau sama emak-emak?"
"Iiiiiiiih, mahmud tau!"Â Saya mau membalasnya, namun takut salah tulis.
Itu beberapa baris percakapan kembali kami di FB Messenger setelah bertahun-tahun tidak saling menyapa dan memberi kabar. Perkenalan kami dulu dimulai saat Friendster masih berjaya. Setelah saapan kembali hari itu, kami jadi sering chit-chat. Tentu saja dia ditemani suaminya biar tidak salah sangka. Belakangan suaminya yang rajin nge-chat duluan nanya ini-itu tentang dunia fotografi.
Saya hanya berpikir, enaknya hari ini semua informasi bisa lancar didapatkan hanya dengan menekan-nekan tuts di keyboard, tidak seperti saat saya pertama kali memegang SLR. Pusing mencari pencerahan demi sebuah kemajuan.
Kembali ke masalah semula, saya ceritakan kepada suaminya bahwa jika kita ingin memulai di dunia rekam beku, kita harus melewati beberapa langkah di jalan ini. Pertama, DSLR atau apa pun juga jenis kameranya merupakan produk teknologi, adalah kecanggihan, ada banyak tombol, ada banyak menu yang bisa diakses/diubah guna membuat hasil akhir yang menawan, mau tidak mau kita harus membaca buku manual terlebih dahulu untuk bisa mengerti sehingga dapat mempergunakannya dengan baik.
Kedua, ada sisi teknikal, meliputi dasar, harus bisa melihat cahaya, kemudian memahami jika pantulan cahaya yang mengenai permukaan sesuatu permukaan akan menghasilkan warna. Foto dapat tercipta jelas karena ada unsur-unsur pembentuk gambar, lalu kita harus mencoba menyusunnya hingga dapat terlihat ruang pembatas antara objek dan latar belakang. Sayangnya tidak ada jalan pintas untuk sisi teknikal di atas. Semua harus melewati proses. Hanya dengan rajin berlatih secara konsisten dan sabar maka semua itu dapat dipahami.
Seperti lebay ya, mungkin kebanyakan baca komik silatnya Tony Wong, tapi ini serius lho, "It's work, trust me" klo bahasa iklan bilang.
Ketika memutuskan masuk ke jalan tol, kita bisa mencari seseorang untuk digugu dan ditiru alias guru. Tidak perlu yang level 'setengah dewa', yang penting tidak pelit ilmu. Jika kesulitan menemukan guru saya bantu memperkenalkan, di K ini ada beberapa nama yang sudah malang melintang di dunia persilatan. Ada Paman Didiet, FG proporsional yang namanya udah ga asing di dunia persilatan. Pengalaman saya jika berkenalan dengan senior di fotografi, ujung-ujungnya kenal sama paman satu ini. Lanjut ada Paman Leonardo Sandan, udah ga diragukan lagi kiprahnya. Terus ada Abah Reca Ence Ar, FG yang berdomisili di Solo ini jabatan terakhir yang saya tahu, ketua Nikon Jateng. Lanjut ada Om Farid Wong, beliau Chief Editor majalah Exposure Magz, soft copy majalah ini bisa diunduh gratis, jadi banyak ilmu baru yang bisa kita dapatkan di sana.
Jika malu dan tidak percaya diri untuk mencari seorang eyang guru dan memutuskan untuk tetap melaju pada jalan arteri, yang harus kita lakukan akan sedikit rumit. Hal ini wajar karena kita tidak punya penuntun, tapi tetap masih bisa untuk belajar. Kita hanya perlu duduk diam di depan laptop/PC yang terhubung dengan world wide web, dan mengetikkan sejumlah kata kunci "stunning photograph" pada mesin pencari kesayangan, atau bisa ditambahkan genre yang kita ingin pelajari, misalkan human interest, tinggal mengubahnya menjadi "stunning human interest photography", dan kenapa harus ke dalam bahasa Inggris? Jawabnya simpel karena akan ditampilkan lebih banyak hasil yang muncul dibandingkan bila kita menggunakan bahasa Indonesia.
Salam satu kotak... kamera
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H