Busur dan anak panah merupakan alat yang sudah cukup tua dalam sejarah manusia, ada hampir ribuan tahun yang lalu. Pada mulanya alat ini hanya digunakan untuk berburu, fungsinya yang lebih cepat, dan akurat membuat panah bisa menggantikan fungsi atlatl atau tombak dengan pelontar sebagai alat untuk berburu yang lebih dulu dominan, perkembangannya kemudian panah dan busur berfungsi juga sebagai alat perang.Â
Begitu pula dengan Jemparing Jawi Mataraman, ini adalah kegiatan yang diambil dari memanah kerajaan Mataram Islam dulu. Mungkin jaman itu kegiatan memanah ini untuk berlatih para prajurit dalam kegiatan seni berperang ataupun untuk pembuktian para prajurit akan siapa yang paling 'titis'. Â Semangat yang terakhir inilah yang diadaptasi untuk uri-uri kabudayan Jawa, bedanya siapa saja bisa mengikutinya. Alatnya tetap sama, ada gendewa (busur) dan jemparing (anak panah), gendewanya pun tetap dipertahankan secara bentuk dan fisik terbuat dari bambu dan kayu, yang membedakan dengan olahraga memanah adalah Jemparing Jawi ini dilakukan sambil duduk bersila bukan berdiri, serta menggunakan busana Jawa. Targetnya pun berbeda dengan olahraga memanah yang menggunakan lingkaran, Jemparing Jawi menggunakan bandul, terbuat dari irisan serabut bambu yang diikat menjadi satu dan memiliki panjang sekitar 40 centimeter.
Mempunyai semangat melestarikan budaya dan bukan hanya 'titis-titisan', Jemparing Jawi juga mempunyai banyak filosofi, mulai dari
manah (baca: Jawa) yang berarti hati, falsafah
pamentange gendewa, pamentange qalbu, hingga makna rasukan takwa (busana Jawa) serta simbol kerajaan Mataram yang bersifat Ilahiah. Jadi tidak hanya olah raga, namun olah rasa juga turut berperan serta.
Inilah yang membuat saya ingin melihatnya secara dekat, kebetulan acaranya cukup dekat hanya lima menit dari rumah. Begitu sampai di alun-alun selatan, tapi kok sepi, jangan-jangan salah baca info dari
twitter kota Yogya, atau mungkin acaranya di alun-alun utara. Sampai di alun-alun utara juga sepi, walah salah juga. Ternyata acaranya ada di belakang Sasono Hinggil, alun-alun selatan. Akhirnya saya sampai di sana sedikit terlambat, acaranya sudah dimulai.
Sikap
sila sempurna sambil
patrap olah nafas mungkin sebagai awal bagaimana mempersiapkan diri sebaik-baiknya, saya melihatnya dari salah satu peserta dari Bali ini terlihat di lensa saya begitu tenang, dan udeng di antara blankon begitu kontras terlihat.
tujuhbw-57ac6d387797732e14ef05a1.jpg
Anak panah adalah aspek utama dia akan melesat menuju sasaran, dan
titis akan tercipta bila tepat.
Mempersiapkan anah panah.
Waktunya memasang
jemparing pada
gendewa.
Gaya para srikandi pun sangat meyakinkan.
Sambil menarik tali busur, posisi jempol menempel pada pelipis untuk menambah keakuratan dan stabilitas, mata fokus pada bandulan.
Setelah satu babak selesai, para juri bekerja menilai dan para pengambil anak panah sibuk mencabut anak panah yang menancap pada bandul maupun matras pengaman.
Menyerahkan jemparing pada peserta
Santai sejenak sambil becanda antara para peserta.
Dari kesemua ini, para peserta yang ikut berlaga biasanya tidak lagi mengejar hadiah yang disediakan, mereka hanya melatih raga dan rasa akan kehendak dan keinginan akan satu tujuan yang ada tiga puluh meter di depan mata, sambil melestarikan apa yang telah nenek moyang ciptakan, agar abadi adanya.
Di akhir acara, saya menemukan stiker yang menempel pada gendewa salah satu peserta yang agak kontradiksi,
science is my future. Mungkin maksudnya agar budaya dan sains bisa saling berdampingan abadi adanya.
Begitu akrabnya, hingga tidak ada gap. Turis mancanegara ataupun anak kecil yang menaiki sepeda bisa mendekat kepada para peserta.
Salam jepret.
nb: semua foto milik pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Lyfe Selengkapnya