KFC Indonesia, sebagai salah satu merek restoran cepat saji yang dikenal dengan jargon "Jagoan Ayam", kini dikabarkan tengah mengalami kerugian besar hingga alami PHK massal. Setelah pandemi Covid-19 mengguncang perekonomian global, KFC Indonesia tidak luput dari dampak yang merugikan. Bahkan, kerugian ini diperburuk dengan adanya boikot terhadap produk-produk Amerika, yang turut menganggu citra merek dan menurunkan penjualan.
Hingga kuartal III/2024, PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), pemilik jaringan waralaba KFC Indonesia, mencatatkan kerugian sebesar Rp557,08 miliar, angka tertinggi sejak pandemi Covid-19. Akibatnya, perusahaan memutuskan untuk menutup 47 gerai.
Berdasarkan laporan PT Fast Food Indonesia, hingga 30 September 2024, perusahaan hanya memiliki 715 gerai yang tetap beroperasi. Jumlah ini berkurang dari semula 762 gerai pada 31 Desember 2023.
Penutupan gerai KFC menyebabkan pengurangan jumlah karyawan. Per September 2024, jumlah karyawan KFC tercatat 13.715 orang dari yang semula 15.989 orang. Artinya, lebih dari 2 ribu karyawan yang telah dirumahkan imbas kerugian yang dialami KFC.
Apa sebenarnya yang menjadi penyebab kerugian yang dialami KFC?
Manajemen KFC Indonesia mengungkapkan dua faktor utama penyebab kerugian selama kuartal III/2024, yakni pemulihan usaha dari kondisi Covid-19 yang belum maksimal dan diperburuk dengan kampanye boikot produk-produk yang dianggap berafiliasi dengan Israel.
Akibatnya, kinerja keuangan KFC pun ikut memburuk, nilai aset perusahaan turut merosot menjadi Rp3,83 triliun per 30 September, turun dari yang semula Rp3,91 triliun pada akhir 2023.
Di tengah tekanan yang dihadapi, utang KFC juga membengkak menjadi Rp3,56 triliun. Tercatat selama kurun waktu empat tahun terakhir, perusahaan KFC tak pernah mendapatkan untung.
Keputusan Menutup Gerai dan PHK Massal: Langkah untuk Mengurangi Kerugian
Keputusan manajemen KFC Indonesia untuk menutup sejumlah gerai dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal merupakan langkah berat yang diambil. Boikot yang semakin populer di kalangan sebagian masyarakat Indonesia, berdampak langsung pada penurunan daya beli.
Penutupan 47 gerai hingga September 2024 dan pengurangan karyawan sebanyak 2.274 orang adalah respons manajerial untuk mengurangi beban biaya dan memperbaiki arus kas perushaaan. Namun, langkah ini jelas tidak tanpa konsekuensi. Selain merusak citra perusahaan, PHK massal juga menurunkan moral karyawan dan dapat memperburuk hubungan dengan publik tarkait isu ketenagakerjaan.
Meskipun pengurangan biaya menjadi hal yang diperlukan, manajemen KFC Indonesia harus segera mengimbangi keputusan ini dengan strategi pemulihan yang lebih proaktif. Fokus pada pengembangan layanan digital, penyesuaian produk dengan prefesensi lokal, serta komunikasi terbuka kepada konsumen adalah langkah yang harus diambil untuk memulihkan kepercayaan pelanggan dan mendukung keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang. Keputusan ini seharusnya bukan hanya soal bertahan, tetapi juga merencakanan pemulihan yang berkelanjutan.
Pengelolaan Biaya dan Strategi Akuntansi Manajemen
Dalam menghadapi kerugiannya, pengelolaan biaya menjadi kunci utama bagi KFC Indonesia. Dalam konteks akuntansi manajemen, perusahaan harus mampu mengidentifikasi biaya tetap dan variabel dengan cermat. Oleh karena itu, analisis Cost-Volume-Profit (CVP) perlu dilakukan untuk menentukan titik impas dan strategi untuk menurunkan beban biaya yang tidak produktif.
Selain itu, KFC Indonesia harus mempertimbangkan penggunaan metode Activity-Based Costing (ABC) untuk menganalisis dengan lebih tepat biaya yang dikeluarkan untuk setiap aktivitas yang dilakukan perusahaan. Pengurangan biaya yang tidak terkait langsung dengan pelayanan kepada pelanggan, seperti biaya pemasaran yang tidak efektif, bisa menjadi langkah strategi untuk meningkatkan efisiensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H