Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mari, Pertimbangkan Lagi Pentingnya Gadget untuk Hidup Kita

4 Mei 2019   13:56 Diperbarui: 4 Mei 2019   19:03 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Saat mengunjungi rumah kakek nenek di Gunung Kidul Yogyakarta, saya menyadari betapa selama ini hari-hari saya sangat bergantung dengan internet dan mempertanyakan ulang apakah kegiatan itu benar-benar berarti?

Di gunung susah sinyal, jangankan internet, telepon pun putus-putus. Mencoba refresh browser, mobile data hingga restart handphone berulang kali malah bikin frustrasi, tidak merubah apa-apa. 

Frustrasi mengindikasikan kekecewaan yang teramat mendalam, entah kenapa, yang belakangan baru saya sadari tak lain karena rasanya ada satu hal penting dari hidup saya telah direnggut.

Selama ini internet menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hampir seluruh aktivitas saya, kecuali di saat-saat handphone memang tidak mungkin dilibatkan seperti mandi, berpakaian, berkendara, nonton bioskop, atau pemeriksaan kesehatan. 

Bekerja 8 jam di kantor, tetapi konektivitas dengan atasan atau sesama rekan kerja mau tak mau dipantau dan direspon jika perlu 24 jam di grup WhatsApp.

Di waktu-waktu lengang seperti saat sarapan, makan siang, waktu makan malam sesekali dibarengi dengan streaming vlog-vlog seru di Youtube, menonton film atau series kesukaan, membaca Webtoon, mengikuti berita-berita ter-update, atau sekadar scroll-scroll feed/story Instagram following-following kita atau public figure favorit. Bahkan saat berkumpul dengan teman-teman, setidaknya kegiatan perlu didokumentasikan di instastory dan pembicaraan tak jauh-jauh seputar perbincangan netizen di dunia maya.

Karena kondisi saya di gunung, mau tak mau saya harus mengalah bukan? Saya lepaskan segala hasrat untuk berinternet, memalingkan handphone dan mencoba lebih fokus pada hal-hal yang bisa dilakukan. Sesungguhnya selama 4 hari di gunung, tidak ada hal luar biasa yang saya lakukan namun kesudahannya saya merasa momen singkat itu berkesan dan melekat di ingatan. Rupanya ada fakta yang dapat menjelaskan ini!

Cara Belajar Efektif
Cara belajar efektif bagi siswa yang berlaku umum di mana pun adalah menciptakan ruang dan suasana belajar yang tenang sehingga siswa dapat fokus atau berkonsentrasi. Oleh karena itu, handphone atau keributan sangat dihindari dalam kegiatan belajarnya, baik di sekolah maupun di rumah. 

Konsentrasi akan memudahkan manusia untuk menyerap informasi atau apapun yang dibaca, didengar, dan dilihat secara menyeluruh, serta memberikan dampak pada ingatan jangka panjang. Sebaliknya jika tidak berkonsentrasi, manusia cenderung menyerap informasi sepotong-potong dan akan lebih mudah dilupakan dalam waktu singkat.

Hal tersebut berlaku sama saat kita menjalani aktivitas sehari-hari. Melakukan sesuatu tanpa distraksi membuat kita lebih berkonsentrasi dan aware dengan lingkungan atau aksi-reaksi yang terjadi ketika kegiatan berlangsung. Bisa dibayangkan bagaimana jika saya mengobrol dengan kakek nenek sambil bermain internet?

Mungkin saja ada informasi-informasi yang disampaikan oleh kakek nenek, tetapi terlewat begitu saja tanpa respon yang benar sesuai harapan mereka dan tidak diingat di kemudian hari, padahal informasi tersebut mungkin saja menyiratkan sesuatu yang penting. Juga ada emosi yang tak berbalas jika saya tidak memandang ekspresi wajah, tatapan mata, atau gestur tubuh kakek nenek karena asyik menatap layar handphone, padahal barangkali mereka berharap emosi kerinduan atau kebahagiaan bertemu sang cucu tersalurkan ke sanubari saya.

Kegiatan lain seperti makan, belanja di warung, mendampingi kakek yang sakit, menerima tamu, atau sekadar melihat suasana sore perkampungan dan kebun dari teras, entah bagaimana bisa menjadi sesuatu yang berarti. 

Saya kira inilah kunci penyair-penyair bisa membuat puisi-puisi romantis. Mungkin suatu hari saya harus membuat puisi tentang Filosofi Teras atau Senja Dari Serambi Gunung Kidul? Hehehehe...

Kemampuan Manusia Berkonsentrasi
Reza Gunawan, pakar penyembuhan holistik mengungkapkan dalam sebuah acara, dahulu manusia dapat fokus untuk 12 detik dan saat ini mengalami penurunan menjadi 8 detik. 

Saya pikir salah satu penyebab kian hari kita semakin sulit untuk bekerja, berbicara, atau melakukan aktivitas dengan fokus adalah ketergantungan kita terhadap gadget.

Jika 1 jam saja tidak mengecek handphone, rasanya sudah gelisah, padahal belum tentu terjadi sesuatu yang berarti selama jangka waktu tersebut. Namun berbeda halnya jika kita memang sengaja tidak membuka handphone kecuali untuk urusan genting seperti kewajiban menyampaikan atau menerima informasi melalui telepon, SMS, dan chat.

Tidak menutup kemungkinan banyak dari kita yang bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa sih tidak bisa berprestasi di sekolah? Kok sulit sekali bekerja produktif? Kenapa rasanya sulit mendapatkan kedamaian dalam hidup? Bisa jadi kita melewatkan banyak hal penting karena mementingkan sesuatu yang sebetulnya tidak lebih penting. Saat kita ingin mencapai sesuatu, maka seluruh pikiran dan energi kita seyogyanya fokus pada apa yang ingin dicapai sehingga berlaku hukum Mestakung atau Semesta Mendukung.

Banyak penelitian yang sudah memaparkan dampak buruk gadget terhadap kualitas tidur manusia. Hellosehat menuliskan bahwa ponsel memancarkan cahaya biru yang menghambat produksi hormon melatonin yang berfungsi mengatur tidur dan mengganggu jam biologis tubuh. Saat di gunung, saya bisa tidur dengan mudah dan bangun dalam kondisi bugar.

Berbeda dari kebiasaan saya sebelumnya yang agak kesulitan tidur dan merasa kualitas tidur tidak pernah sebaik itu, karena saya menggunakan ponsel sesaat sebelum dan setelah tidur. Di satu sisi, tidur yang berkualitas sangat menentukan produktivitas dan kemampuan konsentrasi kita. Otak menyerap sekitar 25% energi tubuh saat beristirahat, sebagian besar proses penyerapan tersebut terjadi ketika manusia tidur.

Dunia Tak Mengelilingi Kita
Mengapa semua orang bersedia mendaftar akun dan gemar sekali bermain media sosial seperti Instagram, Facebook atau Twitter? Benarkah karena ada informasi-informasi menarik dan penting pada ketiga contoh aplikasi tersebut sehingga tidak bisa dilewatkan? Atau kita semua harus mengakui alasannya tak lain karena media sosial memfasilitasi keinginan kita untuk narsis dan menyanjung kepercayaan diri itu melalui likes?

Keterlibatan semua orang dalam media sosial juga menjadi ajang untuk menunjukkan seberapa luas jaringan pertemanan dalam dunia nyata atau sehebat apa pengaruh kita yang diindikasikan dari banyaknya follower?

Sifat alami manusia. Mengutip renungan Neil Degrasse Tyson dalam Astrophysisc For People in A Hurry,

Anak-anak tak tahu apa yang dianggap masalah sungguhan karena kekurangan pengalaman membatasi sudut pandang. Anak belum tahu bahwa dunia tak berputar di sekeliling dirinya. Sebagai orang dewasa, beranikah kita mengakui kepada diri sendiri bahwa kita juga sama-sama berpandangan belum dewasa? Beranikah kita mengakui bahwa pemikiran dan perilaku kita berasal dari kepercayaan bahwa dunia berputar di sekeliling kita? Selama hidup yang singkat di Bumi, kita punya utang kesempatan menjelajah kepada diri sendiri dan keturunan kita. Di hari ketika pengetahuan kita mengenai jagad raya berhenti berkembang, kita berisiko mundur ke pandangan kekanak-kanakan bahwa alam semesta berputar di sekeliling kita. Dalam dunia suram itu, negara dan bangsa bersenjata dan haus sumber daya bisa saja bertindak berdasarkan prasangka rendah.

Jika ketergantungan kita pada media sosial disebabkan karena kita percaya dunia mengelilingi kita, hanya soal kita dan bagaimana reaksi sekitar terhadap tindakan kita, maka kita memberi ruang lebih sedikit untuk melihat masalah sebenarnya: masalah-masalah yang terjadi di sekeliling kita, karena kita terlalu fokus hanya pada apa yang terjadi pada diri sendiri. Kelengahan itu bisa berarti mengendurnya fungsi kontrol kita terhadap masalah sosial, kinerja pelayanan publik, kebijakan pemerintah atau diplomasi multilateral.

Sepulangnya saya dari Yogyakarta, saya jadi punya komitmen baru. Komitmen untuk mengalokasikan waktu pada kegiatan-kegiatan yang lebih produktif, menaruh perhatian pada apa yang saya lakukan sekalipun itu adalah hal-hal yang sebelumnya dianggap sepele, lebih peka memandang masalah dalam lingkaran terkecil hingga terbesar (diri sendiri, keluarga, kerabat, pekerjaan, negara, hingga jika perlu alam semesta), dan bertindak untuk membantu kesulitan orang-orang di sekitar saya. Salah satu cara dan imbasnya adalah mengurangi penggunaan gadget hanya pada saat-saat dibutuhkan dan mendayagunakannya secara bijaksana.

Konsumen Produktif
Setelah komitmen itu, saya jadi bertanya-tanya, mengapa saya secara khusus atau kita secara umum kecanduan gadget beserta konten-konten di dalamnya? Sejak kemunculan Facebook tahun 2004? Sejak kemunculan 3G di Indonesia tahun 2006? Sejak kemunculan OS Android tahun 2008?

Namun jika dipikirkan kembali, kecanduan juga tidak ada salahnya selama kita bisa mengendalikan diri sebagai konsumen yang menyebarkan pengaruh positif (setidaknya tak termakan dan menyebarkan hoax), serta lebih baik lagi jika bisa menjadi konsumen produktif.

Dari sekian banyak netizen yang berseliweran di dunia maya, berapa banyak sih yang bisa memanfaatkan internet untuk kegiatan produktif? 

Di saat kebanyakan dari kita menggunakan Instagram untuk upload foto narsis, ternyata ada sebagian orang yang mengambil peluang pemasaran atau berjualan di situs tersebut. Muncul juga Bukalapak atau GOJEK, keduanya unicorn karya anak bangsa loh! 

Mereka melihat netizen sebagai peluang pasar, lebih dari sekadar follower atau corong pertemanan. Nah apa kabarnya Kitabisa yang memandang netizen sebagai potensi donatur atau sukarelawan untuk membantu masalah-masalah di banyak sudut negeri melalui community based?

Begitu pula para blogger Kompasiana telah secara sukarela berbagi inspirasi dan pengetahuan untuk memperkaya wawasan bangsa mengenai berbagai fenomena di sekitarnya. 

Saya pikir tidak semua orang mampu berinisiatif mengambil tindakan ini. Menjadi konsumtif atau produktif, negatif atau positif, ditentukan karena dan oleh diri sendiri. Setuju?

(baca juga: Ketenangan di Surga Wisata Alam Yogyakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun