Mohon tunggu...
Djendoel Gesti
Djendoel Gesti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang gadis yang selalu haus dan lapar tentang ilmu kehidupan..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memoar tentang Mamak

2 September 2012   18:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Ini hari kedua, dan aku masih belum bisa memejamkan mata. Ditemani secangkir kopi, kuhabiskan malam sambil menapak kenangan bersama Nenek. Sudah setahun kepergiannya dari dunia fana, namun cerita Nenek tentang Mamak tak pernah pudar. “Mamakmu itu pahlawan,” demikian kata-kata Nenek bergema di telingaku. Aku tersenyum, secangkir kopi di genggaman tanganku nyaris dingin dalam kebekuan malam. Anganku melayang dalam kenangan masa kecilku yang penuh mimpi. Ah, pahlawan? Tanyaku pada diri sendiri. Sejenak bayangan Mamak memakai baju perang, lengkap dengan senjatanya terbesit di pikiranku begitu saja. Kubayangkan Mamak mengangkat tinggi-tinggi senjatanya sambil berteriak “Merdeka!!”

“Berarti Mamak pernah berperang melawan penjajah ya Nek?”

“Lho, memangnya pahlawan itu semuanya berperang?,” Nenek balik bertanya sambil terus menyapu daun-daun kering di pelataran rumah.

“Lha terus? Kok Mamak bisa jadi pahlawan?”

“Mamakmu itu pahlawan devisa Negara,” jawab Nenek sambil menghela nafas panjang. Dahiku berkerut-kerut tak mengerti. Pahlawan devisa Negara? Baru kali ini aku mendengarnya.

“Devisa Negara itu apa Nek?”

Nenek tersenyum menatapku. “Makanya, Alif belajarsing sregep, yang rajin. Besok kalau sudah pintar, sudah besar, Alif pasti ngerti,”

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Nenek. Hebat, Mamakku pahlawan devisa Negara. Rasanya dadaku mengembang dan berdegup banggga saat mendengarnya. Daripada Mamaknya si Budi, cuma buruh cuci, Mamaknya si Ari tukang jamu keliling. Mamakku pastilah orang hebat, batinku. Walaupun aku tak pernah bertemu Mamak, tapi cerita-cerita Nenek tentang Mamak membuatku merasa sangat dekat dengannya. Mamak pastilah sedang bahagia di surga sana.

Kopi dalam cangkir yang kugenggam semakin dingin, sementara pikiranku masih mondar-mandir di dalam kisah-kisah tentang Mamak. Kutatap foto di seberang meja, di dalam bingkai yang telah usang dimakan waktu. Mamak masih tersenyum menatapku, penuh cinta.

Sekelebat senyum Mamak kemudian berganti dengan raut wajah Mas Karjo, lelaki berjaket kulit yang memberiku sebuah pilihan yang rumit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun