Mbah Man melenggang dari rumah Pak Dosen dengan semringah. Sepeda ontel miliknya digiring ke luar pagar sambil beberapa kali dimainkan belnya.
Orang-orang mengenal Mbah Man sebagai seorang tukang pijat keliling. Meski pijat keliling, sebenarnya Mbah Man tidak betul-betul berkeliling secara acak dari satu tempat ke tempat lain dan berharap orang-orang secara kebetulan menggunakan jasanya. Pria yang sudah belasan tahun lalu ditinggal mati istrinya itu sudah memiliki pelanggan tetap. Mbah Man biasanya datang ke rumah pelanggannya sesuai jadwal rutin yang sudah disepakati atau kadang saat orang-orang ingin menggunakan jasanya secara dadakan.
Siang itu, Pak Dosen, salah satu pelanggannya sejak empat tahun terakhir, memberikan upah lebih dari biasanya. Walau Mbah Man tidak pernah mematok tarif untuk setiap jasanya, uang yang diberi Pak Dosen bisa didapat setelah dirinya memijat sepuluh kali. Kemurahan Pak Dosen bukan tanpa sebab. Selain telah membuat otot-otot Pak Dosen kembali bugar, Mbah Man telah menolong anak Pak Dosen.
Saat sedang makan, anak Pak Dosen yang masih SD mengalami hal yang paling menyebalkan saat makan. Sebatang tulang tersangkut di tenggorokannya. Menusuk-nusuk bagian dalam leher si anak saat otot tenggorokannya bergerak. Si anak cuma bisa menangis, membuka mulutnya lebar-lebar, lalu melapor pada orang tuanya dengan bahasa isyarat.
Dengan sigap, sang ibu memberikan pertolongan pertama pada si anak. Mereka memberikan anaknya sekepal nasi untuk ditelan, namun gagal meski sudah kepalan yang keempat. Begitu juga saat menyuruh si anak menenggak segelas minyak sayur dengan harapan si tulang akan terpeleset dalam rongga tenggorokan yang licin. Bahkan, Pak Dosen sempat melakukan Heimlich Maneuver, gerakan yang biasa dipakai untuk menolong orang tersedak. Pak Dosen mengira gerakan itu akan efektif membuat si tulang melompat keluar dari mulut anaknya seperti saat anaknya tersedak bakso utuh. Semua usaha mereka sia-sia. Si tulang enggan berpindah dari tempatnya, seperti orang suci yang kukuh dalam pertapaannya.
Saat Pak Dosen hendak membawa anak semata wayangnya itu ke klinik untuk mendapat pertolongan lanjutan, Mbah Man tanpa aba-aba mengusap-usap leher si anak dengan lembut. Belum sempat Pak Dosen menegur kelakuan tiba-tiba Mbah Man, si anak mengaku ganjalan di tenggorokannya sudah hilang.
Pak Dosen heran sekaligus takjub dengan kemampuan Mbah Man. Kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, mungkin Pak Dosen tidak akan percaya seorang bisa memindahkan posisi tulang itu tanpa melakukan kontak langsung.
Pak Dosen menanyakan bagaimana cara Mbah Man bisa melakukan hal itu. Pria tua itu menjawab singkat, karena dirinya terlahir sungsang. Sebuah jawaban yang tentu saja tidak memuaskan rasa penasaran Pak Dosen. Menurut Pak Dosen, tidak ada korelasi antara cara seseorang lahir dan keahlian menyingkirkan tulang yang tersangkut dari tenggorokan. Kebiasaannya berpikir kritis, menghasilkan sebuah kesimpulan liar, bahwa Mbah Man bisa melakukan telekinesis. Bagi Pak Dosen, hal itu jauh lebih masuk akal dari pada sepakat kemampuan itu didapat Mbah Man karena dirinya terlahir kaki lebih dulu.
“Ada-ada saja Pak Dosen ini,” sanggah Mbah Man, “Mana bisa orang membuat benda-benda bergerak cuma pakai pikiran,” lanjutnya.
“Jangan salah, Mbah. Hal itu bukan tidak mungkin. Saya pernah membaca sebuah jurnal ilmiah soal kemampuan semacam itu. Kesimpulannya, memang ada manusia yang bisa menggerakan benda dengan pikiran,” jelas Pak Dosen. “Sekarang pertanyaannya, apa Mbah pernah mencobanya selain dengan tulang di dalam leher?”
Diskusi mereka berakhir tanpa kesepakatan. Pak Dosen masih kukuh dengan analisanya, sedangkan Mbah Man dengan keyakinannya. Tetapi tidak dapat disangkal oleh Mbah Man, keyakinan yang sudah mengakar selama puluhan tahun itu mulai terganggu oleh kata-kata Pak Dosen. Semakin banyak kayuhan sepedanya, semakin ingin ia membuktikan kekeliruan teori Pak Dosen.