Mohon tunggu...
Ges Saleh
Ges Saleh Mohon Tunggu... Buruh - Menulis supaya tetap waras

Bercerita untuk menasihati diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Sahabat

16 September 2020   16:52 Diperbarui: 6 Oktober 2020   09:12 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Slamet membuang muka kala Margio melintas. Di ekor matanya terpercik kebencian. Setelah pemuda berbaju koko dan kopiah putih itu benar-benar lenyap, Slamet kembali menyesap kopi hitamnya. Rasanya lebih pahit dari sejenak yang lalu, sebelum Margio lewat dan mengucap salam padanya.

“Dasar munafik!" kata Slamet. Suaranya ditekan pelan, namun kawan-kawannya di warung kopi bisa mendengar serapah Slamet dengan jelas. Kebencian Slamet pada Margio bukan tanpa alasan. Ia merasa sudah dikhianati oleh Margio.

Ketika masih sekolah dasar, Slamet adalah seorang anak pendiam, tubuhnya kurus dengan koreng di mana-mana. Anak-anak di sekolah memanggil Slamet dengan julukan “si koreng”. Tidak hanya dapat julukan yang buruk, Slamet kecil juga sering dipukuli atau sekadar ditoyor sambil lalu oleh anak-anak yang punya badan lebih besar. Dia tidak berani melawan dan juga terlalu takut untuk melapor pada guru atau orang tuanya.

Suatu hari Margio dan keluarganya pindah di dekat rumah Slamet. Awalnya Slamet mengira Margio adalah anak SMP karena punya badan yang lebih besar dari semua teman sekolahnya. Ternyata Margio seusia dengannya dan kebetulan disekolahkan di tempat dan kelas yang sama dengan Slamet. Bertambah satu orang yang akan menindasku, pikir Slamet kala itu.

Dugaan Slamet salah. Meski perangainya buruk, sering bolos dan melawan guru, Margio amat baik pada Slamet. Anak baru itu selalu membela Slamet saat sedang dirundung. Satu hari, Margio memukul semua anak yang memanggil Margio dengan nama “si koreng”. Margio dihukum berat, tetapi sejak itu tidak ada lagi yang berani mengganggu Slamet. Slamet jadi dekat dengan Margio dan singkat cerita mereka berdua menjadi sahabat.

Saat beranjak dewasa, tanpa disadari sifat-sifat Margio menular pada diri Slamet. Ia berubah dari seorang anak pendiam menjadi pembuat onar. Kemudian bersama Margio, Slamet memulai karirnya sebagai preman pasar. Tidak ada yang berani pada dua sekawan ini, terlebih pada Slamet. Tubuhnya boleh lebih kecil dari pemuda lain, tetapi kalau sudah berkelahi, Slamet bisa lebih beringas dari seekor anjing gila.

Saat itu hidup sangat menyenangkan bagi Slamet. Dia tidak perlu capek-capek bekerja untuk mendapat uang, bisa mabuk kapan saja tanpa ada yang melarang, dan semua perintahnya akan dituruti orang lain. Dia merasa dirinya menjadi raja diraja bersama Margio sahabatnya.

Sayang, semua kesenangan itu harus berakhir karena Margio yang tiba-tiba bertobat. Menurut berita yang beredar, Margio tobat lantaran sempat mati. Selama beberapa jam, Margio berhenti bernapas. Ketika tubuhnya mau dimandikan, ia hidup lagi. Saat mati itu, Margio mengaku melihat neraka. Panasnya sempat membakar tubuh Margio sampai-sampai otaknya mendidih dan meleleh keluar dari lobang telinganya.

"Aku tahu akal bulusnya. Pura-pura mati dan bertobat. Cukup pintar buat menipu orang-orang, tapi tidak padaku. Dia bertingkah seperti itu lantaran mengincar anak Pak Haji Soleh. Dia pernah mengaku padaku," sambung Margio pada kawan-kawannya.

Suatu hari yang lalu di pasar, Margio bertemu dengan seorang gadis yang tak pernah dilihatnya. Margio langsung jatuh hati pada gadis yang ternyata adalah anak Pak Haji Soleh yang baru pulang dari pesantren. Rasa sukanya pada sang gadis diceritakan kepada sahabatnya, Slamet. Kata Margio, dia akan melakukan segala hal demi mendapatkan sang gadis.

“Lihat saja, kalau rencananya ini gagal, atau katakanlah berhasil mendapatkan anak Pak Haji, Margio pasti kembali lagi pada sifat aslinya,”  kata Slamet dengan yakin. Kawan-kawannya mengangguk, lebih karena tidak ingin menentang Slamet.        

Selepas memimpin salat Subuh, Margio sengaja mendatangi Pak Haji Soleh. Dia bermaksud untuk meminta nasihat agar tobatnya diterima. “Jauhi lingkungan dan orang-orang yang bisa membawamu kembali kepada maksiat. Perbanyak bergaul dengan orang-orang baik,” kata Pak Haji Soleh.

Nasihat Pak Haji Soleh dijalankan betul-betul oleh Margio. Ia jadi sering ke masjid, berkumpul dengan Pak Haji dan para jamaah. Dia juga sudah berhenti dari pekerjaannya di pasar dan tak pernah lagi menghabiskan waktu bersama Slamet. Secara halus Margio mulai menjauh dari Slamet. Slamet mulai menyadari kalau ini adalah bagian dari rencana Margio untuk mendapatkan anak Pak Haji Soleh.

Slamet kecewa, ia merasa dikhianati. Persahabatan yang sudah bertahun-tahun itu dalam sekejap ia buang demi seorang wanita. Sejak saat itu, Slamet menaruh benci yang amat dalam pada Margio.

***
Tahun-tahun berlalu. Margio telah mengawini gadis pujaannya, punya anak darinya, dan tampaknya semua orang sudah lupa dengan Margio si preman pasar. Pak Haji Soleh, sang mertua, beberapa bulan lalu sudah berpulang, menghadap penciptanya. Dan Margio, belum kembali menjadi Margio yang dikenal Slamet. Margio masih bertingkah layaknya orang baik-baik. Mengumbar senyum dan salam pada siapa saja, bersedekah pada orang-orang miskin, dan sekarang ia didaulat menjadi imam masjid menggantikan mertuanya.

Slamet mulai ragu dengan prasangkanya pada Margio. Margio mungkin sudah benar-benar bertobat. Lahir menjadi pribadi baru setelah kematiannya yang singkat itu. Mustahil, pikir Slamet, Margio terlalu Margio untuk bisa jadi orang baik.

Slamet kembali menduga kalau ini adalah muslihat lain Margio untuk melenggang di bursa kepala desa. Ia pernah mendengar kalau lelaki punya tiga tujuan dalam hidup: Harta, tahta, dan wanita. Margio sudah mengawini wanita paling cantik yang ada di desa. Ia juga punya harta tak terhitung banyaknya dari warisan sang mertua. Margio pasti mengincar tahta kepala desa, jabatan tertinggi di antara warga, pikir Slamet. Slamet begitu yakin dengan deduksinya. 

Slamet kemudian tertawa sendiri dalam kamarnya. “Aku hanya perlu bersabar. Nanti kalau Margio sudah mendapatkan yang diinginkannya, dia akan mengetuk pintu rumahku. Kita akan bercerita sepanjang malam ditemani minuman keras dan mabuk termuntah-muntah seperti dulu. Bedanya, kami tak perlu lagi memalak pedagang pasar untuk membeli minuman. Iya, aku harus bersabar,” kata Slamet pada dirinya yang di balik cermin.

Tebakan Slamet terbukti benar, Margio dipilih jadi kepala desa. Para warga bersuka cita. Sang kepala desa baru diarak warganya dengan tabuhan rebana dan letusan kembang api.  Slamet juga tak kalah senang. Tinggal selangkah lagi sahabatnya itu akan datang padanya.

Pintu rumah Slamet diketuk orang malam itu. Setelah kedua orang tuanya mati, tidak ada lagi yang bertamu di rumahnya. Ini pasti Margio, pikir Slamet. Dugaannya benar. Orang yang ada di balik pintu adalah Margio, orang yang sudah dinantikannya.

Slamet mempersilakan Margio masuk ke dalam rumah. Wajahnya begitu riang, seperti anak-anak yang kedatangan mainan baru. Sudah lama ia tidak bertatap muka langsung dengan Margio. Slamet tidak ingat kalau wajah sahabatnya bisa sangat meneduhkan.

Dua sahabat itu memulai dengan basa-basi, dan seiring waktu mulai lepas kekakuan di antara mereka. Sesekali mereka tertawa saat membicarakan hal-hal konyol yang pernah mereka lakukan di masa lalu. Obrolan dua sahabat itu sangat menyenangkan, sampai Margio mengutarakan maksud sebenarnya menemui Slamet.

Malam itu Margio tidak datang untuk mabuk bersama. Sang kepala desa menyampaikan keluhan warga yang ditujukan pada Slamet. Ia meminta Slamet untuk tidak lagi membuat keonaran di desa. Slamet geram, tamunya diusir begitu saja.

Slamet masuk kembali ke kamarnya yang berbau apak. Entah sudah berapa lama cahaya matahari tidak dibiarkan masuk ke kamar itu. Slamet menatap cermin kusam yang menempel dengan meja. Ia melihat sebuah wajah tirus dan mulai layu. Rambutnya memutih sempurna, dibiarkan tak teratur seperti seekor singa tua. 

“Margio, Margio. Kau begitu tekun dalam bersandiwara. Aku tahu, dalam hatimu rindu menjadi Margio yang dulu. Margio yang bebas menjadi diri sendiri. Margio yang bisa mabuk setiap malam tanpa perlu risau omongan orang. Ya, Margio, kini kau punya citra dan wibawa yang harus dijaga. Dan aku tidak keberatan mengikuti permainanmu, kawan. Kalau saatnya tiba, kau pasti akan kembali seperti dulu,” kata seseorang di balik cermin.

***
Area pemakaman dipenuhi orang-orang berpakaian putih. Mereka sedang mengantar kepala desa yang mereka cintai ke peristirahatan terakhirnya. Margio meninggal dengan tenang dalam tidurnya, tepat di tahun ke delapan masa kepemimpinannya.

Gerimis kecil mengawani para pelayat yang meninggalkan makam Margio. Tanah merah membumbung tempat Margio dibaringkan, dipenuhi bunga. Tercium aroma harum di sana. Harum yang bukan berasal dari bunga-bunga atau air mawar yang disiram di atas pusaranya. Suatu aroma lain yang tidak terjelaskan.

Sesosok lelaki tua dengan pakaian lusuh mendekati makam Margio. Lelaki tua itu adalah sahabat lama pemilik makam, Slamet. “Akhirnya, Sahabatku, kau sudah bebas,” bisik Slamet di papan yang bertuliskan nama Margio. 

Ada kebahagiaan tersirat di wajahnya. “Kau sudah tidak perlu berpura-pura lagi menjadi orang yang bukan dirimu. Kita memang belum sempat mabuk-mabukan lagi saat masih hidup. Tapi tenang, kita akan berkumpul lagi di neraka dan menikmati kebersamaan seperti dulu di sana.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun