Mohon tunggu...
Gesha Nattasya
Gesha Nattasya Mohon Tunggu... -

Tipe Realis Sosial, lebih konservatif. Mereka memiliki tata nilai dan aturan yang kaku yang berorientasi pada tradisi yang tak lekang oleh waktu. \r\n\r\nJournalist of Sinar Tani Group

Selanjutnya

Tutup

Nature

Litbang Karbon Biru, Gunakan Ekosistem Laut Turunkan Emisi

13 Oktober 2013   18:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:35 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesadaran perubahan iklim dan pemanasan global kini semakin meningkat. Upaya dan semangat dunia untuk bersama-sama menurunkan emisi karbon pun tak pernah surut. Ekosistem laut pun menjadi andalan di tengah penggundulan hutan yang seharusnya menjadi penyerap karbon. Oleh karena itu, lahirlah konsep dan solusi litbang Karbon Biru untuk Masa Depan Bumi.

Karbon biru merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida di Bumi dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut, dan ekosistem pesisir. Vegetasi pesisir diyakini oleh kalangan peneliti dapat menyimpan karbon 100 kali lebih cepat dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan di daratan.

[caption id="attachment_294391" align="alignright" width="300" caption="Andreas A. Hutahaean, peneliti dari Badan Litbang Kelautan dan Perikanan yang terlibat dalam tim Blue Carbon Indonesia (dok. P3SDLP)"][/caption]

“Ekosistem ini juga memiliki manfaat yang dobel. Bisa untuk tempat pengembangbiakan ikan, untuk menjaga erosi air laut, dan pariwisata bahari," ujar peneliti dari Badan Litbang Kelautan dan Perikanan yang terlibat dalam tim Blue Carbon Indonesia, Andreas A. Hutahaean, PhD.

Konsep dan solusi litbang Karbon biru sendiri pertama kali digaungkan sekitar bulan Februari 2010 saat pertemuan the UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum di Bali oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (Fadel Muhammad) dan Direktur UNEP Achim Steiner.

Setelah digulirkan, konsep ini kemudian digarap lebih serius oleh berbagai instansi terkait. Dalam dunia internasional, tim Blue Carbon Indonesia sangat aktif terlibat dalam International Working Group on Blue Carbon baik dari aspek kajian riset ilmiah maupun kebijakan. Working group ini telah mengadakan tiga pertemuan.

Yang terakhir dilaksanakan di Guayaquil, Ekuador pertengahan Juli 2012. Pertemuan tersebut membahas draft Blue Carbon Recommendation Policy versi 2.0 juga diperkaya dengan menambahkan topik guidance for Blue Carbon Demonstration Project untuk tingkat nasional/regional.

“Desember 2013 mendatang pun akan dilaksanakan kerjasama pelayaran yang dikomandani oleh Geotek-LIPI di perairan antara Pulau Siberut dan Pulau Sipora (Kepulauan Mentawai),” tutur Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya laut dan Pesisir (P3SDLP), Balibang KP, Budi Sulistyo.

[caption id="attachment_294386" align="alignleft" width="300" caption="Survei Blue Carbon (dok. Balitbang KP)"]

13816656351637217335
13816656351637217335
[/caption]

Untuk studi Karbon Biru sendiri, Balitbang KP senantiasa melakukan observasi secara menyeluruh mulai dari data meteorologi, citra satelit, data oseanografi, hingga data biologi. Penelitian tersebut dilakukan di Tanjung Lesung, Teluk Banten, Kep. Derawan, Teluk Tomini dan Nusa Penida.

Daya Serap Karbon

Untuk penelitian karbon biru Balitbang KP sudah mencoba menerapkannya sejak 2010 melalui pilot project Blue Carbon di Teluk Banten dan Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil, padang lamun memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/Ha/tahun.

Menurut Andreas A. Hutahaean, pesisir dan laut Indonesia memiliki peran sangat penting dalam program penurunan emisi karbon global. Bayang-kan, dari ekosistem padang lamun (seagrass) dan mangrove saja, Indonesia mampu menyerap 138 juta ton karbon per tahun.

“Angka ini dapat terus bertambah jika lahan-lahan yag kurang atau tidak efektif pengunaanya seperti lahan tambak yang tidak digunakan lagi dialihkan atau ditanami mangrove. Langkah lain adalah meningkatkan jumlah lahan budidaya rumput laut karena sejauh ini lahan budidaya yang termanfaatkan hanya sekitar 20% dari luas lahan yang ada di Indonesia,” jelas Andreas A. Hutahaean.

[caption id="attachment_294392" align="aligncenter" width="700" caption="Perbedaan penyerapan emisi dengan dan tanpa ekosistem laut (dok.Great Barrier Reef Foundation)"]

138166591569431292
138166591569431292
[/caption]

Seperti dilansir dalam situs http://bluecarbonportal.org diungkapkan bahwa daya simpan karbon pada tanah di eksositem padang lamun, dua kali lebih besar dibanding tanah di daratan yakni sekitar 140 ton karbon organik dilapisan atas tanah untuk setiap hektar tanah ekosistem lamun.

Total ekosistem padang lamun di Indonesia dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon /tahun. Untuk ekosistem mangrove, rata-rata penyerapan dan penyimpanan karbon sebesar 38,80 ton/Ha/tahun. Jika di hitung secara total maka potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun.

“Daya serap ini jika bisa dimanfaatkan, penurunan emisi karbon tentu saja bisa lebih baik mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki padang lamun dan mangrove terluas di dunia,” tutur Budi Sulistyo.

Menurut data citra satelit luas ekositem padang lamun di Indonesia adalah sekitar 3,30 juta Ha. Luas ekosistem mangrove Indonesia adalah 3,15 juta Ha (30 % dari luas global mangrove) diikuti Australia dan Brasilia dengan luas 978 ribu Ha dan 963 ribu Ha.

Indonesia sendiri tergolong negara pesisir yang memiliki beragam jenis mangrove dan lamun. Di perairan pantai Indonesia, yang sudah teridentifikasi baru tiga belas jenis spesies padang lamun dan konon merupakan yang tertinggi keragamannya di dunia.

“Spesies dominan dari padang lamun di Indonesia adalah Enhalus acoroides dengan kemanpuan menyerap dan menyimpan karbon sebesar 158,26 dan 217,53 gC/m2/tahun diikuti Syringodium isoeifolium dan Thallassia hemprichii dengan kemampuan menyerap dan menyimpan karbon 64,17 atau 124,62 gC/m2/tahun dan 39,90 atau 86,10 gC/m2/tahun,” tutur Satgas Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), Chandra Kirana.

BOX

Libatkan Masyarakat Tekan Kerusakan Ekosistem

Laju kerusakan ekosistem laut di Indonesia sendiri menjadi hambatan dalam laju penurunan emisi karbon. Menurut data dari REDD+, kerusakan ekosistem ekosistem mangrove relatif lebih tinggi dibandingkan ekosistem padang lamun yakni 3-7 % per tahun dengan tingkat kerusakan paling tinggi terjadi di Pulau Jawa terutama di kawasan pantai utara Jawa. Kondisi terbaik untuk ekosistem ini berada di daerah utara Kalimantan Timur dan kawasan Indonesia timur (Papua dan Maluku).

[caption id="attachment_294394" align="alignleft" width="300" caption="Agus Supangat, Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan (dok. Dewan Perubahan Iklim)"]

13816662741224896600
13816662741224896600
[/caption]

“Sebagian besar kerusakan ekosistem adalah akibat reklamasi, alih fungsi lahan dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran serta penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar),” tutur Chandra.

Oleh karena itu, perlu adanya pelibatan masyarakat untuk menekan laju kerusakan ekosistem. Perlu adanya peningkatan ketahanan (resilience) masyarakat pesisir maupun komunitas biota ekosistem pesisir dan laut jelas menjadi salah satu faktor kunci dalam mempertahankan peran lingkungan laut sebagai sumber ketahanan pangan dan mata pencaharian.

“Masyarakat harus dilibatkan sebab selain penyerap karbon, ekosistem laut juga berfungsi ganda seperti tempat berkembang biak dan bertumbuhnya berbagai organisme laut seperti ikan dan udang,” tutur Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan di Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, Agus Supangat.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Plt. Kepala Balitbang KP sekaligus Staf Ahli Menteri Bidang Kebijakan Publik, Achmad Poernomo. Masyarakat harus diberikan edukasi mengenai manfaat dari ekosistem laut, mulai dari penyangga kualitas perairan, habitat dari berbagai hewan/organisme penting baik secara ekonomis atau ekologis, pelindung pantai dari abrasi dan ombak, sarana rekreasi dan lain-lain.

“Ini akan dilakukan kepada masyarakat sekitar (pantai atau laut) dulu, baru setelah itu kita akan lakukan sosialisasi kepada turis-turis yg dtg ke sana. Ini sudah dilakukan dimana-mana, seperti di Denpasar, lalu sepanjang pantai utara Jawa. Dan kalau suatu pinggiran pantai ada banyak tanaman bakaunya, maka apabila ada gempa atau tsunami akan bisa selamat, karena itu bisa menghalangi ombak yang datang,” tuturnya.

Langkah lain adalah meningkatkan jumlah lahan budidaya rumput laut karena sejauh ini lahan budidaya yang termanfaatkan hanya sekitar 20% dari luas lahan yang ada di Indonesia. Mulailah peduli pada peran penting Sang Penyerap Karbon Biru demi masa depan bumi kita yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun