Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Darurat Kekerasan terhadap Anak

14 Oktober 2015   13:17 Diperbarui: 14 Oktober 2015   14:13 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Anak, banyak yang bilang bahwa anak adalah anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada umatnya. Anak, menurut KBBI artinya keturunan yang kedua atau manusia yang masih kecil. Pertanyaannya adalah, bagaimana seharusnya kita memperlakukan anugerah yang diberikan oleh Tuhan sebagai keturunan kedua kita? Keturunan kedua yang akan meneruskan keluarga kita, keturunan kedua yang mungkin akan meneruskan cita-cita dan nama baik keluarga. Pendidikan yang layak, kasih sayang dan perhatian yang cukup di segala bidang kehidupan anak sudah menjadi suatu keharusan. Kenyataannya yang ada di negeri ini, nyawa seorang anak lebih murah dibanding harta warisan, dan dinegeri ini nyawa seorang anak lebih murah dibandingkan nafsu dan syahwat belaka. Masih lekat didalam ingatan betapa memilukan kisah Angeline, bocah kecil yang dibunuh dan dikubur dipekarangan rumah dekat kandang ayam dengan keji hanya lantaran harta warisan. Semasa hidupnya juga Engeline diduga kerap mendapatkan perlakuan kasar dari orangtua angkatnya. Semasa hidup disiksa, meninggalpun dengan cara yang hina. Apakah itu yang disebut dengan anugerah? Bau-baru ini juga hal yang hampir serupa terulang lagi. Kasus yang mengingatkan kita dengan nama semisal Robot Gedek dan Baekuni alias Babeh yang melakukan kekerasan sekual sekaligus pembunuhan kepada para korbannya yang semuanya adalah anak-anak dibawah umur.  Adik Putri Nur Fauziah menjadi korban kesekian kalinya dari predator-predator yang mengincar anak-anak. Walaupun bukan yang pertama, kasus ini menjadi indikasi bahwa negeri kita sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan terhadap anak. Kita tidak lagi bisa bersikap biasa atau bahkan malah lupa akan kasus-kasus semacam ini.

Menurut data KPAI yang dikutip dari www.harianterbit.com kasus kekerasan anak mnegalami kenaikan yang signifikan dari tahun 2011-2015. “Hasil pemantauan KPAI tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus kekerasan, 2013 ada 4311 kasus kekerasan, 2014 ada 5066 kasus”, kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advanti. Dia memaparkan, 5 kasus tertinggi dengan jumlah kasus perbidang dari n2011 hingga April 2015. Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga April 2015 tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus.  Pelaku kekerasan terhadap anak bida dibagi menjadi tiga. Pertama orangtua, keluarga atau orang yang dekat di lingkungan rumah anak. Kedua, tenaga pendidikan dan orang-orang yang ada disekitar sekolah seperti cleaning service, tukang kantin, satpam, sopir antar jemput yang disediakan sekolah. Ketiga, orang yang tidak dikenal. Artinya anak rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan rumah dan sekolahnya. Lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat. Artinya, pelaku kekerasan pada anak justru lebih banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak.

Memang tidak banyak orang yang sadar bahwa kasus kekerasan terhadap anak semacam ini, khususnya kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh orang asing, tetapi juga banyak dilakukan oleh orang yang dekat dengan sang anak. Kasus seperti ini harusnya menjadi peringatan bagi kita bahwa kita harus mewaspadai lingkungan tempat anak-anak beraktivitas. Seperti lingkungan rumah, sekolah, dan lingkungan tempat anak beraktivitas sehari-hari. Selain mewaspadai lingkungan tempat anak beraktivitas sehari-hari, kita juga perlu menanamkan sikap waspada terhadap kejahatan didalam diri si anak. Mengajarkan anak untuk tidak berbicara dengan orang asing, tidak menghampiri orang yang tidak dikenal, dan juga mengajarkan cara bagaimana menghadapi situasi saat dihampiri orang yang tidak mereka kenal. Anak juga harus diajarkan bagaimana caranya untuk mencari bantuan ketika mereka tersesat, misalnya dengan menghampiri seorang polisi. Sebagai salah satu contoh di negara Amerika Serikat, ada sebuah slogan yang populer dikalangan anak-anak. Yaitu “no,go,yell,tell”. Slogan itu berarti mengatakan tidak pada orang yang tidak dikenal yang menghampiri, pergi dengan segera dari orang itu, berteriaklah dengan keras untuk memancing perhatian orang sekitar, dan segera beritahukan hal tersebut kepada orang dewasa yang dikenal oleh anak seperti orangtua dan guru. Budaya seperti itu juga yang nantinya akan menjadi budaya dikalangan orang dewasa, sehingga orang dewasa akan lebih peduli dan cepat tanggap apabila dilingkungan sekitarnya ada anak-anak yang mengeluarkan slogan tersebut.

Hal-hal kecil seperti itu merupakan hal yang sangat mudah kita lakukan dan kita terapkan, tetapi sangat berdampak bagi lingkungan sekitar kita. Untuk dapat merubah kebiasaan dari satu lingkungan agar menjadi lebih baik adalah dengan cara merubah diri kita sendiri terlebih dahulu. Ayo kita budayakan peduli kepada sesama dan saling meningkatkan kewaspadaan kita. Terutama kewaspadaan kekerasan terhadap anak-anak. #SaveOurChildren #SaveOurFuture

 

GERY WIDIANA LUTPI

114106110

MAHASISWA UNIVERSITAS PARAMADINA

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun