Mohon tunggu...
Yohanes Satriyo P.
Yohanes Satriyo P. Mohon Tunggu... Dokter - Hiduplah saat ini dan di sini

Pecinta buku dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Covid-19, Sindrom Badai Sitokin dan Sindrom Metabolik

2 Juli 2020   18:22 Diperbarui: 2 Juli 2020   18:16 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"The microbe is nothing, the ground is everything, No matter the virus, it is how the immune system will be able to manage that matters." 

--Frederic G, Graduate of department of virology, school of medicine, Piere and Marie Curie University Paris.

Sistem imun yang hiperaktif

Hiperinflamasi atau peradangan yang dahsyat, begitu istilah para ahli menyebut kondisi pasien-pasien yang mendapatkan perawatan di bangsal rumah sakit akibat corona virus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Hiperinflamasi tersebut akan terlihat pada foto rontgen dada sebagai bercak putih yang tersebar luas di seluruh lapangan paru. Bercak tersebut merupakan cairan bening kental akibat reaksi peradangan yang maha dahsyat yang terjadi pada paru penderita. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya jaringan paru, sehingga menyebabkan gangguan ventilasi-perfusi atau gangguan pertukaran oksigen dengan karbondioksida pada paru pasien. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal napas pada pasien, suatu kondisi kadar oksigen sangat rendah di dalam darah. Diperlukan tindakan intubasi (pemasangan tabung ke dalam tenggorok untuk menghubungkan udara luar dan paru) segera dan pemasangan mesin ventilator untuk membantu pernapasan. Kondisi tersebut biasanya terjadi pada minggu pertama setelah gejala awal muncul. Gagal napas merupakan penyebab tersering kematian pada pasien COVID-19. Selain karena gagal napas, kematian penderita COVID-19 juga disebabkan oleh syok sepsis (infeksi luas yang menyebabkan kegagalan organ dan tekanan darah yang sangat rendah), kejadian thromboemboli (terbentuknya bekuan darah abnormal), koagulopati (perdarahan abnormal), gagal jantung, gagal hati dan gagal ginjal. Kegagalan organ di atas berkaitan erat dengan kondisi hiperinflamasi yang disebabkan oleh cytokine storm syndrome/sindrom badai sitokin. Sindrom badai sitokin ditandai dengan demam tinggi, trombositopenia (kadar keping darah/trombosit yang rendah), hiperferitinemia (kadar besi darah yang sangat tinggi) dan peningkatan penanda inflamasi lainnya (david a. berlin, roy m. gulick, Fernando j. Martinez. Severe COVID-19, doi: 10.1056/NEJMcp2009575).

"Simbiosis Mutualisme"

"Penderita COVID-19 meninggal karena penyakit komorbid atau penyakit penyertanya, bukan karena virus koronanya" jamak keterangan demikian kita dengar. Tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar menurut penulis. Kondisi komorbid di sini adalah kondisi gangguan medis kronis seperti obesitas, diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi. Perlu diketahui bahwa pada kondisi medis kronis tersebut tubuh mengalami apa yang disebut sebagai low-grade chronic systemic inflammation, suatu peradangan kronis menyeluruh derajat rendah. (Sonja Chiapette et al. COVID-19 and the role of chronic inflammation in patients with obesity, doi: 10.1038/s41366-020-0597-4). Jadi, sebelum si virus corona menghampiri, pasien dengan gangguan medis kronis, di dalam tubuhnya sudah terjadi peradangan akibat dari penyakit kronis yang diderita. Nah, kondisi  inilah yang akan mengganggu respon imunitas tubuh terhadap infeksi. Kondisi peradangan kronis akibat penyakit komorbid ini juga akan memperkuat respon pro inflamasi, suatu keadaan yang membuat tubuh lebih mudah meradang.  Akibatnya, ketika ada agen infeksi masuk, terutama virus corona, tubuh akan lebih mudah mengalami kondisi hiperinflamasi atau sindrom badai sitokin. Hal ini akan berakibat pada prognosis yang lebih buruk pada pasien COVID-19 yang sudah memiliki gangguan medis kronis. Terjadi "kerjasama" yang saling menguntungkan/menguatkan antara virus corona dengan gangguan medis kronis/komorbid. Sehingga penderita COVID-19 yang telah memiliki komorbid sebelumnya, lebih mudah jatuh ke dalam sindrom badai sitokin yang berujung pada kegagalan multiorgan. "Simbiosis mutualisme" antara SARS-CoV-2 dan kondisi komorbid pasien inilah yang banyak memakan korban jiwa. Lebih dari 90% kasus kematian pada penderita COVID-19, memiliki kondisi komorbid/ penyakit penyerta.

Sindrom Metabolik                                                     

Apakah itu sindrom metabolik? Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang meliputi hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral dan diabetes. Kriteria sindrom metabolik berdasarkan National Cholesterol Education Program yang dimodifikasi untuk kawasan Asia menyatakan bahwa seseorang dinyatakan menderita sindrom metabolik bila mempunyai 3 dari 5 keadaan berikut: 1. Peningkatan ukuran lingkar pinggang (>90 cm untuk laki-laki dan > 80 cm untuk wanita), 2. Peningkatan kadar trigliserida darah (> 150 mg/dL), 3. Kadar HDL kolesterol yang rendah (laki-laki < 45 mg/dL dan wanita < 50 mg/dL), 4. Tekanan darah tinggi ( 130/ 85 mmHg), dan 5. Kadar gula darah puasa > 110 mg/dL (NCEP/ATP III Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adult. JAMA. 2001).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 tingkat obesitas pada orang dewasa di Indonesa mencapai prevalensi 21,8%. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, dimana prevalensi obesitas hanya 14,8%. Obesitas sendiri mengacu pada pengukuran indeks masa tubuh/IMT (berat badan dalam satuan kg dibagi tinggi badan dikuadratkan didalam satuan meter) diatas 27. Prevalensi berat badan berlebih dengan IMT antara 25 hingga 27, juga meningkat dari 11,5% pada tahun 2013 menjadi 13,6% pada tahun 2018. Prevalensi obesitas sentral alias perut buncit juga meningkat. Obesitas sentral diukur dengan mengukur lingkar pinggang; >90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada wanita. Jika pada Riskesdas 2013 prevalensi obesitas sentral hanya mencapai 26,6%, maka pada Riskesdas 2018 prevalensinya meningkat menjadi 31%. Obesitas sentral dengan pengukuran lingkar pinggang lebih baik dalam melihat resiko metabolik dibandingkan dengan tinggi badan dibagi berat badan. Kenapa demikian? Karena penumpukan lemak pada abdomen/visceral (lemak diantara organ dalam perut) lebih berbahaya dibandingkan lemak subkutan. Lemak pada perut buncit, yang berada diantara organ dalam, aktif menghasilkan sitokin pro inflamasi, suatu zat kima berbahaya yang membuat tubuh berada pada situasi peradangan kronis.

Cerdik Melawan COVID-19

Untuk melawan COVID-19 kita bisa melihat data dari negara-negara maju tentang karakteristik pasien-pasien COVID-19. Darisana kemudian kita dapat melihat, faktor-faktor apa saja yang berperan pada  tingkat keparahan penyakit. Dari jurnal terkemuka NEJM dengan judul Clinical characteristics of COVID-19 in New York City (doi: 10.1056/NEJMc2010419), yang ditulis oleh Goyal P et al,  kita dapat melihat pasien-pasien yang mendapatkan perawatan intensif adalah pasien-pasien yang memiliki penyakit penyerta atau memiliki riwayat sindrom metabolik sebelumnya. Pada orang yang sudah memiliki penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, obesitas sentral, penyakit ginjal kronis, penyakit paru kronis sebaiknya harus lebih berhati-hati jika keluar rumah. Tetap minum obat secara teratur dan melakukan aktivitas fisik yang cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun