Satu dua tahun belakangan, Kulonprogo merebak menjadi wilayah 'panas' untuk dibahas. Terlebih setelah adanya wacana sampai pelaksanaan NYIA (New Yogyakarta International Airport). Pro-kontra yang terjadi adalah menyoal beda paham kepentingan dan kemaslahatan. Baik itu lewat 'dalih' masyarakat setempat maupun aspek manfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Waktu berlalu, fase pembebasan tanah pun beralih kepada fase pembangunan fisik salah satu fasilitas umum tersebut. Sedianya, tahun ini NYIA sudah beroperasi sehingga mampu mengakomodasi traffic lalu lintas udara yang memang amat padat (jika terus mengandalkan bandara lama -- Adisutjipto).
Menatap Masa Depan Dengan Strategis
Baik setuju maupun tidak, toh bandara akan tetap strategis. Bagi saya sendiri yang hidup dalam hiruk pikuk masyarakat Yogyakarta akan lebih baik menyusun strategi. Sehingga utamanya bagi masyarakat setempat, predikat masyarakat terdampak kemudian dapat beralih predikat menjadi pihak yang diuntungkan oleh sebab pembangunan.
Dilansir dari laman kemenpan seorang warga Kulonprogo mengaku senang ketika terdapat sarana prasarana baru. Aksesibilitas yang dekat, serta pemberian daulat mandiri kepada masyarakat agar sua-kelola terkait UMKM didaerah mereka.
Tomira (Toko Milik Rakyat) merupakan model pemberdayaan ekonomi lokal dengan kemasan modern. Tomira merupakan jawaban atas menjamurnya minimarket modern berjejaring di berbagai daerah di Indonesia. Betapa tidak, kalau tidak diatur dengan baik, tidak jarang kehadirannya menggerus perekonomian masyarakat setempat lokal.
Untuk menyelamatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo menginisiasi program yang dinamakan Toko Milik Rakyat (Tomira). Dengan tagline Bela Beli Kulon Progo, Pemkab Kulon Progo mengeluarkan Perda No 11 tahun 2011 yang mengatur perlindungan pasar tradisional serta penataan pusat perbelanjaan dan toko modern. "Konsekuensi Perda itu ialah, semua minimarket modern dengan jarak kurang dari 1.000 meter harus menentukan pilihan, yaitu tak diperpanjang izin, tutup, atau diambil alih oleh koperasi," ungkap Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kab Kulon Progo Sri Harmintarti, Sabtu (31/08) dikutip dari laman kemenpan.Â
Sekoci Ekonomi, Sebuah Solusi Kegelisahan
Beberapa waktu lalu, seorang Bambang Soepijanto melakukan anjangsana kepada masyarakat Kulonprogo. Agenda saat itu adalah duduk bersama untuk sharing kegelisahan warga setempat untuk nantinya berorientasi solusi agar masyarakat kian berdaya.
"Kumpul bersama warga memang selalu gayeng. Saya mengunjungi Kulonprogo untuk membahas prospek mengenai desa wisata. Pengelolaan fisik dan manajemen dalam bentuk UMKM sama-sama penting dalam mewujudkan desa wisata yang menyejahterakan. Mari bangun desa kita!", demikian caption yang beliau sematkan dalam videoblog kala diunggah dalam laman youtube miliknya.
Menurut Bambang Soepijanto, analogi sekoci ini berarti perahu-perahu kecil yang nantinya mampu untuk menyelamatkan 'perahu UMKM' milik masyarakat. Pada pelaksanaannya menyoal usaha mina atau perikanan milik warga perlu adanya usaha-usaha integratif. Mulai dari pembibitan, menjaga kualitas hasil panenan, sekaligus kesemuanya dibungkus secara cantik dalam tajuk desa wisata. Ketika diseminasi atau pembagian tanggung jawab serta rencana kerja tersebut berjalan lancar menurut beliau akan berlansung sebuah ekosistem sehat antara jual beli komoditas dalam UMKM masyarakat Kulonprogo. Demikian Bambang Soepijanto dalam menjawab kekhawatiran warga akan keberlangsungan UMKM dibidang mina atau perikanan.