Mohon tunggu...
Gerry Gratias
Gerry Gratias Mohon Tunggu... Karyawan Swasta II Penikmat Jogja -

Selanjutnya

Tutup

Nature

Longsor Kian Mengintai (Kota) Yogyakarta

14 Januari 2019   02:26 Diperbarui: 14 Januari 2019   02:27 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semasa kecil sejak mulai paham akan berita, tanah longsor seakan menjadi informasi rutin ketika musim penghujan. Dari dulu sekali, berita tentang tanah runtuh tersebut kerap akrab sekitar wilayah pegunungan yang memang riskan. Namun bertambah tahun longsor tidak lagi hanya terjadi seputar daerah tersebut. Apalagi, tajuk cuaca ekstrem semakin menjadi konsekuensi logis saat alam tak lagi 'pilih kasih'. Benar, tanah longsor kemudian menjadi dapat terjadi dimana saja termasuk di Yogyakarta.

Yogyakarta memang memiliki daerah-daerah yang 'identik' dengan bencana alam ini (tanah longsor, red.). Sebut saja daerah di Gunung Kidul atau Kulon Progo disekitar perbukitan menoreh. Kontur pegunungan kerap akrab ditengarai sebagai wilayah rawan longsor. Namun bukan itu yang membuat saya kemudian mendiskusikan tentang longsor di Yogyakarta. Satu hal lain yang menggelitik saya membahas hal ini adalah longsoran yang terjadi diseputaran Kota Yogyakarta. Sehingga 'tidak perlu' jauh mengarahkan mata untuk melihat fenomena alam sampai keujung barat ataupun selatan-timur Jogja.

Mendakwa Cuaca Ekstrem

Sepanjang tahun 2018 lalu, banyak fenomena alam yang tidak lagi bisa ditinjau dari prinsip regularitas. Mulai hitungan musim, hingga yang langsung dapat dirasakan yakni cuaca panas-hujan yang 'semena-mena'. Hal ini kemudian membuat orang-orang sekaligus para pakar mengerucutkan situasi demikian dengan istilah cuaca ekstrem. Prakiraan cuaca pun seperti tidak lagi bisa 'diandalkan', terutama bagi kita yang ingin berkegiatan diluar ruangan (outdoor). Dari sisi kesehatan, jelas signifikan. Pancaroba sebagai pengertian musim yang berubah-rubah kerap diidentikan dengan masa imunitas tubuh yang rentan. Apalagi waktu-waktu 'pancaroba panjang' ini, multivitamin untuk ketahanan tubuh sepertinya jadi laku keras, selain persiapan pribadi masing-masing orang.

Selain dampaknya terhadap manusia, cuaca ekstrem terlebih dahulu berdampak spontan terhadap alam. Sebut saja dalam bencana banjir dan tanah longsor. Namun sebaiknya (paling tidak menurut saya) cuaca ekstrem jangan kemudian dipandang sebagai sumber permasalahan. Lebih dari itu, mitigasi kebencanaan menjadi satu hal yang perlu dipikirkan matang-matang. Baik itu dimulai dari inisiatif individu masyarakat, maupun lewat inisiasi dari pihak pemerintahan.

Dokpri
Dokpri
Banjir dan Longsor yang Merambah Kota

Saya tinggal di wilayah perkotaan Jogja kurang lebih tiga tahun belakangan. Sebelumnya bertempat tinggal area yang lebih pinggiran (luar ringroad utara Jogja). Saat itu masih ingat ketika suara sungai tepat disisi timur masih begitu menenangkan. Namun sayang tak berlangsung lama, awal 2017 tiba-tiba saja longsoran meluluh-lantakan sebagian sisi tempat tinggal.

Dua tiga kali pula saya pernah menyurati pemerintah sampai tingkat kecamatan, namun sayang hasilnya nihil. Padahal dua tahun bukan pula waktu yang singkat untuk menunggu tanggapan pihak terkait. Tetap saja nir-solusi. Beberapa kali pula ada pihak-pihak mencoba meliput potret miris sekitaran sungai ini. Mulai dari media TV nasional maupun swasta, hingga yang terakhir saya ingat yakni perwakilan dari dinas PU Kota Jogja. Untuk yang terakhir ini, mereka mengemukakan memang tidak bisa menindaklanjuti sampai tingkat eksekusi. Akan tetapi rekomendasi untuk menjadi prioritas agar segera ditangani menjadi janji yang saya pegang sampai saat ini.

Paling cepat Desember 2018, sebab memang ada agenda pemerintah untuk revitalisasi sungai; termasuk daerah sekitar Kali Winongo. Saya pikir pas sekali, namun hingga minggu kedua bulan Januari ini belum ada tanda-tanda kedatangan pihak-pihak pelaksana. Ahh baiklah lebih baik menunggu sembari berpegang pada janji manis perwakilan pemerintah tadi.

Mengawali dengan Saling Mengingatkan

Ketika disadari bahwa tidak bisa sekaligus mengelola kebencanaan dibanyak tempat, saya pikir tanggung jawab ini dapat dimulai dari saling mengingatkan. Mulai dari dampak cuaca ekstrem secara umum, hingga kemungkinan-kemungkinan banjir dan longsor di wilayah tertentu. Menyoal media, saat ini saya pikir telah banyak platform media yang mudah untuk dijangkau berbagai kalangan. Toh mekanisme penyebaran informasi secara gethok tular masih menjadi salah satu yang paling signifikan bagi masyarakat Jogja. Menyoal kebencanaan oleh karena cuaca ekstrem yang masih berlangsung seyogianya dihadapi dengan bijak.

Dokpri
Dokpri
Mitigasi, Dimana Tanggung Jawab Pemerintah?

Dua tiga kali disurati, namun tetap nir-solusi. Perwakilan dari pemerintah yang menjanjikan revitalisasi sungai pun belum menemui tanda-tanda eksekusi. Lantas bagaimana saya harus menyampaikan keluhan berikut permohonan bantuan? Hal ini dua tahun belakangan menjadi salah satu yang hinggap dikepala. Sementara untuk kejadian-kejadian 'bertaraf nasional' pemerintah seakan begitu sigap merespon dan bertanggung jawab dalam tajuk mitigasi bencana.

Pertanyaan yang kemudian muncul seketika, sebegitukah pemerintah 'pilih kasih'? Terakhir sekitar dua minggu lalu terdapat longsoran baru diseberang bagian selatan, kali ini dibelakang rumah tinggal saya. Namun karena jenuhnya menunggu, kami sesama masyarakat terdampak seperti bermain kode 'tahu sama tahu'. Ketika ditanya pun saya yakin jawabannya sama, ingin cepat mendapat perhatian pemerintah guna pemecahan solusi atas longsoran yang kian menggerus bagian demi bagian tempat tinggal kami.

http://bambangsoepijanto.com/
http://bambangsoepijanto.com/
Ngayani, Ngayemi, Ngayomi

Seketika pula saya berpikir mengenai kinerja wakil rakyat terdekat, yang sejatinya masuk dalam kriteria anggota dewan. Ya, mereka yang termasuk jajaran Dewan Perwakilan Daerah. Sejauh mana mereka turut andil dalam pemecahan masalah yang kasat mata diseputaran Jogja? Pertanyaan demikian agaknya mulai jamak ditemui selain permasalahan kemacetan akibat kendaraan yang jumlahnya bertambah. Juga tentang menjamurnya hotel di Jogja yang terkesan begitu mudahnya ijin diberikan. Ahh jangan jauh-jauh dulu, mari berkeliling digang-gang sekitar kota saja. Silahkan lihat mana yang perlu dibenahi, terutama akibat cuaca ekstrem yang belakangan terjadi.

Bukankah wakil rakyat semestinya Ngayomi, Ngayemi, Ngayani ? seperti yang konstan disuarakan salah satu kandidat Bambang Soepijanto. Beliau secara lebih detail menyuarakan demikian seperti tertuang dalam website pribadinya http://bambangsoepijanto.com/ sebagai lebih dari upaya persuasi. Sebagai pengayom, sebagai pemberi rasa nyaman, serta sebagai pelayan masyarakat; kurang lebih demikian maksud Bambang Soepijanto menggambarkan situasi peran pemerintahan ketika diemban. Sudah saatnya pula wakil rakyat memang berasal dari wong cilik. Sehingga minimal early warning system yang memang berhulu pada masyarakat akar rumput dapat dilakukan. Secara khusus menyoal persiapan menghadapi cuaca ekstrem yang diprediksi masih akan terus terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun