Terpujilah Wahai Engkau Ibu Bapak Guru, Namamu akan Selalu Hidup dalam Sanubariku!
Hymne guru, petikan lirik lagu tersebut mengena sekali jika dinyanyikan dalam-dalam; apalagi ini tepat dihari guru. Berperan vital dalam dinamika persekolahan, sekaligus sebagai pengajar baik dalam ranah akademis juga (semestinya) terkait moralitas.Â
Seperti jam kerja yang hampir mengisi sebagian besar ketika hari terang, menyoal tentang guru memang tidak ada habisnya. Namun, pertama-tama ada yang menggelitik; gaung predikat pahlawan tanpa tanda jasa seperti kian lemah terdengar. Benarkah?!
Antara Suwardi Suryaningrat  dan Oemar Bakri
Mengulas tentang sosok guru, menarik jika dibahas tentang kedua figur tersebut. Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dalam perannya menciptakan pendidikan ideal (kala itu) di Indonesia.Â
Sementara Oemar Bakri, 'sosok guru' yang 'dicederai' dalam lirik lagu ikonik milik Iwan Fals. Prestasi pun tak kalah mentereng, jika quote pusaka pendidikan Ki Hadjar Dewantara begitu mengakar; 'sosok guru' versi Iwan Fals pun digadang telah banyak menciptakan dokter dan insinyur. Sama-sama ada peran yang bisa kita nikmati. Baik lewat sistem pendidikan saat ini, maupun lewat headset sembari menggoyangkan kepala seketika memutar lagu Oemar Bakri.
Guru dan Praksis Kebudayaan
Tidak dipungkiri bahwa kebiasaan di sekolah mempengaruhi pola perilaku muridnya; baik saat berseragam maupun saat lulusnya nanti. Disiplin, pekik tersebut menjadi yang paling sering diperdengarkan dan harus dilaksanakan semasa sekolah.Â
Harapannya, ketika dimulai dari kebiasaan kolektif menjadi sebuah praksis budaya kelak. Namun harus diakui bahwa kesemua kebiasaan tersebut tidak melulu baik; lihat saja jika bertemu teman semasa sekolah.Â
Ceritanya akan lebih "meriah" jika menerawang tentang cerita-cerita yang salah namun justru mengena; kadang bisa lepas tertawa. Tidak jarang deretan nama-nama guru yang diingat malahan adalah mereka yang "terlibat" dalam berbagai peristiwa jenaka tersebut.
Bagaimana pun, guru adalah pasak keserasian hidup realitas tentang sekolah. Sehingga akronim digugu lan ditiru yang melekat dalam identitas guru dalam konteksi kini sepertinya perlu sedikit adaptif.Â
Oleh sebab saat sekarang pendidikan tidak lantas perihal salah dan benar, guru sebagai pemantik diskusi dapat dibayangkan sebagai situasi yang menyenangkan. Merawat keserasian hidup sebagai seorang hidup pun nampaknya sudah menjadi keseharian Bambang Soepijanto dalam dinamikanya bersama masyarakat Yogyakarta. Konsistensi yang diemban dan dilaksanakan, sehingga figur guru sepertinya jangan terbatas tentang pahlawan tanpa tanda jasa.
Selamat Hari Minggu Bapak Ibu Guru! Selamat Harimu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H