Para penggagas acara sepertinya ingin mengajak penikmat larut dalam hakikat jazz yang dekat tidak terbatas telinga; namun juga tak jauh dipandang mata.
Sederhana, persuasi demikian dipertegas melalui potret yang tidak dibuat-buat dari tatapan potret Desa Pandak sebagai lokasinya kali ini. Selain melestarikan jazz yang telah tersohor, event juga seperti memperkenalkan bahwa lanskap desa dapat dikondisikan sedemikian komersil.
Seorang Bambang Soepijanto pernah menggagas dan melakukannya di Gunungkidul dan Kulonprogo. Kawin mawin tajuk kebudayaan semerta komersialisme sektor usaha dapat dilaksanakan serempak.
Sehingga Ngayogjazz contohnya, dapat menjadi ajang untuk pembuktiannya dalam tajuk suguhan musik. Yogyakarta memang tidak jauh dari romantisme yang demikian, lantas bagaimana situasi kedepan dalam terpaan lini massa atas nama globalisasi? Menarik untuk ditunggu. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H