Mohon tunggu...
Gerry Gratias
Gerry Gratias Mohon Tunggu... Karyawan Swasta II Penikmat Jogja -

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

"Burjo" dan "Angkringan", Ketika Pendatang Bisa Jumpai Penjaja Lokal

18 November 2018   08:30 Diperbarui: 19 November 2018   13:04 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak heran jika ngoko semakin lazim terdengar dibandingkan Bahasa Indonesia atau bahkan ngomong Sunda (terkecuali bagi mereka yang memang berasal dari Jawa Barat dan sekitarnya).

Melalui persuasi sedemikian, nampaknya efektif agar pelanggan menghabiskan waktu lebih lama baik di burjo maupun angkringan. Sehingga jarang sekali ditemui penjaja yang hanya makan kemudian langsung saja pergi. Efektif sekali dalam strategi "menghabiskan dagangan".

(brilicious.brilio.net)
(brilicious.brilio.net)
Antara 24 jam dan sore sampai malam
Beda yang mencolok antara burjo dan angkringan terletak pada jam bukanya. Burjo, nyaris hanya tutup menjelang lebaran hingga dua minggu setelahnya. Sehingga para pencari tempat alternatif ini selalu kebingungan dibuatnya pada sekitaran waktu idul fitri. 

Lantas untuk angkringan lebih sedikit jam kerjanya. Memang ada sebagian yang buka dari pagi, namun kebanyakan buka siang sore sampai malam. Penjual angkringan yang pernah saya temui paling larut pulang satu dua jam lepas tengah malam.

Signifikasi pilihan brand marketing
Secara khusus menyoal angkringan, tidak ada brand tertempel baik di meja apabila disediakan; maupun digerobaknya. Hanya satu dua tempat yang pernah saya lihat ada angkringan yang memakai brand minuman sachet menjadi penghias tenda yang dipasang terikat pada gerobak.

Tidak signifikan jika dibandingan burjo yang dekorasinya begitu warna-warni. Kecuali memang di angkringan kopi joss sekitaran Stasiun Tugu, banyak tempelan promosi ojek online bahkan pada kaos yang dikenakan penjajanya. 

Hal itu pun mengemuka pasca Ben-Jodi menghadirkan scene ditempat yang sama pada edisi kedua filmnya. Padahal dari sisi pasar konsumsi, angkringan bahkan sering kali tidak lebih murah ketika kita bayar makan dan minum di burjo.

Jika dipandang sebagai suatu UMKM, angkringan yang mengusung suguhan lokal ini tidak kalah menggiurkan omsetnya. Agaknya Bambang Soepijanto reflektif akan hal demikian, melalui kemajuan sektor UMKM yang menjadi tawarannya. Sehingga gerobak, tidak hanya terlihat serupa garis-garis pohon kayu yang menjadi bahan bakunya. Sedangkan pada meja tidak hanya bertaplak motif papan catur 'saja' sudah terlihat mewah.

Demikian kupasan dua pilihan yang digadang sebagai tempat yang pas di kantong. Meskipun serupa namun tak sama antara burjo dan angkringan. Dari harga, lantas siapa lebih mahal diantara mereka? Silakan anda tentukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun