Mohon tunggu...
Gerry Gratias
Gerry Gratias Mohon Tunggu... Karyawan Swasta II Penikmat Jogja -

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Makan di Kota Yogyakarta, Masihkah Sederhana?

17 November 2018   13:25 Diperbarui: 17 November 2018   15:19 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada cerita yang mewarnai kopi pagi hari ini, antara saya dan teman satu kontrakan. Kebetulan memang dia baru pulang dari Jakarta. Subuh tadi sampai Stasiun Tugu, lanjut jalan kaki mumpung masih sepi di seputaran Jalan Malioboro. Perut lapar lalu memutuskan untuk duduk dan memesan pecel salah satu penjaja di trotoar. 

Usai makan, saatnya membayar. Nasi pecel, gorengan dua, serta teh panas dihargai tujuh belas ribu rupiah. Seketika tidak menjadi gelitik, sebab memang baru saja dari Jakarta yang sekali makan bahkan bisa dua kali lipat harganya. Namun lain cerita saat kami duduk kejadian tersebut jadi tajuk obrolan kami.

Tujuh belas ribu?! Tentu tidak adil jika membandingkan dengan harga dikota saya yang juga menjamur nasi pecel disana. Tapi ini di Jogja, kami berdua yang kebetulan sama-sama dari Jawa Timur ini lalu membandingkan dengan harga pecel yang beberapa ada penjualnya di Jalan Laksda Adi Sucipto (Jalan Solo). Disatu tempat memang harganya mulai enam ribuan, serta ditempat lain dibawah sepuluh ribu.

Ahh mungkin karena ketenaran Malioboro yang membuat harga makanan yang dijual disana pun turut 'terdongkrak'. Jadi ingat ketika dulu ada ricuh soal harga yang wajib diinformasikan pada para penjaja, agar dilihat sebelum membeli. Lantas bagaimana dengan penjual pecel tujuh belas ribu tadi? Mungkin dia merasa itu hanya berlaku bagi penjual yang buka dari siang sampai malam; demikian kami saling lempar jawaban sarkas.

Waktu yang berbeda, ada teman lain yang bercerita tentang ketakjubannya membayar penyetan untuk porsi berdua hanya tiga puluh lima ribu; katanya demikian. Lalu ia mengambil lima puluh ribuan dari saku, tanpa minta kembalian. Lagi-lagi, teman tersebut memang sehari-harinya berkutat dengan harga makanan di Jakarta. Hal ini menarik, sebab ditengah mereka yang menikmati makan di Jogja harganya kian hari kian naik; tetap ada yang menganggap makan di Jogja itu 'sederhana'.

Satu simpulan spontan kemudian adalah makan di Jogja itu tergantung daerahnya. Bahkan untuk situasi tertentu tidak dilihat dari jenis makanan yang kita pesan. Bambang Soepijanto, pria kelahiran Situbondo ini tentunya juga tidak asing dengan makanan 'Salad Jawa' ini. Bedanya mungkin hanya disini tidak ada ote-ote, karena Jogja lebih akrab dengan bakwan. Terkait 'sederhana'-nya makanan Jogja, agaknya juga menjadi kegelisahannya untuk menjadi perbincangan saat jadi representasi masyarakat nanti. Sebab hal ini sesuai dengan rencananya dalam usaha peningkatan sektor UMKM di Yogyakarta.

Menarik untuk terus disimak kedepan terkait aspek kesederhanaan ini. Termasuk segala perubahan yang terjadi, apakah memang ada nilai lokal yang tergerus atau hanya dalam tajuk penyesuaian dengan 'dunia luar' seperti cerita makanan diatas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun