Mohon tunggu...
Gerry Gratias
Gerry Gratias Mohon Tunggu... Karyawan Swasta II Penikmat Jogja -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ruang Ekspresi Bernama SAKI

14 November 2018   11:09 Diperbarui: 14 November 2018   11:18 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Yayasan Biennale Yogyakarta

Ada keakraban dalam tiap perbincangan saya dan Pak Man, penjual mie ayam langganan. Ya, siang ini setelah lama tak bersua beliau sekaligus mengisi perut yang sedari pagi belum diisi. 

Alhasil kenyang, sekaligus ada raut-raut bahagia yang lama tidak terlihat. Ahh selalu teduh anjangsana ditempat ini. Hari ini saya ada janji konfirmasi dengan seorang kawan, ada mahasiswa luar negeri yang ingin berkenalan alasannya. Selalu ada yang menarik memang tentang warna-warni bantaran kali. Usai memantapkan parkir kuda besi disebelah warung mie ayam tadi, perjalanan saya lanjutkan dengan jalan kaki.

Ditengah-tengah kawasan Ledok Tukangan, ada bangunan bambu yang berdiri mantap meskipun tanpa kilau pelituran mengkilap. Si kawan sudah menunggu saya selama sebatang rokok, ahh tidak terasa katanya. 

Hari ini ada jadwal mengajar dari rekan-rekan relawan memang, jadi sekalian ia menyambut yang lain datang; begitu ia lantas menambahkan. Lepas alas kaki, saya lantas duduk bersila berhadapan dengan si kawan sambal menunggu kopi yang terlebih dulu dipesan. Kali ini saya berada dibangunan yang didaulat sebagai sanggar. SAKI namanya, sebuah kolektif yang menampung berbagai aspirasi terutama anak kecil dan pemuda kampung sini. Sesuai namanya, Sanggar Anak Kampung Indonesia.

Diinisiasi oleh karena keresahan akan perubahan zaman yang menggerus masa bermain anak-anak, kolektif ini kemudian dibentuk. Agar generasi baru juga ikut merasakan bermain diluar, tidak hanya memaku didepan layar televisi maupun gawai. 

Sekaligus sebagai wadah literasi, baik dimulai dari komik maupun terkait subjek pelajaran sekolah. Selain berkegiatan diatas, SAKI juga sukses menggelar pameran salah satu yang paling tenar adalah dengan judul "Kampungku Uripku". Pameran tersebut sukses menjadi salah satu dokumentasi pada Festival Biennale Yogyakarta tahun 2015.

Foto: Yayasan Biennale Yogyakarta
Foto: Yayasan Biennale Yogyakarta
Ada pesan yang terus diusung komunitas ini. Ditengah riuh redamnya pembangunan khususnya disekitar perkotaan, ada ingatan yang sejak lisan mesti tetap dilestarikan. Ada nilai yang tak patah dimakan zaman, sebagai warisan masa lampau agar tidak mudah diterpa perubahan zaman. 

Warisan budaya yang harus dijaga, hal ini sejalan dengan sosok Bambang Soepijanto yang turut serta dalam getok tular kebudayaan Yogyakarta. Melihat gagasan yang demikian luhur, maka layak jika menarik perhatian mahasiswa Belanda untuk juga mengulik lebih lanjut situasi yang ada dalam tajuk penelitian. Satu apresiasi yang patut untuk dibanggakan, sehingga kebanggan tentang gemah ripah Jogja jangan hanya sebatas memoar.

Namun demikian, pembangunan tidak lantas bermakna buruk. Hanya saja perlu dibarengi keajegan nilai konservatif yang tak selalu menjadi musuh. Biar keduanya beriringan, sehingga terjadi harmoni antara arus perubahan zaman dengan nilai luhur yang selalu menjadi pegangan. Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun