Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wayang Bertarung Melawan Dalangnya

10 April 2012   00:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:49 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13340173142092475431

[caption id="attachment_170857" align="aligncenter" width="490" caption="Gambar : 1.bp.blogspot.com"][/caption]

*) Tanggapan atas artikel “Kasus Papua: Mau Diselesaikan Kapan?”

Saya terdorong memberikan catatan kritis atas postingan seorang Kompasianer Gema Bastari (mahasiswa Paramadina) pada Minggu, 8 April 2012 dengan judul sebagaimana tersebut di atas. http://politik.kompasiana.com/2012/04/08/kasus-papua-mau-diselesaikan-kapan/

Catatan kritis ini bermaksud memberikan ‘pencerahan’ kepada agar generasi muda bangsa, khususnya kaum muda Papua agar tidak semakin jauh mengalami “sesat pikir” lantaran dengan sengaja “disesatkan” melalui penafsiran sejarah secara sempit dan sepihak.

sdr. Gema Bastari melalui postingannya itu telah berusaha keras untuk meyakinkan publik bahwa proses integrasi Papua ke dalam NKRI sarat dengan kecurangan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di masa lalu.

Kecurangan yang dimaksud adalah  perundingan New York merupakan penyerahan penjajahan atas Irian dari Belanda ke Indonesia. Disebut curang,  karena dalam perundingan itu  tidak melibatkan rakyat Papua.  New York Agreement dinilai telah mengabaikan eksistensi rakyat Irian (lihat postingan dimaksud, paragraf pertama dan ketiga).

Jika benar perundingan New York adalah penyerahan penjajahan, untuk apa Indonesia harus berdarah-darah bertarung melawan Belanda selama bertahun-tahun? Atau setidaknya ada “sesuatu” yang Indonesia berikan kepada Belanda sebagai kompensasi untuk mendapatkan wilayah Papua. Tapi fakta sejarah membuktikan Belanda harus angkat kaki tanpa syarat setelah satu demi satu wilayah kekuasaannya dilucuti.

One people one vote

Sedangkan pelanggaran versi sdr. Gema Bastari adalah  sistem perwalian dalam pelaksanaan PEPERA tidak sesuai dengan ketentuan New York Agreement yakni one people one vote. (lihat paragraf keempat).

Dalil ini bisa dibenarkan jika dan hanya jika proses integrasi Papua ke dalam NKRI dimulai dari New York Agreement tahun 1962 dan berhenti pada PEPERA tahun 1969. Tetapi fakta sejarah membuktikan bahwa PEPERA bukanlah titik akhir. Karena hasil PEPERA masih harus dibawa ke Sidang Umum PBB ke-24 yang kemudian menghasilkan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 2504 tanggal 19 November 1969.

Menggugat Resolusi PBB 2504

Mestinya, para aktivis Papua merdeka menggugat Resolusi Majelis Umum PBB, bukan PEPERA atau kesepakatan New York. Mengapa mereka lebih suka mempermasalahkan PEPERA daripada Resolusi PBB? Sebetulnya bukan karena sistem perwalian versus one people one vote, tetapi karena ini adalah bagian dari grand strategy pihak asing untuk membenturkan Papua versus Jakarta (devide et impera alias politik adu-domba).

Jika Resolusi PBB digugat itu berarti para aktivis Papua merdeka harus menggugat 114 negara yang menghasilkan Resolusi PBB tersebut. Jika kesepakatan New York digugat berarti mereka harus menggugat juga Amerika, Inggris dan Belanda yang memfasilitasi tercapainya kesepakatan itu.

Mereka tidak mungkin melakukan itu. Mengapa?  Karena aktivitas mereka  bisa eksis dan bahkan mereka hidup dari donasi negara-negara itu. Sebut saja Benny Wenda yang meski berstatus buronan interpol tapi tetap saja masih bebas berkampanye untuk Papua merdeka di Belanda dan mendapat suaka politik dari Inggris. Herman Wanggai cs yang berjuang untuk Papua merdeka dari Amerika Serikat dan Australia, dan Oridek AP dkk dari Belanda, dan masih banyak lagi yang lain.

Di sini berlaku "hukum pewayangan"  bahwa  wayang tidak mungkin bertarung melawan dalangnya sendiri.

Titik Nol

Hemat saya, dalil yang diangkat dalam postingan itu bukanlah hal baru. Karena jauh sebelumnya para aktivis Papua merdeka sudah sangat sering menulisnya di sejumlah media lokal dan situs-situs jejaring sosial serta sudah berulang kali diteriakan dalam aksi-aksi demo di jalanan. Intinya, mereka ingin mengembalikan status politik wilayah Papua ke titik nol, dan menuntut dilakukan referendum ulang untuk menentukan status politik Tanah Papua.

Inilah alasannya mengapa wilayah Papua hingga kini terus bergolak. Bukan soal kesejahteraan, bukan soal Papua minus perhatian Pemerintah Pusat, dan bukan pula karena Freeport. Itu semua hanya “kemasan palsu” untuk membungkus tuntutan utama mereka, yaitu referendum.

Sekali lagi, sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia melalui perjuangan berdarah-darah telah mengusir penjajah Belanda dari bumi Nusantara dan memproklamirkan sebuah negara merdeka, termasuk dari Tanah Papua. Bukan mengkoloni Papua.

Jadi, perjuangan yang dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi Belanda (dulu) dan menghadapi separatis (kini) tak lain tak bukan adalah mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Ini merupakan konsekuensi logis dari azas uti possidetis juris, yaitu batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian MERDEKA, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun