Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kontra Kesaksian Novela Kuatkan Sejarah Integrasi Papua

15 Agustus 2014   16:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:29 2845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_319323" align="aligncenter" width="465" caption="www.republika.co.id"][/caption]

Fenomena kemunculan Novela Nawipa dari Papua di panggung pemberitaan media mainstream dan media sosial hari-hari ini memiliki nilai strategis bagi Indonesia. Karena Novela bisa “membantu” Pemerintah Indonesia meredam isu Papua di dunia internasional.

Salah satu isu internasional terkait Papua, atau tepatnya internasionalisasi isu Papua adalah tuntutan referendum ulang yang sudah berulang kali selama satu dekade terakhir selalu disuarakan kelompok parlemen jalanan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI melalui PEPERA (penentuan pendapat rakyat) tidak sah, lantaran tidak dilakukan dengan prinsip hukum internasional one man one vote. Mungkin hari ini akan ada sejumlah parlemen jalanan yang kembali beraksi mempersoalkan PEPERA dimaksud sebagaimana aksi-aksi yang pernah dilakukan di tahun-tahun yang lewat.

Sangat kebetulan, kemunculan Novela itu persis di bulan Agustus dimana pada bulan yang sama 52 tahun yang lalu sebuah kesepakatan internasional diteken untuk dijadikan dasar penyelesaian status politik wilayah Papua yang waktu masih bernama Irian Barat. Peristiwa dimaksud adalah penandatanganan New York Agreement antara Indonesia dan Belanda tanggal 15 Agustus 1962. Ini adalah sebuah tonggak sejarah perjuangan NKRI membebaskan Tanah Papua dari cengkeraman penjajah Belanda. Dengan perjanjian itu, Belanda “dipaksa” untuk tidak lagi mengingkari atau mengulur-ulur waktu untuk mengembalikan Papua menjadi wilayah kedaulatan NKRI.

Terlepas dari benar atau tidaknya kesaksian Novela dalam sidang Mahkamah Konstitusi beberapa hari lalu, munculnya beragam reaksi yang mengarah kepada pembenaranfakta sejarah tentang penggunaan 'demokrasi Noken' di Papua. Bahwa ternyata di jaman demokrasi modern ini dimana dunia sangat mengagung-agungkan prinsip demokrasi one man one vote, di 12 kabupaten di Papua masih menggunakan metode demokrasi tradisional. Yaitu demokrasi budaya Noken dan budaya ‘ikat’.Budaya ini mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam mekanisme pengambilan keputusan sebuah suku. Termasuk kesepakatan untuk memilih calon legislatif (Pileg), calon bupati dan calon gubernur (Pilkada) maupun calon presiden dan wakil presiden (Pilpres).

Mahkamah Konstitusi telah mengesahkan penggunaan mekanisme demokrasi Nokendalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia (Pileg, Pilkada, Pilpres) dengan putusan No. 47-48/PHPU.A-VI/2009 tanggal 9 Juni 2009. Sistem Noken ini dinilai sejalan dengan ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU.

Sejalan dengan itu, mantan Hakim MK Maruarar Siahaan dalam sebuah wawancara dengan Metro TV yang ditayangkan Kamis siang (14/8/2014) membenarkan bahwa sistem Noken memang masih hidup dalam masyarakat adat Papua, dan sudah dipraktikan sejak PEPERA 1969 serta dalam Pemilu-pemilu di era Orde Baru hingga era Reformasi. Tidak ada yang mempermasalahkannya.

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menganalogikan budaya Noken dan sistem ikat itu dengan praktik demokrasi modern di Amerika Serikat, dimana kelompok warga AS dari keluarga besar ber-“marga” Bush misalnya memilih Partai Republik, dan “marga” Clinton memilih partai Demokrat.[1]

Kembali soal New York Agreement yang hari ini (15 Agustus 2014) genap berusia 52 tahun itu. Sebelum adanya New York Agreement, Belanda berulangkali melanggar isi kesepakatan dengan Indonesia untuk mengembalikan wilayah Papua. Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diteken di Den Haag tgl 22 Desember 1949, Belanda setuju seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, yang harus diserahkan ke dalam pangkuan NKRI, kecuali penyerahan Papua Barat akan dilakukan 2 (dua) tahun kemudian. Belanda ingkar janji karena hingga tahun 1961, janji itu tidak terealisasi. Ia justru memperkuat keberadaannya di wilayah Papua dengan membentuk negara “boneka” di Papua dengan ibukotanya di Hollandia (sekarang Jayapura).[2]

Budaya Noken dalam PEPERA 1969

Setelah melalui berbagai upaya mengusir Belanda dari Papua gagal, Bung Karno menggalang kekuatan dari negara-negara Asia dan Afrika, menyerukan Tri Kora (Tri Komando Rakyat) tahun 1961, sambil melengkapi kekuatan militer Indonesia dengan berbagai peralatan perang yang didatangkan dari Sovyet. Kendati konfrontasi fisik Indonesia-Belanda tidak sempat terjadi, Amerika Serikat khawatir masalah Papua bisa menyebabkan Perang Dunia Ketiga.

Berangkat dari kekhawatiran itulah, AS lalu mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia. Perundingan itu menghasilkan sebuah kesepakatan damai yang kita kenal dengan New York Agreement 1962.Dalam perjanjian itu memang tidak disebutkan secara eksplisit tentang one man one vote bagi masyarakat Irian Barat untuk menentukan self-determination. Tetapi hanya meminta Pemerintah Indonesia (dibawah pengawasan PBB) agar act of self-determination itu dilakukan sesuai dengan praktik internasional, sebagaimana tercantum dalam pada Article XVIII perjanjian itu:

“Indonesia will make arrangements, with the assistance and participation of the United Nations Representative and his staff, to give the people of the territory the opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include ... the eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice, who are resident at the time of the signing of the present Agreement and at the time of the act of self-determination ... ."[3]

14080691482050804799
14080691482050804799
penandatanganan New York Agreement 15 Agustus 1962 (ANRI)

Menjadi persoalan adalah ketika praktik internasional itu tidak dapat dilaksanakan di Papua karena berbagai kendala (lebih-lebih kondisi alam dan sulitnya akses untuk menjangkau seluruh masyarakat di gunung-gunung dan hutan). Sementara dalam masyarakat adat Papua masih berlaku mekanisme pengambilan keputusan secara adat melalui sistem noken dan ikat dimaksud. Maka ditempuh sistem perwakilan, yang tentu saja didahului mekanisme sistem noken dan sistem ikat di masing-masing suku.

Terpilihlah 1.027 wakil dari berbagai daerah yang disebut DMP (Dewan Musyawarah Papua) untuk melakukan act of self-determination di tujuh kota Kabupaten (waktu itu Irian Barat hanya terdiri dari 7 kabupaten). Act of self-determination itu kita kenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat). PEPERA akhirnya berhasil digelar tahun 1969, dengan hasil akhir : rakyat Papua bagian barat memilih tetap dalam bingkai NKRI.

Peneliti Papua dari LIPI, Muridan Wijoyo yang menjelaskan bahwa Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962.

“Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain,” jelasnya. “Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.” Tegas Muridan.

Selanjutnya hasil pemilihan itu dibawa ke PBB untuk diuji oleh Majelis Umum PBB termasuk mekanisme pemilihannya. Mayoritas negara-negara anggota PBB yang menghadiri Sidang Majelis Umum PBB menerima hasil pilihan masyarakat Papua tersebut, dengan komposisi 80 negara setuju dan hanya 20 negara yang abstain. Pengakuan PBB itu lalu dituangkan dalam sebuah Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 dan disahkan tanggal 19 Oktober 1969. Resolusi itu sekaligus mengakhiri perdebatan panjang tentang status politik wilayah Papua. Artinya, keberadaan Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI sudah FINAL.

Fakta sejarah itu membuktikan bahwa ternyata negara-negara anggota PBB mengakui hasil PEPERA yang dipilih menggunakan sistem perwakilan (yang didahului sistem mekanisme Noken di masing-masing suku). Artinya demokrasi Noken memang sudah diakui dunia saat itu sebagai simbol musyawarah tertinggi pengambilan keputusan bagi masyarakat adat Papua.

Penekanan saya lebih kepada sikap para pemuda Papua yang tak bosan-bosannya menyuarakan bahwa PEPERA 1969 itu ilegal. Itu sama saja mereka menolak model demokrasi adat-nya sendiri yang juga dipraktikan dalam pelaksanaan PEPERA.

Jika masyarakat dunia saja bisa menerima, mestinya kita selaku yang empunya budaya lebih menghargai dan melestarikannya. Bukan malah mengkhianatinya dengan berbagai macam dalih (?!)Teruslah berkhianat, nanti para leluhurmu akan mengadili pengkhianatanmu.

[1] http://sosbud.kompasiana.com/2014/08/13/fenomena-nowela-dan-demokrasi-noken-668382.html

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Jayapura

[3] http://www.refworld.org/docid/3ae6a8700.html

[4] http://news.viva.co.id/news/read/261252-faktor-rusuhnya-papua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun