Mohon tunggu...
rudy geron
rudy geron Mohon Tunggu... -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semakin Banyak Kepala Daerah Masuk Penjara

29 Juli 2015   23:29 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:47 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin hari, bertambah banyak kepala daerah jadi tersangka kasus korupsi yang akhirnya masuk penjara. Hingga saat ini, sudah mencapai angka ratusan orang. Informasi tentang jumlah kepala daerah tersangkut tindak pidana berhubungan dengan penggelapan duit negara dengan mudah diakses melalui media.

Mengapa pejabat negara kita begitu buruk kualitasnya? Kalau dikatakan negara Indonesia termasuk negara ranking tertinggi dalam hal korupsi, kita semua sudah lama mengetahui dan sejak dulu cuma bisa mengelus dada tanda tak mampu berbuat apa-apa.

Di jaman Soekarno, korupsi juga banyak terjadi, walau tidak mampu diliput media disebabkan kepemimpinan presiden yang sangat kuat mirip diktator sehingga banyak wartawan kritis semisal Mukhtar Lubis harus mendekam di penjara.

Kekuasaan berganti, di era orde baru Soeharto, malah bisa dikatakan kalau korupsi sudah dapat berubah wujud jadi budaya. Saat itu, melihat pejabat setingkat walikota bisa hidup bergelimang harta, orang malah maklum dan anggap itu hal biasa, dan setuju bahwa memang begitulah seharusnya. Pegawai pemerintah yang diangkat jadi pimpinan proyek di satu instansi, akan mendapat jabat tangan ucapan selamat, dianggap telah mendapat rejeki dari Tuhan dan segera akan menjadi kaya raya, karena sebagai pimpro atau jabatan sejenis itu, berarti berkuasa mengelola banyak uang negara yang tidak satupun orang dapat mengawasinya, sehingga tentu dengan mudah juga membuat kantong sang pejabat penuh sesak dengan sebagian duit tersebut.

Apalagi kalau diangkat jadi bupati, walikota atau gubernur. Kalau selametan cuma potong kambing, rasanya kok kurang berterima kasih atas anugerah yg Tuhan berikan. Selametan haruslah diadakan secara meriah, walau untuk menunjukkan tingkat religi yang tidak diragukan, harus juga mengikutsertakan beberapa puluh anak yatim, dan sang pejabat baru yg ketiban nikmat tersebut, yang bisa sedikit berbahasa arab akan bilang "subhanallah" saat di beri ucapat selamat. Tentu tidak lupa bilang: "ini semua amanah"...

Ketika kekuasaan jatuh ke kelompok reformis, di era reformasi, kita begitu berharap bahwa semua korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah menjamur merata di semua lapisan birokrasi, bisa terkikis habis dengan adanya semangat menggebu didasari keinginan untuk membentuk pemerintahan yang lebih baik demi kesejahteraan rakyat.

Ternyata, kenyataan tak sesuai dengan harapan. Realita yang ada, jauh pula dari cita-cita. Korupsi makin menjadi-jadi. Yang sebelumnya hanya dilakukan oleh Soeharto dan kroninya, maka sejalan dengan otonomi daerah yang dilaksanakan, maka korupsi bermunculan merata di seluruh daerah, dari merauke sampai sabang.

Kondisi semakin parah, karena ternyata, untuk mengikuti pemilihan pilkada model terbaru yang berlaku saat ini, maka calon kepala daerah harus mengeluarkan uang yang sungguh demikian tinggi. Pemilihan langsung yang dipakai sekarang, mengharuskan calon kepala daerah untuk turun ke tiap kecamatan bahkan desa, untuk satu kegiatan kampanye, yang sebenarnya tidak lain dari... membeli suara!.
Ini adalah konsekuensi logis dari sistem one man one vote, dan manifestasi kedaulatan rakyat. Dengan catatan kaki, bahwa yg dimaksud dengan rakyat, harus dijelaskan sebagai.. rakyat miskin yang hidup susah di desa, sehingga wajar kalau memanfaatkan one vote-nya untuk mendapatkan tambahan penghasilan di saat pemilu. Tentang siapa yang dipilih, mayoritas rakyat tidak terlalu perduli. Bukankah urusan perut, saat ini, lebih penting?

Akhirnya, pembaca, kepala daerah yang ada sekarang, di manapun dia terpilih, telah menghabiskan begitu banyak dana kampanye, yang tentu tidak bisa ditanggung seorang diri, karena begitu mahalnya, maka harus ada yang ikut membiayai. Dana segar yang habis dipakai kampanye ini, tentu akan dicatat sebagai... hutang uang, atau hutang budi... yang kiranya tidak mungkin untuk tidak dibayar oleh bapak kita kepala daerah terpilih.

Darimana kepala daerah ini mendapatkan uang untuk membayar hutang? Pembaca dan saya tentu dengan mudah menjawabnya.

RG. Salam NKRI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun