Bandung, 3 Agustus 2020
Pandemi Covid-19 ini mengisahkan banyak cerita, terlebih saat saya dan rekan muda sesama Jurnalis menyempatkan diri untuk singgah di Paris Van Java atau juga yang kita kenal dengan nama tenar Bandung lautan api.
Hari pertama kami sudah dibuat kagum, melewati Jalan Raya Dago dengan pertokoan yang masih identik dengan bangunan tua khas belanda. Sepertinya dompet tak bersahabat jadi kami putuskan untuk mencari kafe yang suasananya belum pernah kami temukan sebelumnya.
Tibalah di Cafe Tahura Lembang, kami terpaku akan keunikan kafe tersebut, mengapa tidak? ditemani secangkir Choco Banana, duduk dibawah pepohonan pinus yang memang sudah menjadi gaya kafe itu ditambah hadirnya kekasih hati. Â Â
Tak ingin terburu-buru menikmati destinasi wisata di Bandung, kami singgah dirumah salah satu rekan yang berada di Soreang. Disana kami disambut karedok khas Sunda. Memang mirip dengan gado-gado tapi, makanan yang satu ini disajikan dengan ragam sayuran mentah.
Sebagai gantinya, kami mengajaknya mengunjungi Jalan Asia-Afrika yang terbentuk karena adanya Konfrensi Asia Afrikas (KAA) dan itu memang sudah jadi tujuan kami sebelum bergegas menuju Kota Kembang.
Saya yakin kalian sudah tidak asing lagi dengan kalimat ini, "Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum" tentu saja itulah adalah mural yang sengaja dipasang agar pengunjung lebih mendapat Chemistry saat mengunjungi Bandung.
Betapa terkejutnya, setelah memarkirkan kendaraan kami disekitar Braga, Jalan Asia-Afrika harus ditutup guna mengantisipasi penyebaran corona oleh pihak Kepolisian.
"Mohon kepada pengunjung untuk meninggalkan Jalan Asia-Afrika dikarenakan mengantisipasi penyebaran Virus Corona," imbau pihak Kepolisian melalui pengeras suara secara berulang-ulang.
Jujur! Rasa hati menyesal, tapi saya terkagum-kagum oleh keindahan yang belum tentu bisa kalian rasakan. Apa itu?
Saat berjalan kaki melawati kawasan Braga, dipinggir Jalan itu ada bangku yang terkesan mewah, sekitar 6 bangku menemani perjalanan kami disepanjang jalan itu.
Dibangku pertama yang kami jumpai, duduk segerombol pemuda yang tercium bau alkohol. mereka duduk didepan toko yang seperti sudah tak lagi beraktivitas namun, didalamnya terdengar suara keras yang mengisyaratkan bahwa toko itu adalah bar/diskotik yang memang dijaga oleh segerombol pemuda tadi.
Dibangku kedua, kami melihat sepasang kekasih yang sedang bercumbu mesra tanpa mepedulikan sekitarnya.
Dibangku ketiga, duduk seorang penjual bunga yang dari raut wajahnya penuh harap ada pasangan kekasih yang sudi membeli bunganya yang tampak mulai layu.
Bangku selanjutnya tak diduduki, tiga orang gadis sedang  sibuk saling mengambil gambar untuk diabadikan di Instagram nya.
Bangku kelima kosong, tak ada yang sedang ingin duduk disana rupanya.
Nahhh ini yang paling berkesan, bangku terakhir yang jaraknya tak jauh dari Kantor Berita Antara Biro Jawa Barat diduduki seorang lelaki tua yang wajahnya tampak sangat lesu, dibawah kakinya ada karung yang berisikan botol/gelas plastik bekas itu sekaligus menandakan Ia adalah seorang pemulung.
Makna yang langsung bisa saya petik adalah siapapun kalian, Bandung tak mempedulikan itu. Buktinya, Pemabuk, Pecinta, Penjual Bunga, Anak Alay hingga Pemulung pun memiliki hak yang sama semuanya duduk sama rata.
Hal ini jarang bahkan tak pernah ku temui di Kota tempat tinggalku dimana di Kota itu pun aku mencari nafkah.
Tak sampai disitu saja, saat hendak pulang dengan keadaan dompet yang mulai menipis untuk membayar dipintu Jalan Tol, kami memutuskan untuk melintasi Kabupaten Bandung Barat, disana jajran Gunung Batu melambaikan tangan yang jika diaudiokan sperti ini bunyinya "Sampai jumpa kembali". (Gerard Soeharly)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H