Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyampaikan[1] bahwa reklamasi ini dilakukan guna mengurangi dampak bencana alam dan dampak iklim global, serta menangani kerusakan pantai pesisir, khususnya Pulau Pudut yang keberadaannya sudah terancam karena perubahan iklim global. Kemudian kebijakan rencana pengembangan Teluk Benoa ini adalah untuk meningkatkan daya saing dalam bidang destinasi wisata dengan menciptakan ikon pariwisata baru dengan menerapkan konsep green development, sebagai upaya mitigasi bencana, khususnya bahaya tsunami. Reklamasi ini akan menambah luas lahan dan luas hutan bagi Pulau Bali, yang tentu sangat prospektif bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Bali.
2. Alasan pihak anti reklamasi menolak untuk dilakukannya reklamasi di Teluk Benoa?
Gerakan ForBALI menolak dilakukannya reklamasi karena proses penerbitan izin reklamasi yang dianggap secara diam-diam, dan manipulatif, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yaitu Perpres No 45 Thn 2011 tentang tata ruang kawasan perkotaan Sarbagita, di mana kawasan teluk benoa termasuk kawasan konservasi; serta Perpres No 122 Thn 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang reklamasi dilakukan di kawasan konservasi. Selain ForBALI beranggapan bahwa reklamasi ini justru akan merusak ekosistem. Publik Bali juga beranggapan bahwa masyarakat Bali sendiri kurang diajak untuk berpartisipasi dalam proses penerbitan kebijakan reklamasi Teluk Benoa
3. Apa saja unsur-unsur simbolik yang memperbesar konflik antara pihak pro reklamasi dan kontra reklamasi?
A. Unsur simbolik dari pihak pro reklamasi
Salah satu alasan dari pihak pemerintah provinsi Bali sebagai pihak pro reklamasi mendukung adanya reklamasi adalah dalam rangka program terobosan dalam pembangunan pariwisata, guna tetap mendukung kelestarian alam dan budaya Bali, sesuai slogan “Pariwisata untuk Bali”. Pemerintah juga mengatakan reklamasi yang dilakukan ini merupakan langkah-langkah antisipasi dan mitigasi bencana tersebut. mengingat kondisi di wilayah perairan Teluk Benoa salah satunya adalah keberadaan Pulau Pudut, yang sudah sangat terancam akibat perubahan iklim global. Pada sisi yang lain pemerintah provinsi Bali juga berusaha agar proses reklamasi yang akan dilakukan dapat menjadi tanda atau symbol bahwa bahwa usaha ini merupakan suatu itikad baik untuk memberikan peluang lapangan kerja bagi masyarakat Bali dalam 5 sampai 10 tahun mendatang serta dalam rangka mendukung pembangunan pariwisata, keberadaan pulau reklamasi akan menjadi destinasi wisata baru. Hal ini dalam rangka kekhawatiran pemprov Bali jika pariwisatanya dikalahkan oleh negara-negara tetangga, maupun oleh daerah lain di Indoneisa seperti Banyuwangi, NTB, dan Kepulauan Raja Ampat,
B. Unsur simbolik dari pihak Kontra Reklamasi
Berbanding terbalik dengan pemprov Bali pihak kontra reklamasi melalui posternya mengklaim bahwa reklamasi terhadap Teluk Benoa justru malah mengakibatkan kerentanan terhadap bencana. Dimana keberadaan pulau baru akan lebih labil dan memperpadat lokasi sehngga justru bertentangan dengan prinsip adaptasi terhadap bencana. Pihak kontra juga menganggap bahwa perkataan pemprov Bali yang menyatakan bahwa reklamasi dapat menambah lapangan pekerjaan merupakan simbol janji manis investasi yang biasanya lebih sering tidak terwujud.Reklamasi justru merupakan cara investor mendapatkan tanah dengan biaya murah di kawasan strategis pariwisata. Pihak kontra reklamasi juga menolak pernyataan pihak pro reklamasi yang menyatakan bahwa reklamasi akan menciptakan pulau baru yang bisa menjadi destinasi wisata alternatif yang bisa menghilangkan kejenuhan akan pariwisata di bali yang sudah lama ada. Pihak kontra reklamasi menyatakan bahwa tanpa adanya reklamasi untuk pembentukan pulau baru.Bali pun sudah mendapat penghargaan sebagai “Best Tourism Destination” beberapa kali.
KESIMPULAN
Kedua pihak yang berseteru dalam konflik perlu tidaknya reklamasi memiliki framing atau cara pandang masing-masing dalam menyikapi wacana reklamasi Teluk Benoa. Pihak Pro reklamasi (pemerintah dan PT TWBI) memakai framing dari cara pandang ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari alasan dan tujuan pihak pro melakukan reklamasi yang didominasi oleh motif memperbaiki perekonomian melalui penambahan lapangan kerja dan peningkatan pariwisata. Sedangkan pihak anti reklamasi (aliansi gerakan ForBALI) menggunakan framing atau cara pandang ekologi dimana hal ini tercermin dari motif penolakan reklamasi yang didominasi oleh usaha mencegah kerusakan lingkungan. Pihak kontra reklamasi juga menggunakan framing atau cara pandang anti kapitalisme dimana hal ini tercermin dari tindakan gerakan ForBALI yang meskipun reklamasi ini juga bertujuan membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan pariwisata namun pihak anti reklamasi mengganggap hal ini merupakan cara investor rakus yang penuh dengan janji manis mendapatkan tanah murah di kawasan pariwisata.
Kesaling bertentangan antar framing dalam melihat wacana reklamasi membuat timbulnya argument yang saling bertentangan pula. Framing atau cara pandang ekologis yang digunakan oleh pihak anti reklamasi memang sering berpotensi bertabrakan dengan cara pandang pihak pro reklamasi yang mengutamakan strategi kesejahteraan ekonomi khususnya dalam rangka penciptaan pekerjaan dan peningkatan pemasukan dari sector pariwisata. Suatu strategi yang berusaha mencapai kesejahteraan ekonomi jika tanpa kesadaran ekologis akan mendukung penciptaan pekerjaan melalui pertumbuhan industri penebangan pohon dan pertambangan, yang lebih memprioritaskan penciptakan pekerjaan dibandingkan kepedulian lingkungan. Hal seperti inilah yang memicu konflik ligkungan sperti yang terjadi pada konflik lingkungan akibat wacna kebijakan reklamsi teluk benoa. Agar supaya konflik ini dapat mencapai jalan keluar dan memperoleh solusi terbaik maka diperlukan suatu kebijakan yang dalam perumusannya memadukan strategi kesejahteraa ekonomi dengan strategi ekologis.
Lihat Inovasi Selengkapnya