Mohon tunggu...
GERARDIN TUNGGA MAHARENI
GERARDIN TUNGGA MAHARENI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Jember

mnyanyi menari menggambar melukis olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Peran Sebuah Kelembagaan Adat dalam Proses Pengadaan Lahan untuk Pembangunan di Kota Sentani Jayapura?

21 November 2022   19:29 Diperbarui: 21 November 2022   19:35 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN

Pembangunan merupakan suatu hal yang dilakukan untuk mengelolah serta memanfaatkan sumber daya yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan hidup yang diwujudkan melalui seperangkat kebijakan public. Tanah adalah modal dasar dalam pembangunan, hampir tidak ada kegiatan pembangunan (sektoral) yang tanpa perlu tanah.

Menurut Mapandia dalam Malak (2006), soal tanah di Papua tidak pernah berhenti, semua anggota dari satu suku mengakui sebagai pemilik tanah tersebut. Berikut beberpa permasalahan yang terjadi di kota Sentani;

1. Sengketa Hak Ulayat masyarakat adat secara turun temurun yang selalu menghantui pembangunan di kota Sentani

2. Kurangnya lahan untuk pembangunan, dikarenakan lahan yang akan digunakan untuk pembangunan fasilitas perkotaan yang berada di atas tanah adat

3. Kurangnya sosialisasi mengenai bank lahan, tidak adanya batas tanah yang jelas (lahan pemerintah yang berbatasan dengan tanah adat)

4. kurangnya pengawasan dari Badan Pertanahan Daerah sehingga pada sertifikat tanah yang dikeluarkan kadang mengalami penggandaan, sehingga sebidang tanah dimiliki oleh beberapa individu

5. Tidak ditemukannya peta dasar yang dapat membedakan tanah adat dan lahan pemerintah

6. konflik-konflik lahan yang dapat ditempati oleh pihak swasta, investor penanam modal dan masyarakat (dari luar Suku Sentani) berdomisili dan beraktivitas di kota Sentani

GAMBARAN UMUM LOKASI

Kota Sentani adalah Ibukota Kabupaten Jayapura yang administrasinya berada di Distrik Sentani. Dengan luas 245,79 km2 dan memiliki fungsi pelayanan yaitu pemukiman, perdagangan dan jasa, transportasi, dengan skala pelayanan yang melingkupi distrik di Kabupaten Jayapura.

ANALISA SEBARAN HAK ULAYAT DIKOTA SENTANI

Kriterian dalam penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat yang dapat dilihat pada 3 hal, Sumardjono (2007) yakni:

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu dalam subjek hak ulayat

2. Adanya wilayah/tanah dengan batas-batas tertentu sebagai Lebensraum yang merupakan hak ulayat

3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu

Menurut Safar (2013), negara harus mengakui serta mendukung identitas budaya dan kepentingan mereka dan dapat mengajak berpartisipasi secara efektif dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan.

a. Sistem Kepemilikan Lahan Adat

Masyarakat adat Suku Sentani dapat menganggap bahwa memiliki sebuah tanah sama dengan mempunyai harga diri dan jati diri, seorang Ondofolo akan dihargai ketika masih memiliki tanah dan tinggal bersama masyarakatnya diatas tanah adat milik mereka. Hak miliki menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan ketentuan fasal 6, Santoso (2005).

b. Sistem Pemanfaatan Lahan Adat

Kepemilikan Lahan Adat suku Sentani merupakan sebuah “Harta” yang sangat berharga dan dianggap tak akan tergantikan dengan harta apapun. Air Susu Mama dan Air Susu Ondofolo diartikan sebagai tempat melakukan segala aktifitas mereka seperti: bermukim, berburu, bertani dan aktifitas untuk bertahan hidup lainnya. Tokoro,(2014).

c. Mekanisme Pelepasan Lahan Adat

Pelepasan sebidang lahan berbeda-beda, sesuai dengan status lahan adatnya. Berikut dua bentuk mekanisme dari pelepasan lahan adat yaitu:

1. Pelepasan lahan adat perorangan

2. Pelepasan lahan adat komunal (milik bersama)

d. Konflik Lahan Adat

Terdapat 2 (dua) bentuk konflik lahan yang menjadi sengketa

1. Lahan yang digunakan untuk fasilitas public

2. Lahan adat yang digunakan oleh swasta/perorangan

PERSEPSI MEKANISME PELEPASAN LAHAN ADAT

Persepsi Masyarakat Adat

Berikut merupakan beberapa poin penting terkait persepsi masyarakat adat mengenai mekanisme pelepasan lahan adat:
1. Sebaiknya kelembagaan adat berperan sesuai tugas dan fungsinya dalam pelepasan lahan adat

2. Kepala suku ada baiknya menjalankan hasil musyawarah yang telah disepakati dan tidak menyimpang dari hasil tersebut

3. Setiap lahan yang akan dilepas ada baiknya dimusyawarahkan dulu agar diketahui oleh setiap masyarakat adat

4. Kerjasama antara lembaga adat serta pemerintah sebaiknya lebih ditingkatkan lagi, dikarenakan kelembagaan adat berupa perwakilan masyarakat adat, jika terjalin kerjasama yang baik maka akan mendukung perkembangan pembangunan di Kota Sentani

5. Pemerintah harus terbuka pada semua lapisan masyarakat terkait dengan perencanaan pembangunan di Kota Sentani

Persepsi Konsumen Lahan (Pemerintah, Swasta dan Masyarakat Umum)

1. Batas/patok lahan adat milik masyarakat harus diperjelas, batas alam yang sekarang dipakai sebagai dasar batas lahan adat mereka suatu saat akan hilang dengan berjalannya waktu,

2. Lembaga adat harus memperjelas pemilik lahan yang akan dilepas dalam arti harus menghadirkan semua pemilik hak ulayat ketika ada pertemuan dengan pemerintah, jika tidak demikian pemilik hak ulayat yang tidak hadir akan menuntut bagiannya dikemudian hari

3. Masyarakat adat (lembaga adat) sebaiknya membuka diri dan memberikan keluasan kepada pihak pemerintah dan swasta dalam pelaksanaan pembangunan, namun tetap dengan memperhatikan dan mengikuti semua norma-norma serta hukum adat yang berlaku pada masyarakat adatnya

4. Pembuatan sertifikat oleh BPN harus diteliti kembali agar tidak ada sertifikat ganda pada sebidang lahan

5. SKPD terkait menyangkut pembuatan ijin prinsip harus benar-benar dan jujur pada saat melaksanakan survei dilapangan. Karena ijin prinsip langkah awal dari pembuatan Ijin Mendirikan Bangunan

6.  Ketika pemaparan tentang sebuah perencanan pembangunan yang akan dilaksanakan pihak pihak lembaga adat kadang berhalangan pada kerjasama antara semua pihak sangatlah penting pada persentase tersebut, oleh sebab itu kami pemerintah dan swasta sangat mengharapkan kerjasama yang baik antar semua pihak demi kemajuan kota Sentani kedepan.

Struktur kelembagaan Adat Sentani:

  • Ondofolo sebagai pimpinan tertinggi
  • Abhu dafa sebagai penasehat
  • Khoselo adalah kepala suku
  • Akhona adalah kepala keluarga
  • Akha Peakhe adalah anggota keluarga besar Ondofolo

KESIMPULAN
Kelembagaan adat suku Sentani dapat diartikan sebagai kelembagaan adat yang dapat mempunyai peran yang sangat penting dalam pengambilan keputusan. Sengketa lahan adat yang timbul diakibatkan oleh kurang maksimalnya peran kelembagaan adat dalam menempatkan diri maupun menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga adat yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada dalam sebuah kampung, konflik lahan adat membuktikan kurang adanya peran kelembagaan adat itu sendiri. Agar bisa memperbaiki citra kelembagaan adat dimata masyarakat Suku Sentani, adanya evaluasi peran kelembagaan adat yang belum berjalan secara maksimal selama ini dan masih berperan terbatas maka pola “KISSME” (Koordinasi, Integrasi, Simplikasi, Sinkronisasi dan Mekanisme) diharapkan dapat membantu peran kelembagaan adat dalam proses pengadaan lahan untuk pembangunan akan semakin menjadi baik dan dapat mendukung semua proses dan perencanaan pembangunan di Kota Sentani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun