Mohon tunggu...
Gerald Immanuel Simanjuntak
Gerald Immanuel Simanjuntak Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Semangat Juanda, Semangat Menghadapi Ancaman Konflik Laut Cina Selatan

31 Mei 2024   18:41 Diperbarui: 31 Mei 2024   18:59 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Youtube KompasTV

Ketika duduk di bangku sekolah, pasti pernah mendengar pernyataan bahwa laut itu merupakan wilayah terluas di dunia. Bisa dibilang mencakup sekitar 70% dari total permukaan bumi.

Karena itu, tentunya laut memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan internasional.

Selain memiliki sumber daya alam yang berharga, laut juga dapat menjadi jalur perdagangan sebuah negara dan memiliki nilai strategis yang tinggi.

Dengan potensi yang dimiliki, tidak mengherankan jika banyak negara berlomba-lomba untuk mendapatkan dan menguasai bagian-bagian tertentu dari laut.

Hal tersebut sering memicu perselisihan dan sengketa, tentu hal itu dapat berdampak luas di berbagai sektor. Sektor yang dimaksud seperti ekonomi, politik, dan militer.

Dari begitu banyak perselisihan dan sengketa tentang laut, ada satu sengketa yang urgensi penanganannya. Perselisihan dan sengketa yang saya maksudkan adalah konflik di Laut China Selatan (LCS).

Perselisihan dan sengketa di Laut China Selatan merupakan konflik yang berkaitan dengan kepemilikan atau kedaulatan atas wilayah laut maupun pulau-pulau di daerah tersebut.

Adapun negara yang terlibat dalam konflik ini LCS ini antara Republik Rakyat China (RRC) dengan negara-negara lainnya seperti India, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.

Klaim atas wilayah tersebut berasal dari berbagai dasar, seperti sejarah, geografi, dan faktor-faktor lainnya, yang membuat perselisihan semakin rumit.

Republik Rakyat China (RRC) sendiri menyatakan kepemilikan mereka atas wilayah tersebut berasal dari ribuan tahun yang lalu, sementara lainnya juga memiliki klaim historis atas sebagian wilayah Laut China Selatan.

Tidak ada pihak tunggal yang dapat ditunjuk sebagai pemicu konflik ini, karena sengketa wilayah di Laut China Selatan telah berlangsung bertahun-tahun dan melibatkan sejumlah negara yang saling bersaing untuk menguasai wilayah tersebut.

Dapat dikatakan bahwa konflik Laut China Selatan merupakan tumpang tindihnya klaim wilayah antar negara yang berusaha memperluas wilayah kedaulatan mereka di kawasan tersebut.

Apabila konflik terus berlanjut, dampak dari konflik ini sangat besar dan dapat mencakup berbagai hal, mulai dari eskalasi ketegangan antara negara-negara yang terlibat, potensi konflik bersenjata, hingga gangguan pada perdagangan internasional yang melewati Laut China Selatan.

Selain itu, konflik ini juga mempengaruhi negara-negara di luar kawasan, seperti Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan terhadap stabilitas dan keamanan di wilayah tersebut.

Dampak dari konflik ini pun tidak hanya dirasakan oleh negara-negara yang langsung terlibat, tetapi juga oleh negara-negara tetangga seperti Indonesia. Kedaulatan, keamanan maritim, dan ekonomi Indonesia menjadi terancam dalam konflik ini. Klaim teritorial Indonesia atas Kepulauan Natuna, misalnya, terdampak dalam konflik ini.

Lalu, upaya apa yang dapat dilakukan negara Indonesia?

Dari pelajaran sejarah yang pernah saya dengar di kelas 12, Indonesia juga tak asing dengan konflik teritorial laut.

Dulu walau sudah merdeka, wilayah perairan Indonesia masih terikat pada peraturan zaman kolonial Hindia Belanda yang dikenal sebagai Teritoriale Zeeen en Maritime Kringen Ordonantie yang ada pada tahun 1939 (TZMKO 1939).

TZMKO menetapkan bahwa wilayah perairan Indonesia hanya seluas 3 mil laut yang mengelilingi tiap pulau. Hal tersebut berdampak besar pasca kemerdekaan, karena memungkinkan kapal asing untuk melintasi perairan yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Deklarasi Juanda, yang dikeluarkan pada tahun 1957 oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Juanda, menyatakan bahwa Indonesia menolak konsep garis pangkal lurus (straight baseline) dalam menentukan batas wilayah lautnya. Sebaliknya, Indonesia menggunakan konsep garis pangkal yang mengikuti garis pantai terluar pulau-pulau sebagai dasar penentuan batas lautnya.

Dalam kata lain, Deklarasi Juanda mencerminkan komitmen Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan dan keamanan bangsa, serta sebagai bentuk tanggapan terhadap dinamika konflik Laut China Selatan. Pendekatan ini menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai pemain aktif dalam menjaga stabilitas kawasan Laut China Selatan.

Dengan pendekatan kooperatif dan berbasis hukum, Indonesia berusaha memainkan peran penting dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan dan berupaya melindungi kepentingan strategis nasional dan regional.

Oleh karena itu, kontribusi Indonesia dalam mendorong dialog dan kerja sama menjadi kunci untuk meredakan ketegangan dan memperkuat perdamaian serta keamanan di kawasan Asia Pasifik.

Semoga saja apa yang pernah dilakukan Juanda, menjadi semangat dan inspirasi untuk menghadapi ancaman konflik Laut China Selatan.

Jaya Indonesia, jaya nusantara!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun