Dapat dikatakan bahwa konflik Laut China Selatan merupakan tumpang tindihnya klaim wilayah antar negara yang berusaha memperluas wilayah kedaulatan mereka di kawasan tersebut.
Apabila konflik terus berlanjut, dampak dari konflik ini sangat besar dan dapat mencakup berbagai hal, mulai dari eskalasi ketegangan antara negara-negara yang terlibat, potensi konflik bersenjata, hingga gangguan pada perdagangan internasional yang melewati Laut China Selatan.
Selain itu, konflik ini juga mempengaruhi negara-negara di luar kawasan, seperti Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan terhadap stabilitas dan keamanan di wilayah tersebut.
Dampak dari konflik ini pun tidak hanya dirasakan oleh negara-negara yang langsung terlibat, tetapi juga oleh negara-negara tetangga seperti Indonesia. Kedaulatan, keamanan maritim, dan ekonomi Indonesia menjadi terancam dalam konflik ini. Klaim teritorial Indonesia atas Kepulauan Natuna, misalnya, terdampak dalam konflik ini.
Lalu, upaya apa yang dapat dilakukan negara Indonesia?
Dari pelajaran sejarah yang pernah saya dengar di kelas 12, Indonesia juga tak asing dengan konflik teritorial laut.
Dulu walau sudah merdeka, wilayah perairan Indonesia masih terikat pada peraturan zaman kolonial Hindia Belanda yang dikenal sebagai Teritoriale Zeeen en Maritime Kringen Ordonantie yang ada pada tahun 1939 (TZMKO 1939).
TZMKO menetapkan bahwa wilayah perairan Indonesia hanya seluas 3 mil laut yang mengelilingi tiap pulau. Hal tersebut berdampak besar pasca kemerdekaan, karena memungkinkan kapal asing untuk melintasi perairan yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Juanda, yang dikeluarkan pada tahun 1957 oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Juanda, menyatakan bahwa Indonesia menolak konsep garis pangkal lurus (straight baseline) dalam menentukan batas wilayah lautnya. Sebaliknya, Indonesia menggunakan konsep garis pangkal yang mengikuti garis pantai terluar pulau-pulau sebagai dasar penentuan batas lautnya.
Dalam kata lain, Deklarasi Juanda mencerminkan komitmen Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan dan keamanan bangsa, serta sebagai bentuk tanggapan terhadap dinamika konflik Laut China Selatan. Pendekatan ini menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai pemain aktif dalam menjaga stabilitas kawasan Laut China Selatan.
Dengan pendekatan kooperatif dan berbasis hukum, Indonesia berusaha memainkan peran penting dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan dan berupaya melindungi kepentingan strategis nasional dan regional.