Mohon tunggu...
Geosa Dianta
Geosa Dianta Mohon Tunggu... wiraswasta -

dreamer! hobi beli buku dan menulis tentang hal-hal sosial dan psikologi manusia . \r\nsila longok-longok blogku di bukulife.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Drama Satu Babak di Metromini

11 Desember 2013   16:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:03 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_307909" align="aligncenter" width="300" caption="dok.blog"][/caption]

Siang memendung menggelayuti Jakarta kala bus kuning tua terseok seok melaju ditengah kemacetan ibukota menempuh rute harian Kampung Melayu-Tanah Abang pulang-pergi. Kotak besi karat itu bagaikan kekasih sejati kaum perempuan yang tiap menit rela menunggu  kedatangannya di pangkalan tepi Ciliwung di bawah Pohon Loa, Kampung Melayu. Si kotak besi urung beristirahat, karena tujuan akhirnya di Tanah abang  hanya sempat menurun-naikkan penumpang, pergi dan datang. Tarrriiiik Beh! Setelah beberapa menit yg melinukan kaki. akhirnya si Kuning reot muncul  juga, menyisakan tempat berdiri yg menjemukan dengan dua bonus moda transportasi ekonomis: crowded dan hot!  Ahh, Sudah biasa. Porsi kecil  makanan sehari-hari rakyat jelata.

hmm,  kali ini  siapa saja yang ada didalam kotak besi ini?ahh, selalu saja lebih banyak rombongan ibu ibu dengan belanjaan sekarung hasil buruan di Tanah Abang atao Thamcit. Kantong-kantong plastik belajaan mereka  sekarang bertransformasi menjadi troli-troli  beroda bahkan satu diantaranya menjelma menjadi  travel bag yang sarat muatan----duuh pasti pegal membawanya----

kemudian ada seorang gadis muda menggendong balita kecilnya.  Ahh, balita kecil dengan bibir  lengkung  kebawah itu ternyata seorang  yg pelitnya minta ampun, mengangkangi tiang sandaran pintu sendirian. Ia menjerit-jerit marah ketika tangan-tangan goyah mencari pegangan karena metro sering mengerem mendadak. Aksi superiornya menggelikan penumpang sekaligus menggalaukan sang bunda yang enggan bicara. Wajah lesunya menapiskan sang anak pada nenek di belakangnya. Baginya, ingin selesai urusan dengan bocah tengil ini ketika  sudah berada di tangan sang nenek.

Di pertengahan jalan, naik  seorang  bapak berseragam security dan beberapa anak sekolahan yang menambah udara dalam metro  pengap bagai sauna.   Suasana menjadi hot begitu bus kaleng ini  terseok seok ditempa macet di ujung  Karet krn flyover tak kunjung rampung. Bulir bulir Keringat membasahi dahi dan membuat isi metro jadi sensitif. Raut raut wajah yg kuyu dan lelah... (berjam jam merayu pedagang menurunkan harga utk kulakan baju) tp semangat kaum ibu ini seperti tak pernah surut demi hobi berorientasi ekonomi: mengepulkan asap dapur.

Tampaknya Babeh si supir metro cukup kerepotan. Lelaki tua dengan perawakan khas orang betawi (tampaknya semua makhluk metro di Jakarta ini  mencoba meleburkan diri menjadi kebetawi-betawian dg bahasa loe-gue-loe-gue) walopun satuduanya berasal dari Gunungkidul yang medok (maklum di Jakarta gitulooh) Namun ada yang masih 'njawani' dg perilaku yg masih malu malu kucing dan tidak banyak cincong hanya sesekali memasang wajah tersenyum.

Si Babeh yang tak ingin melihat penumpangnya semakin sensitif dalam metro reotnya ini sesekali mengomentari para pengendara motor bullshit yang seenaknya saja nyerobot jalan metronya—motor-motor gilaaaaak-- kelakuan mereka melebihi bejatnya supir Pajero Sport yang tiap hari petantang petenteng  membuat hati para ‘konteraktor’ ilfil karena mendambakan mobil keren itu parkir di garasi mereka. 'ehh.. Elu, Tong, yang pake seragam, bantuin Babe narik ongkos yee... ' Dari arah kaca spion tengah si Babe meneriaki seorang bocah SMP yang berpeluh. 'temen gua lagi di pangkalan neh. Istirahat dia nye. Gampang, tinggal elo mintain tiga rebu doang ke penumpang yee.. Ntar gue bayarin deh...’ Pintanya. Si anak sekolah celingak celinguk kebingungan. Dan spontan, ibu-ibu di kanan kiri  dan belakang si Babeh memberi dukungan. 'iyaah Tong... Sono bantuin... Kasian si babeh nii…’ Suasana mulai menghangat dengan senyum dari wajah wajah kuyu penumpang karena si Otong, anak sekolah dengan wajah lugunya mulai menarik ongkos. 'pake uang receh Tong,' kata si ibu 'jangan salah kembaliannya yaa', teriak yang lain. 'giyaahh… asisten Babehnye   ganteng' 'pengalaman jadi kondektur....' Metro mulai bergerak lancar dan rasa sejuk menelusuk di bus kuning jurusan Kampung Melayu. Tawa tawa bermunculan mencairkan suasana. Si balita dicubit cubit pipinya oleh tetangga kanan kiri saking lucunya. Sesekali ia menjambak kerudung ibu didepannya--si ibu-sang gadis belia tetap saja diam seribu bahasa dg tampang masam. Entah apa sebenarnya yang jadi pikirannya. Hanya si nenek yg berseloroh meminta maaf buat sang cucu. ' nihh Beh udah semua’, si bocah sekolah menyerahkan segepok rupiah yang disambut koor penumpang. 'wahh pinter elu Tong...' beberapa tersenyum simpul. Si Babeh yg kerepotan memegang kemudi menghitung ongkos dan mengambil lima ribuan dan dua ribuan sambil mengacungkannya ke  bocah. 'ni Tong bayaran elu...' 'wahhh... Dikasih ongkos ni Beeh??’ sahut yang lain. Si bocah menimpali,

'ga usah Beh, ga usah.. ‘Dengan  sopan ia menolak. Ibu ibu di kanan kiri mengompori. ‘Terima aja Tong.. kan Bayaran Elu udah bantuin si Babeh.’ ‘Iyaaa diambil... ‘ Dengan malu malu si bocah menerimanya. Nahhh gituuu donk..... Disambut gelak tawa. Gitu aja pake malu. Si Babeh berseloroh, ‘lain kali bisa nyoba narik angkot elu Tong’

Di Kuningan satu persatu penumpang turun dan hawa metro sedikit lebih segar. Tapi jalan  tetap crowded. Angkot-angkot biru kecil di depan  kelakuannya masih sama saja- berhenti di sembarang tempat. Tak terkecuali metronya si Babeh yang menurunkan penumpang kadang rada ‘seenaknya’ ditengah  jalan. Ahhh, potret semrawutnya transportasi Indonesia.  Hidup di metropolitan yang serba dilematis dan kerap  membunuh rasa empati… rasa peduli begitu mudah terkorosi karena  ingin menang sendiri.  Tapi ditengah keblinger-nya  kelakuan rakyat kecil- kaum marginal itu yang di jalan boleh saja  asal serobot dan dulu-duluan namun ada kolase keterusterangan nan lugas. Mereka hampir tidak bergantung pada pemerintah apalagi meminta-minta. Cukuplah sebagai supir angkot atau metro yang dihujat-hujat menjadi biang macet  daripada bermain duit milyaran di proyek-proyek Negara. Cukuplah white coffe abece di kaki lima daripada sok-sok ngangkering minum kopi di Setarbak. Dan lebih dari cukup ngangkot  kampung Melayu-Tanah Abang berdesak-desakan menikmati realita dibanding bermimpi dalam pajero sport dengan tarif parkir 4000/jam. Toh, mereka tetap berkarya, bekerja luar biasa keraasss sekeras hidup di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun