[caption id="attachment_289830" align="aligncenter" width="300" caption="source: bbc.co.uk"][/caption]
Saya takjub suatu waktu ketika menonton talent show Masterchef Junior Australia yang ditayangkan disebuah channel tv kabel. Anak-anak yang disaring lewat kompetisi memasak itu benar-benar luar biasa bakatnya dalam memasak. Segala macam main course dan desert disajikan dengan tampilan dan rasa yang fantastis. Diusia yang rata-rata masih sangat muda antara 10-12 tahun, mereka sangat piawai mengolah bahan dengan waktu yang terbatas. menu yang disajikan rata-rata didapat dari eksperimen dan inovasi belajar mereka ketika dirumah. Ketika ditanya, rata-rata anak-anak polos ini belajar mengolah resep dari nenek mereka. Bahkan dalam beberapa challenge test, keluarga mereka dihadirkan untuk menilai rasa masakan. Dan tentunya, yang datang mayoritas adalah para nenek. Sang nenek tentunya sangat bangga melihat cucunya mewarisi keahlian memasaknya. Inilah yang menarik. Anak-anak usia belia ini belajar memasak dari sang nenek. Sebuah potret kecil yang mewakili masyarakat di negara tetangga kita itu. Asumsinya, guru pertama anak-anak berbakat di Australia ada di keluarga mereka sendiri yaitu sang nenek atau ibu. Dari testimoni beberapa anak, mereka terus melestarikan resep tadisi keluarga secara turun temurun.
[caption id="attachment_289832" align="alignleft" width="180" caption="source: heraldsun.com"]
Di lain pihak, dulu, saya belajar memasak pertama kali ketika masuk SMP-yang waktu itu sudah cukup sangat terlambat- untuk menakar bumbu yang pas, mengupas bawang sampai menangis, mengulek sambel sampai tangan pegal, memarut kelapa dsb dan guru saya waktu itu guru yang sangat otoriter: nenek saya sendiri. Walaupun tidak sampai membuat masakan spektakuler seperti para chef junior itu,tapi saya belajar pendidikan dasar etika dan keahlian seperti memasak dan membenahi rumah. Kenapa saya tekankan pada anak perempuan sementara anak lelaki pun bisa belajar tentang itu? karena hakikatnya, hal kerumahtanggaan pasti terkait dengan perempuan. Perempuan itu 'madrasah', dasar pondasi di rumah-rumah mereka, perempuan itu lebih tepat disebut mother of house Karena secara naluriah terikat dengan rumah mereka terlepas dari pergeseran pemikiran sekarang bahwa kaum perempuan harus bekerja diluar rumah. Kita tak hanya bicara kata 'belajar' dalam pendidikan formal di sekolah atau les ini itu yang dibebankan pada anak-anak usia belia tapi juga pendidikan 'holistik' yang salah satunya 'seharusnya' kita temukan di rumah. Pendidikan holistik sendiri berangkat dari pemikiran bahwa individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian.(A. Sudrajat) Nah, identitas, nilai-nilai kemanusiaan anak-anak awalnya bisa dibentuk orangtua dengan mengajarkan Etika dan ilmu Kerumahtanggaan. Namun, pendidikan seperti itu saat ini mulai terkikis dari banyak keluarga Indonesia. Orangtua kita lebih bangga jika anak-anaknya berprestasi di sekolah-sekolah formal, sementara ketika dirumah, anak-anak lebih banyak dimanjakan dan dimudahkan. Makanan telah tersedia, baju telah disetrika, sepatu siap disemir, kamar tidur telah dibersihkan, piring gelas telah dicuci dan sederet keperluan pribadi telah tersedia. Tak hanya itu, Potret anak-anak perempuan kita sekarang ini lebih suka kongkow bersama teman-teman di mall daripada belajar dengan nenek mereka di dapur membuat kudapan misalnya, anak-anak perempuan kita mulai suka bersolek dan pergi dengan 'teman dekat' dibanding berbelanja di pasar dengan ibu mereka. orangtua kita banyak yang luput bangga jika anak perempuan bisa menyajikan teh untuk tamu ayah-ibu mereka, atau mencuci kaos kaki atau pakaian dalam sendiri. Bagi sebagian kita, lumrah bila hal-hal yang menyangkut 'kotoran' rumah 'ditandangi' oleh asisten rumah tangga. Maka, lazimnya sekarang, anak-anak perempuan kita sekarang kurang menghargai pekerjaan rumah, kurang menghargai tugas ibu mereka dirumah bahkan ibu-ibu dan nenek mereka pun mulai 'mentok' malas mengajarkan pendidikan etika dirumah-toh kalo dewasa anak-anak perempuan akan mengerti dengan sendirinya- ahh, benarkah demikian? Saya tak bisa membayangkan jika 10-25 tahun nanti anak-anak perempuan kita hanya berkutat di belakang personal computer, piawai bertransaksi ini itu, dan hampir dua per tiga harinya dihabiskan diluar rumah untuk bekerja, hangout, maka bagaimana keadaan rumah-rumah mereka?anak-anak mereka?mungkin mereka takkan sempat melukis kenangan bersama ibu atau nenek ketika menumpahkan tepung atau menggiling adonan-atau barangkali mereka akan menjadi 'generasi instan' yang menghargai jerih dengan materi serta lebih memilih kebutuhan praktis--apapun serba praktis seperti masa kecil yang praktis dimanjakan dan dijejali keinginan. ah, alangkah irinya saat chef bule kecil itu bergelung dengan adonan pastry meminta tanggapan sang nenek yang menontonnya. Iapun dengan piawai meruntut tips sang nenek dan begitu gembira ketika adonannya mengembang. Ah, alangkah mirisnya melihat anak-anak perempuan kita hanya bisa berlenggak-lenggok di catwalk tanpa tau bahwa sang nenek membuatkan kukis dan mengirimkannya ke rumah sambil menunggu apresiasi sang cucu dan mengatakan, ' ajari aku membuat kukis buatan nenek!'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H