AKHIRNYA KPU telah menetapkan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih untuk masa bakti 2014-2019 pada 22 Juli 2014. Lega dan senang? Sudah pasti! Kemenangan ini bukan saja milik pasangan nomor urut 2, tetapi kemenangan rakyat Indonesia. Secara de facto, partisipasi rakyat dalam Pemilihan Umum Presiden kali ini sungguh sangat luar biasa. Tak terhitung begitu banyak orang yang akhirnya memilih untuk memilih, memilih untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya. Bahkan berpartisipasi aktif dalam setiap proses, mulai dari mencari tahu rekam jejak pemimpin, menyimak setiap orasi dan visi misi, sampai aksi kreatif untuk menunjukkan dukungannya. Golput yang biasanya menjadi lambang perlawanan, kini dianggap sebagai lambang pembiaran. Makanya orang memilih untuk memilih. Memilih karena mereka tahu, kali ini ada harapan untuk Indonesia. Harapan itu bernama Joko Widodo atau Jokowi. Bak awan hitam, harapan itu sempat meredup Harapan yang bersambut di hati rakyat kebanyakan itu ternyata mengusik kenyamanan segelintir orang. Salah satu penanda dari Pemilu Pilpres kali ini adalah maraknya kampanye jahat (bad campaign) atau sering disebut juga kampanye hitam (black campaign), walaupun hitam tak selalu harus diidentikkan dengan jahat. Celakanya, segelintir orang itu punya power dan tak punya malu. Segala cara dipakai untuk menjegal langkah Jokowi. Mungkin inilah pertama kalinya para politisi (busuk) secara gencar dan tanpa malu-malu memuncratkan kebusukan dari mulutnya di berbagai tayangan prime-time maupun di headline berita. Tidak habis pikir rasanya melihat dagu-dagu terangkat itu, yang juga kerap menyitir ayat-ayat suci dengan kepercayaan diri yang luar biasa. Padahal, orang waras yang mendengar atau membaca kutipannya saja merasa malu. Tapi bak lagu, hidup adalah panggung sandiwara yang ceritanya mudah berubah. Mungkin mereka hanya bersandiwara untuk meredam jeritan suara hati mereka sendiri. Kembali pulang pada kemurnian hati memang tidak mudah bila sudah terlalu jauh menyimpang. Kilat, petir dan hujan, kita sempat gundah gulana Siapa yang tak gundah ketika serangan datang bertubi-tubi, dan fitnah mendera tiada henti. Ternyata kita tak betul-betul tangguh dalam memilah dan memilih antara yang haq dan yang bathil. Kita lebih nyaman melihat figur yang piawai memegang senjata, dibanding yang terampil menggunakan cangkul. Kita mengimani kekuatan kapital, tetapi tak mengamini kerelawanan yang tulus. Derap langkah kita tak lagi seirama, ketika sesuatu yang melekat pada diri kita mulai diutak-atik, yaitu identitas suku dan agama. Tetapi kilat dan petir tidak selamanya untuk menakut-nakuti, ada kalanya dibutuhkan dalam situasi gelap gulita, menjadi cahaya yang menuntun. Membuat kita bisa mengetahui dengan jelas bahwa hantu yang menari-nari itu tak lebih dari sebatang pohon pisang yang hampir roboh diterjang angin. Membuat kita bisa melihat sebuah pondok untuk berteduh, rehat sejenak untuk kemudian maju lagi. Dan, tentu saja kita patut berbangga, karena pemimpin sejati tidak mudah ngambek hanya karena cuaca tak menentu. Pemimpin sejati adalah ia yang tetap bekerja, yang semangatnya menyemangati kita. Percikan lumpur di kaca, nubuatan nabi-nabi palsu Kata almarhum Gus Dur, “agama adalah inspirasi, bukan aspirasi”. Ketika agama menjadi inspirasi, ia adalah kaca bening yang memampukan kita melihat dengan jelas hal-hal yang ada di luar. Sebaliknya ia hanya percikan lumpur kotor di kaca, ketika disalahgunakan. Dalam pilpres tahun ini, tokoh-tokoh agama pun kecentilan, termasuk dari kalangan Kristen. Mulai dari perayaan ibadah yang penempatannya salah secara tahun liturgi, ayat Alkitab yang mengalami penggelembungan, hingga ibadah raya prematur untuk kemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang pada akhirnya ternyata kalah. Dan percikan lumpur itu tidak hanya menodai muka mereka yang melangsungkannya, tetapi juga muka umat Kristen Indonesia, karena demikianlah partisipasi Kristen dalam Pilpres kali ini dikenang sebagian besar orang. Malu? Sudah pasti! Tapi kita tidak akan bergerak kemana-mana jika sibuk membela diri. Setidaknya ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi umat Kristiani di Indonesia untuk tidak bermain-main dengan urusan praksis politik. Jangan menggantungkan iman pada nabi-nabi palsu yang mengatasnamakan Allah Roh Kudus itu. Lebih baik dengarkan suara hati, karena di sana pun Roh Allah bersemayam. Yang jelas, jangan pernah lupakan pelajaran berharga ini! Selamat Jokowi-JK! Hujan sudah reda, pelangi menyambut! Pasca pilpres, ada dua deklarasi kemenangan versi quick-count, dan hal itu sangat menjengkelkan. Ternyata perang kepentingan tidak selesai dengan mudah. Ada kemarahan yang terbersit melihat mereka yang mengaku diri negarawan lebih suka menciptakan polemik di tengah masyarakat. Mendahulukan nafsu untuk berkuasa dibanding dibanding membiarkan rakyat kembali bekerja dengan damai. Tapi kemarahan itu mereda ketika melihat pak Jokowi yang tiada kenal lelah turun langsung untuk memastikan bahwa semua terkendali dan tidak sibuk meladeni debat opini yang tak perlu. Ia tak menari dengan gendang orang lain, ia menari dengan gendangnya. Dan gendangnya adalah kerja, kerja, dan kerja. Dan untuk anak-anak Indonesia yang hari ini merayakan Hari Anak Nasional, “Lihat, dik! Ini pemimpinmu! Apapun situasi dan kondisi hidupmu hari ini, kamu boleh tetap bermimpi dan kelak jadi Presiden Republik ini! Jangan cepat berputus asa dan kehilangan semangat juang, dik. Tetaplah bersemangat dan berusaha, kita perlu lebih banyak Jokowi, dan kamu bisa lebih dari seorang Jokowi!” Memang kerja Jokowi tak perlu diragukan. Setidaknya untuk saat ini. Bahkan kadang saya pun bergumam, “Kapan kau lelah, pak?” Hanya satu berita yang agak melegakan darinya yaitu pulang ke Solo untuk tidur pada hari minggu sebelum pengumuman KPU. Tidur itu anugerah, pak. Jadi nikmatilah di tengah kerja keras Anda. Dan, ketika KPU menetapkannya sebagai Presiden Terpilih, kebahagiaan pun menyeruak. Ini kemenangan kita bersama. Kemenangan rakyat Indonesia. Semua yang menang punya cara masing-masing untuk merayakan kemenangan ini. Saya pun punya cara sendiri, sementara sebagian kawan memilih bergabung di Tugu Proklamasi pada 23 Juli 2014. Dan foto di bawah ini adalah jepretan salah satu kawan. “Pelangi pun menghias”, begitu katanya di WA Group saat mengirimkan gambar ini. Pelangi itu mengingatkan tentang busur yang ditaruh Allah di langit sebagai bentuk dari janji-Nya kepada Nuh, bahwa Ia tidak murka lagi. Busur di langit itu penanda harapan yang diberikan oleh Allah.
Senang menjadi bagian arak-arakan yang mengantar Anda menuju gerbang kemenangan, pak Jokowi! Saatnya kami pamit, kembali menjadi suara-suara dari marjin yang akan mendukung Anda sekaligus mengkritisi Anda! Jakarta, 23 Juli 2014 [catatan: tulisan ini juga dimuat di blog saya]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H