Setelah melakoni laga persahabatan internasional FIFA versus Yordania di Amman pada hari Selasa, 11 Juni 2019, tim nasional (timnas) Indonesia segera kembali ke Tanah Air untuk bersiap-siap menghadapi laga berikutnya. Pasukan Garuda akan menjamu timnas Vanuatu pada hari Sabtu, 15 Juni 2019 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta.
Hasil tidak baik yaitu kekalahan 1-4 yang diraih oleh Andritany Ardhiyasa dkk di Amman diharapkan dapat dibalikkan saat mereka bermain di hadapan para pendukungnya di Jakarta nanti. Terlebih lagi, Indonesia memiliki peringkat dunia FIFA yang lebih tinggi dari Vanuatu sehingga di atas kertas diunggulkan untuk menang.
Pertandingan melawan Vanuatu ini memang cukup menyita perhatian publik dan menjadi topik pembahasan bahkan sejak negara kepulauan di Samudra Pasifik bagian selatan itu dipilih oleh Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai lawan tanding. Isunya tidak hanya terkait sepak bola semata, namun juga ada sangkut pautnya dengan politik.
diplomasi yang menggunakan sepak bola sebagai mediumnya. Ada narasi politis yang mengiringi laga sembilan puluh menit tersebut.
Banyak yang berpendapat bahwa pertandingan persahabatan antara Indonesia dengan Vanuatu ini adalah salah satu bentukPanas Dingin Hubungan Indonesia dengan Vanuatu
Kita perlu memahami dulu situasi bilateral antara Indonesia dengan Vanuatu. Negara yang beribukota di Port Villa itu menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia meskipun belum membuka kantor kedutaan besar di Jakarta. Di lain sisi, fungsi diplomatik Indonesia di Vanuatu juga masih dirangkap oleh Kedutaan Besar RI di Canberra, Australia.
Pada hari Jumat, 25 Januari 2019, Vanuatu secara diam-diam menyelundupkan aktivis pro-kemerdekaan Papua, Benny Wenda sebagai bagian dari delegasinya saat bertemu dengan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Michelle Bachelet di Jenewa, Swiss.Â
Benny sendiri bukan tokoh biasa karena dia merupakan pimpinan organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang getol menyuarakan tuntutan referendum kemerdekaan Papua dari Indonesia.
Pada kesempatan itu, Benny menyerahkan petisi yang diklaim telah ditandatangani oleh dua juta penduduk Papua untuk meminta pemerintah Indonesia menggelar referendum penentuan status Papua dengan dua opsi: apakah tetap menjadi provinsi di dalam kerangka Republik Indonesia atau berdiri sendiri sebagai suatu negara berdaulat.
Langkah Vanuatu tersebut mengejutkan banyak pihak. Topik tentang Papua tidak ada dalam agenda pertemuan dengan Bachelet yang sejatinya adalah untuk sesi konsultasi menyangkut Universal Periodic Review (UPR) HAM.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga langsung mengecam tindakan Vanuatu yang disebut tidak berlandaskan asas niat baik dalam praktik hubungan diplomatik. Nota protes diplomatik resmi dilayangkan oleh Indonesia kepada Vanuatu.
Di tahun-tahun sebelumnya, Vanuatu juga kerap mengusik Indonesia tentang isu Papua di forum-forum internasional seperti misalnya pada Sidang Majelis Umum PBB bulan September 2016. Mereka melemparkan bola panas ke forum berupa serangkaian tuduhan pelanggaran HAM dan penindasan kultural atas orang Papua yang dilakukan oleh pemerintah pusat di Jakarta.
Vanuatu juga merupakan negara yang paling sengit menentang keanggotaan Indonesia pada Melanesian Spearhead Group (MSG), organisasi negara-negara dengan penduduk ras Melanesia.
Status keanggotaan Indonesia di MSG meningkat dari yang sebelumnya Observer menjadi Associate Member berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) MSG ke-20 di Honiara, Kepuluaun Solomon, yang diselenggarakan pada 24-26 Juni 2015. Hal itu mengecewakan Vanuatu karena menurutnya bukan Indonesia melainkan ULMWP yang seharusnya lebih berhak mewakili aspirasi orang-orang Papua sebagai bagian dari keluarga besar ras Melanesia yang dipayungi oleh MSG.
Pesan Politik dalam Laga Sepak bola Indonesia - Vanuatu
Dengan melihat situasi hubungan bilateral antara Indonesia dengan Vanuatu di atas, maka bisa dibilang pertandingan persahabatan FIFA besok Sabtu akan menjadi sesuatu yang lain daripada lainnya. Biasanya dalam laga seperti ini, Indonesia bertanding melawan negara yang punya kedekatan kerjasama baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Jika betul pertandingan sepakbola ini menjadi medium diplomasi Indonesia terhadap Vanuatu, lalu bagaimana prosesnya?
Seperti yang jamak kita ketahui, terdapat pesan yang disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung, terang-terangan maupun simbolis dalam diplomasi antara satu negara dengan negara lainnya. Melalui pesan tersebut, diharapkan terbangun suatu pemahaman atau tersalurkannya informasi penting.
Ada beberapa pesan yang sepertinya coba disampaikan oleh Indonesia saat bertindak sebagai tuan rumah untuk kehadiran Vanuatu akhir pekan ini.
Pertama, Indonesia menjamu Vanuatu di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), stadion kebanggaan bangsa dengan status sebagai stadion berstandar internasional. SUGBK adalah salah satu stadion dengan fasilitas terbaik di Asia Pasifik bahkan dunia saat ini pasca direnovasi besar-besaran untuk penyelenggaraan Asian Games 2018. Ditilik secara historis, SUGBK juga termasuk stadion yang kaya akan nilai sejarah.
Sebenarnya Indonesia bisa saja menggelar laga itu di stadion lain. Dalam dua tahun terakhir, Indonesia justru sedang sering-seringnya menjamu lawan tanding pada laga persahabatan di stadion-stadion yang berada di luar wilayah DKI Jakarta seperti misalnya di Patriot Bekasi (Indonesia vs Mauritius pada 11 September 2018), di Wibawa Mukti Cikarang (Indonesia vs Myanmar pada 10 Oktober 2018 dan vs Hong Kong pada 16 Oktober 2018) atau bahkan di Maguwoharjo Sleman (Indonesia vs Puerto Rico pada 13 Juni 2017).
Dengan dipertandingkan di SUGBK, Indonesia menunjukkan bagaimana nilai penting dari laga persahabatan tersebut. Narasi bahwa Indonesia memandang Vanuatu sebagai tamu yang dihormati pun tersiratkan pada gestur ini. Meskipun dari negara kecil dengan prestasi sepak bola yang tidak mengkilap, para pemain Vanuatu tetap diberi 'gelaran karpet merah' untuk mencicipi bermain di arena semegah SUGBK.
Kedua, Indonesia juga sepertinya ingin menunjukkan kepada Vanuatu terkait peran signifikan para pemain dari ras Melanesia di dunia olahraga Tanah Air.Â
Selama ini, Vanuatu kerap menuduh bahwa saudara mereka sesama ras Melanesia terutama masyarakat Papua di Indonesia tidak bisa mengekpresikan diri, tidak difasilitasi untuk maju meraih penghidupan lebih baik dan juga sering didiskriminasi dibandingkan suku-suku lain di Indonesia.
Padahal kenyataannya banyak bintang sepakbola Indonesia yang lahir di Papua, mulai dari Rully Nere, Ellie Aiboy, Eduard Ivakdalam, Christian Warobay, Titus Bonai, Oktavianus Maniani hingga Boaz Solossa yang paling terkenal dan berkali-kali menyandang ban kapten timnas Indonesia. Bakat-bakat dari tanah Papua tidak pernah berhenti mewarnai perjalanan perjuangan Indonesia meraih prestasi sepakbola.
Di liga Indonesia, klub sepak bola dari Provinsi Papua yaitu Persipura Jayapura merupakan salah satu tim tangguh yang sudah banyak meraih gelar juara tingkat nasional. Persipura Jayapura juga beberapa kali mewakili Indonesia di Liga Champion Asia dan Piala AFC.
Di timnas Indonesia yang saat ini dilatih oleh Simon McMenemy terdapat empat pemain dari Papua yaitu Ruben Sanadi, Rudolof Basna, Arthur Bonai dan Yustinus Pae. Mereka masuk dalam skuad Indonesia untuk melawan Yordania dan Vanuatu. Selain mereka, ada ratusan pemain berdarah Papua yang berstatus sebagai pemain sepak bola profesional dan bertanding di liga nasional.
Jika berbicara tentang ras Melanesia, maka sesungguhnya bukan hanya orang Papua yang secara genetik masuk dalam kategori ini, melainkan juga orang Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Oleh karena itu, Rizky Pora dan Ramdani Lestaluhu yang berasal dari Maluku juga menjadi representasi pemain dengan ras Melanesia di timnas Indonesia saat ini.
Pertandingan Indonesia vs Vanuatu diharapkan dapat memberikan tambahan pemahaman pada Vanuatu bahwa orang-orang ras Melanesia dari Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur bukan warga kelas dua di Indonesia. Menjadi olahragawan berprestasi dengan penghasilan berkecukupan sehingga mampu menyejahterakan keluarga adalah salah satu contoh sukses mereka.
Narasi-narasi simpel namun diharapkan memberi efek pembeda tersebut tentu akan tersampaikan melalui medium pertandingan sepak bola semacam ini. Publikasi tentang tim Vanuatu yang bertanding di Jakarta banyak diberitakan oleh media di negara tersebut. Apalagi, sepakbola adalah olahraga populer yang punya banyak peminat juga disana.
Bagi Vanuatu sendiri, ajakan untuk melakukan pertandingan persahabatan dari Indonesia bisa dibilang merupakan suatu kesempatan langka sekaligus luar biasa. Hal itu karena dalam beberapa tahun terakhir, tim sepak bola negara yang tergabung dalam Konfederasi Sepakbola Oceania ini lebih sering melawan tim dari negara-negara tetangganya saja seperti Kepulauan Solomon, Papua Nugini, Fiji, dan lain-lain.
Â
Peluang bertanding melawan tim dari Asia seperti Indonesia yang punya jam terbang lebih banyak tentu tidak akan dilewatkan oleh Vanuatu. Mungkin saja ini juga menjadi pengalaman pertama bagi sebagian besar pemain Vanuatu untuk bermain di tanah Asia. Maka wajar saja jika mereka menyambut undangan pertandingan persahabatan tersebut dengan antusias.
Beragam pihak berharap agar pertandingan persahabatan Indonesia vs Vanuatu ini bisa membawa efek beruntun yang membuka babak baru bagi upaya saling memahami dan saling menghormati di antara kedua negara.Â
Bentuk diplomasi dengan saluran olahraga semacam ini bukan hal baru karena sudah dilakukan sebelumnya seperti misalnya diplomasi bola basket antara Korea Utara dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan di tahun 2017, diplomasi kriket antara India dengan Pakistan di tahun 2011, diplomasi ping-pong (tenis meja) antara Amerika Serikat dengan Tiongkok di tahun 1971 dan masih banyak contoh lainnya.
Hanya Sekedar Kepentingan Sepak bola Saja
Meskipun demikian, tidak semua orang melihat sisi politis dari laga persahabatan Indonesia dengan Vanuatu ini. Salah satunya adalah pengamat sepak bola nasional, Vino Hanafi yang berpendapat bahwa pilihan PSSI menjadikan Vanuatu sebagai lawan pertandingan ini tidak ada kaitannya dengan isu Papua, namun murni untuk kepentingan sepak bola Indonesia.
Meskipun banyak suara-suara nyinyir dari para fans sepakbola Indonesia yang mempertanyakan kenapa Indonesia tidak memilih lawan yang lebih tangguh untuk pertandingan persahabatan, tapi sepertinya PSSI punya alasan tesendiri.Â
Vanuatu yang berada di peringkat ke-166 FIFA adalah lawan yang paling memungkinkan untuk dikalahkan oleh Indonesia sehingga bisa meraih poin tambahan bagi peningkatan peringkat dunia FIFA.
Vino juga mengaitkan pemilihan Vanuatu ini dengan hubungan pelatih dari kedua tim yang sama-sama orang Inggris Raya. Saat ini, Vanuatu dikomandoi oleh Paul Munster dari Irlandia Utara. Bisa jadi Paul punya kedekatan koneksi dengan pelatih Indonesia yaitu Simon yang berkebangsaan Skotlandia sehingga memudahkan kerjasama untuk menetapkan agenda pertandingan.
Bagaimanapun, kita semua setuju bahwa Indonesia harus memanfaatkan laga persahabatan melawan Vanuatu ini dengan baik: untuk menaikkan kembali rasa kepercayaan diri setelah kalah dari Yordania, mendukung diplomasi olahraga kedua negara, maupun menaikkan peringkat FIFA.
Selamat bertanding, Garuda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H