Mohon tunggu...
Gentur Adiutama
Gentur Adiutama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pecinta bulutangkis dan pengagum kebudayaan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Liliyana Natsir dan Peran Orangtua dalam Mendukung Karirnya

27 Januari 2019   14:15 Diperbarui: 29 Januari 2019   12:27 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liliyana Natsir resmi memutuskan untuk pensiun sebagai pemain bulutangkis. Turnamen Indonesia Masters 2019 menjadi tirai penutup untuk karir cemerlang perempuan yang akrab dipanggil dengan nama Butet itu. Setelah gantung raket, Butet berujar akan lebih fokus pada bisnis dan belum terpikir untuk beralih menjadi pelatih bulutangkis.

Acara perpisahan untuk Butet di Indonesia Masters 2019 sudah disiapkan oleh Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan dinantikan para pecinta bulutangkis sejak sebulan terakhir. Tagar #ThankYouButet bermunculan dan mencapai klimaksnya pada hari Minggu, 27 Januari 2019 saat Butet bertanding di final Indonesia Masters 2019 yang sekaligus menjadi pertandingan profesional terakhirnya.

Liliyana Natsir bersama kedua orang tuanya. Foto: PBSI
Liliyana Natsir bersama kedua orang tuanya. Foto: PBSI
Media nasional dan mancanegara tak luput memberitakan mengenai akhir dari karir Butet yang disebut-sebut sebagai pemain putri terbaik pada nomor ganda campuran yang pernah dimiliki oleh Indonesia sepanjang sejarah. Empat gelar juara dunia, satu medali emas dan satu olimpiade perak Olimpiade yang diraih bersama dua pasangan berbeda adalah pencapaian yang luar biasa.

Ketika semua orang ramai-ramai mengarahkan lampu sorot pada Butet dan melayangkan beribu pujian pada kehebatannya, rasanya perlu untuk tidak lupa mengangkat topi pada orangtua Butet. Di balik skill raket mumpuni, etos kerja keras, komitmen kuat dan sikap ramah yang dimiliki oleh Butet, ada banyak keteladanan yang bisa kita ambil dari sosok orangtuanya.

Butet lahir di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 9 September 1985. Ayahnya bernama Beno Natsir dan ibunya bernama Olly Maramis. Keduanya bukan merupakan mantan atlet dan tidak juga berasal dari keluarga dengan latar belakang olahraga yang kuat.

Meskipun demikian, Butet sudah diperkenalkan pada raket bulutangkis sejak kecil. Hal itu karena kedua orangtuanya memang senang menonton pertandingan bulutangkis. Butet bahkan lalu dimasukkan ke klub bulutangkis lokal di Manado saat masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar (SD).

4 gelar juara dunia, 1 medali emas Olimpiade dan 1 medali perak Olimpiade adalah rekor yang diukir Liliyana. Foto: gettyimage, PBSI, BBC.
4 gelar juara dunia, 1 medali emas Olimpiade dan 1 medali perak Olimpiade adalah rekor yang diukir Liliyana. Foto: gettyimage, PBSI, BBC.
Rupanya hal itu menjadi awal dari suatu petualangan panjang yang akan dilalui oleh Butet dan kedua orangtuanya. Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah dasar, Butet mengutarakan keinginannya untuk lebih menekuni bulutangkis. Dengan itu maka Butet memilih untuk menghabiskan hari-harinya berlatih bulutangkis di lapangan daripada fokus pada kegiatan belajar di sekolah.

Di titik ini kita dapat meneladani Beno Natsir dan Olly Maramis sebagai sosok orangtua bagi atlet muda berbakat. Dengan menyadari talenta bulutangkis yang ada pada diri Butet, mereka mendukung pilihan hidup anak perempuannya itu untuk berkarir di bulutangkis. Menurut Butet dalam suatu wawancara dengan media nasional, restu dan dukungan dari kedua orangtuanya adalah modal utama yang memantapkan pilihannya itu.

Liliyana Natsir berdiri di podium tertinggi, bersama Greysia Polii dalam suatu kejuaraan tingkat junior di Manado. Foto: @greyspolii Instagram.
Liliyana Natsir berdiri di podium tertinggi, bersama Greysia Polii dalam suatu kejuaraan tingkat junior di Manado. Foto: @greyspolii Instagram.
Keputusan Butet untuk meninggalkan pendidikan formal sebagai konsekuensi dari pilihan itu pun juga disetujui mereka. Tidak ada egoisme dari kedua orangtuanya terkait hal ini. Mereka mampu memahami bahwa tidak semua anak bisa menjalani karir olahragawan dan tuntutan pendidikan formal dengan imbang dan sukses. Tidak keliru bila akhirnya ada salah satu yang harus dikorbankan.

Sikap tersebut bukanlah hal yang biasa ditemukan di Indonesia pada masa itu. Kebanyakan orangtua akan tetap memaksakan anaknya untuk fokus dan berprestasi di sekolah agar mendapatkan ijazah sesuai sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah. Berlatih untuk menjadi atlet profesional tidak lantas menjadi alasan untuk meninggalkan bangku sekolah.

Di era 1990-an, menjadi olahragawan masih belum menjadi cita-cita yang diidamkan oleh orangtua untuk putra dan putrinya. Mereka memang menyadari anaknya punya bakat bagus di bidang olahraga dan lalu mendorongnya untuk bisa tampil di turnamen-turnamen dari tingkat daerah hingga nasional.

Namun di sisi lain mereka ingin anaknya juga jadi sarjana sehingga bisa bekerja kantoran dengan gaji tetap atau meneruskan bisnis orangtuanya, alih-alih sepenuhnya mengabdikan diri sebagai atlet. Orangtua pada masa itu sangat khawatir masa depan anaknya akan buruk bila seluruh waktu di usia remajanya hanya fokus pada dunia olahraga dan tidak punya riwayat pendidikan yang bagus.

Bentuk keteladanan lain dari orangtua Butet adalah saat mereka sanggup melepas anak perempuannya yang saat itu masih kecil untuk tinggal jauh dari mereka. Klub-klub bulutangkis yang mapan dengan fasilitas terbaik dan jajaran pelatih berpengalaman masih berpusat di Jawa. Oleh karena itu, Butet harus pindah tinggal di Jawa bila ingin kompetensinya sebagai pebulutangkis makin berkembang.

Beno Natsir dan Olly Maramis bersama deretan piala yang pernah diraih Butet. Foto: Manado Post.
Beno Natsir dan Olly Maramis bersama deretan piala yang pernah diraih Butet. Foto: Manado Post.
Bergabung dengan PB Tangkas dan kemudian tinggal di asrama pusat pelatihan nasional (pelatnas PBSI) yang lokasinya jauh dari rumah keluarga di saat usia masih belasan tahun selalu diingat oleh Butet sebagai masa-masa yang berat. Namun periode itu juga diyakininya sangat penting dalam pembentukan karakternya sebagai seseorang yang mandiri, berkomitmen dan tahan banting. Disitulah Butet bersyukur bahwa orang tuanya memberikan kepercayaan padanya untuk pindah ke Jawa.

Banyak orangtua yang karena terlalu sayang dengan anak-anaknya maka jadi tidak siap bila mereka harus hidup tidak lagi serumah, meskipun tujuannya adalah untuk pengembangan diri dan masa depan anak-anaknya tersebut. Ada banyak kekhawatiran yang melingkupi alam pikiran orangtua saat melepas anaknya keluar dari rumah, terlebih lagi bila anaknya itu adalah perempuan.

Namun hal itu nampaknya tidak berlaku bagi orangtua Butet. Adanya rasa saling percaya dan keyakinan bahwa Butet akan bersungguh-sungguh dalam pilihannya sebagai pemain bulutangkis menguatkan kerelaan mereka.

Bayangkan betapa besar pengorbanan mereka karena komunikasi jarak jauh tidak bisa dilakukan dengan sarana semudah dan seinstan sekarang. Aplikasi chatting dan video call belum ada sehingga telepon adalah alat komunikasi yang paling jamak dipakai.

Pengorbanan luar biasa yang dilakukan oleh orangtua Butet ini bisa dibilang merupakan salah satu kunci sukses dalam karir Butet. Tidak ada yang lebih menentramkan hati bagi seorang anak saat selalu menyadari bahwa jalan hidupnya didukung oleh ayah dan ibunya. Doa yang dipanjatkan oleh kedua orangtuanya juga menjadi tambahan keyakinan bagi Butet.

Hal itulah yang membuat seorang Liliyana Natsir mampu secara konsisten. Ia sudah menyandang gelar juara dunia saat usianya belum genap 20 tahun. Karirnya terus menanjak dan mampu beradaptasi dengan pergantian pasangan bermain dari Nova Widianto ke Tontowi Ahmad.

Pahitnya kegagalan di final Olimpiade Beijing 2008 dan di partai perebutan medali perunggu di Olimpiade London 2012 tidak membuat Butet patah arang. Ia mencoba lagi untuk yang ketiga kalinya dan akhirnya sukses meraih emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, yang pertama dalam sejarah bagi sektor ganda campuran Indonesia.

Liliyana Natsir di acara perpisahannya, 27 Januari 2019. Foto: PB Djarum.
Liliyana Natsir di acara perpisahannya, 27 Januari 2019. Foto: PB Djarum.
Semoga keteladanan kedua orangtua Butet dapat menjadi inspirasi bagi para orangtua yang memiliki anak-anak berbakat di bidang olahraga dan ingin agar mereka bisa berprestasi sehebat Butet.

Terima kasih atas dedikasimu pada bulutangkis Indonesia, Liliyana Natsir!

Terima kasih atas keteladanan kalian, Beno Natsir dan Olly Maramis!

Jayalah terus bulutangkis Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun