Liliyana Natsir resmi memutuskan untuk pensiun sebagai pemain bulutangkis. Turnamen Indonesia Masters 2019 menjadi tirai penutup untuk karir cemerlang perempuan yang akrab dipanggil dengan nama Butet itu. Setelah gantung raket, Butet berujar akan lebih fokus pada bisnis dan belum terpikir untuk beralih menjadi pelatih bulutangkis.
Acara perpisahan untuk Butet di Indonesia Masters 2019 sudah disiapkan oleh Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan dinantikan para pecinta bulutangkis sejak sebulan terakhir. Tagar #ThankYouButet bermunculan dan mencapai klimaksnya pada hari Minggu, 27 Januari 2019 saat Butet bertanding di final Indonesia Masters 2019 yang sekaligus menjadi pertandingan profesional terakhirnya.
Ketika semua orang ramai-ramai mengarahkan lampu sorot pada Butet dan melayangkan beribu pujian pada kehebatannya, rasanya perlu untuk tidak lupa mengangkat topi pada orangtua Butet. Di balik skill raket mumpuni, etos kerja keras, komitmen kuat dan sikap ramah yang dimiliki oleh Butet, ada banyak keteladanan yang bisa kita ambil dari sosok orangtuanya.
Butet lahir di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 9 September 1985. Ayahnya bernama Beno Natsir dan ibunya bernama Olly Maramis. Keduanya bukan merupakan mantan atlet dan tidak juga berasal dari keluarga dengan latar belakang olahraga yang kuat.
Meskipun demikian, Butet sudah diperkenalkan pada raket bulutangkis sejak kecil. Hal itu karena kedua orangtuanya memang senang menonton pertandingan bulutangkis. Butet bahkan lalu dimasukkan ke klub bulutangkis lokal di Manado saat masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar (SD).
Di titik ini kita dapat meneladani Beno Natsir dan Olly Maramis sebagai sosok orangtua bagi atlet muda berbakat. Dengan menyadari talenta bulutangkis yang ada pada diri Butet, mereka mendukung pilihan hidup anak perempuannya itu untuk berkarir di bulutangkis. Menurut Butet dalam suatu wawancara dengan media nasional, restu dan dukungan dari kedua orangtuanya adalah modal utama yang memantapkan pilihannya itu.
Sikap tersebut bukanlah hal yang biasa ditemukan di Indonesia pada masa itu. Kebanyakan orangtua akan tetap memaksakan anaknya untuk fokus dan berprestasi di sekolah agar mendapatkan ijazah sesuai sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah. Berlatih untuk menjadi atlet profesional tidak lantas menjadi alasan untuk meninggalkan bangku sekolah.
Di era 1990-an, menjadi olahragawan masih belum menjadi cita-cita yang diidamkan oleh orangtua untuk putra dan putrinya. Mereka memang menyadari anaknya punya bakat bagus di bidang olahraga dan lalu mendorongnya untuk bisa tampil di turnamen-turnamen dari tingkat daerah hingga nasional.
Namun di sisi lain mereka ingin anaknya juga jadi sarjana sehingga bisa bekerja kantoran dengan gaji tetap atau meneruskan bisnis orangtuanya, alih-alih sepenuhnya mengabdikan diri sebagai atlet. Orangtua pada masa itu sangat khawatir masa depan anaknya akan buruk bila seluruh waktu di usia remajanya hanya fokus pada dunia olahraga dan tidak punya riwayat pendidikan yang bagus.
Bentuk keteladanan lain dari orangtua Butet adalah saat mereka sanggup melepas anak perempuannya yang saat itu masih kecil untuk tinggal jauh dari mereka. Klub-klub bulutangkis yang mapan dengan fasilitas terbaik dan jajaran pelatih berpengalaman masih berpusat di Jawa. Oleh karena itu, Butet harus pindah tinggal di Jawa bila ingin kompetensinya sebagai pebulutangkis makin berkembang.
Banyak orangtua yang karena terlalu sayang dengan anak-anaknya maka jadi tidak siap bila mereka harus hidup tidak lagi serumah, meskipun tujuannya adalah untuk pengembangan diri dan masa depan anak-anaknya tersebut. Ada banyak kekhawatiran yang melingkupi alam pikiran orangtua saat melepas anaknya keluar dari rumah, terlebih lagi bila anaknya itu adalah perempuan.
Namun hal itu nampaknya tidak berlaku bagi orangtua Butet. Adanya rasa saling percaya dan keyakinan bahwa Butet akan bersungguh-sungguh dalam pilihannya sebagai pemain bulutangkis menguatkan kerelaan mereka.
Bayangkan betapa besar pengorbanan mereka karena komunikasi jarak jauh tidak bisa dilakukan dengan sarana semudah dan seinstan sekarang. Aplikasi chatting dan video call belum ada sehingga telepon adalah alat komunikasi yang paling jamak dipakai.
Pengorbanan luar biasa yang dilakukan oleh orangtua Butet ini bisa dibilang merupakan salah satu kunci sukses dalam karir Butet. Tidak ada yang lebih menentramkan hati bagi seorang anak saat selalu menyadari bahwa jalan hidupnya didukung oleh ayah dan ibunya. Doa yang dipanjatkan oleh kedua orangtuanya juga menjadi tambahan keyakinan bagi Butet.
Hal itulah yang membuat seorang Liliyana Natsir mampu secara konsisten. Ia sudah menyandang gelar juara dunia saat usianya belum genap 20 tahun. Karirnya terus menanjak dan mampu beradaptasi dengan pergantian pasangan bermain dari Nova Widianto ke Tontowi Ahmad.
Pahitnya kegagalan di final Olimpiade Beijing 2008 dan di partai perebutan medali perunggu di Olimpiade London 2012 tidak membuat Butet patah arang. Ia mencoba lagi untuk yang ketiga kalinya dan akhirnya sukses meraih emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, yang pertama dalam sejarah bagi sektor ganda campuran Indonesia.
Terima kasih atas dedikasimu pada bulutangkis Indonesia, Liliyana Natsir!
Terima kasih atas keteladanan kalian, Beno Natsir dan Olly Maramis!
Jayalah terus bulutangkis Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H