Banyak orangtua yang karena terlalu sayang dengan anak-anaknya maka jadi tidak siap bila mereka harus hidup tidak lagi serumah, meskipun tujuannya adalah untuk pengembangan diri dan masa depan anak-anaknya tersebut. Ada banyak kekhawatiran yang melingkupi alam pikiran orangtua saat melepas anaknya keluar dari rumah, terlebih lagi bila anaknya itu adalah perempuan.
Namun hal itu nampaknya tidak berlaku bagi orangtua Butet. Adanya rasa saling percaya dan keyakinan bahwa Butet akan bersungguh-sungguh dalam pilihannya sebagai pemain bulutangkis menguatkan kerelaan mereka.
Bayangkan betapa besar pengorbanan mereka karena komunikasi jarak jauh tidak bisa dilakukan dengan sarana semudah dan seinstan sekarang. Aplikasi chatting dan video call belum ada sehingga telepon adalah alat komunikasi yang paling jamak dipakai.
Pengorbanan luar biasa yang dilakukan oleh orangtua Butet ini bisa dibilang merupakan salah satu kunci sukses dalam karir Butet. Tidak ada yang lebih menentramkan hati bagi seorang anak saat selalu menyadari bahwa jalan hidupnya didukung oleh ayah dan ibunya. Doa yang dipanjatkan oleh kedua orangtuanya juga menjadi tambahan keyakinan bagi Butet.
Hal itulah yang membuat seorang Liliyana Natsir mampu secara konsisten. Ia sudah menyandang gelar juara dunia saat usianya belum genap 20 tahun. Karirnya terus menanjak dan mampu beradaptasi dengan pergantian pasangan bermain dari Nova Widianto ke Tontowi Ahmad.
Pahitnya kegagalan di final Olimpiade Beijing 2008 dan di partai perebutan medali perunggu di Olimpiade London 2012 tidak membuat Butet patah arang. Ia mencoba lagi untuk yang ketiga kalinya dan akhirnya sukses meraih emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, yang pertama dalam sejarah bagi sektor ganda campuran Indonesia.
Terima kasih atas dedikasimu pada bulutangkis Indonesia, Liliyana Natsir!
Terima kasih atas keteladanan kalian, Beno Natsir dan Olly Maramis!
Jayalah terus bulutangkis Indonesia!