Mohon tunggu...
Gentur Adiutama
Gentur Adiutama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pecinta bulutangkis dan pengagum kebudayaan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Budaya Rangkap Jabatan di Dunia Olahraga Indonesia

2 Desember 2018   19:58 Diperbarui: 3 Desember 2018   08:18 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia khususnya para pecinta sepak bola nasional ramai menuntut Edy Rahmayadi mundur dari posisinya sebagai Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Tuntutan itu sebenarnya sudah digaungkan sejak lama, namun semakin mendapat momentum dengan hasil jeblok yang dicetak oleh tim nasional Indonesia di Piala ASEAN Football Federation (AFF) 2018.

Kegagalan Indonesia lolos dari babak penyisihan grup menambah deretan kekecewaan para suporter kepada PSSI yang berlangsung sejak lama.

Pengelolaan liga sepak bola nasional yang dianggap tidak profesional karena banyak diwarnai kebijakan aneh, dugaan adanya mafia wasit dan indikasi pengaturan skor serta desas-desus korupsi di tubuh PSSI adalah beberapa hal yang membuat para suporter merasa kepemimpinan Edy di PSSI sudah tak layak lagi dipertahankan.

Status Edy yang juga menjabat sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara menjadi sasaran tembak mereka.

Rangkap jabatan yang dilakukan oleh Edy saat ini dianggap sebagai salah satu biang kerok segala permasalahan yang hinggap di PSSI. Edy dinilai tidak fokus mengurus PSSI sebagai suatu federasi yang bertujuan untuk memajukan prestasi sepak bola Indonesia.

Penolakan terhadap Edy oleh suporter timnas Indonesia. Foto: Kompas.
Penolakan terhadap Edy oleh suporter timnas Indonesia. Foto: Kompas.
Jabatan sebagai gubernur memiliki konsekuensi berupa tumpukan pekerjaan birokrasi, terlebih lagi Edy sedang dalam masa-masa awal menata provinsi yang beribukota di Medan itu.

Di sisi lain, tugas sebagai Ketua Umum PSSI tidak remeh karena persatuan ini membawahi ratusan klub sepak bola yang bermain di beberapa jenjang liga, membina pemain-pemain usia muda dan mengelola sumber daya manusia sepak bola mulai dari pelatih hingga perangkat pertandingan.

Melihat begitu banyaknya hal yang harus diurusi oleh Edy sebagai seorang gubernur yang merangkap sebagai ketua umum federasi olahraga, apakah benar bila rangkap jabatan seperti itu memang seharusnya dilarang karena hasilnya selalu buruk?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus menggunakan sudut pandang yang lebih luas. Tanpa bermaksud membela Edy, tidak adil rasanya bila jawaban pada pertanyaan itu hanya berdasarkan kasus PSSI semata. Kita harus pahami bahwa rangkap jabatan sudah jadi budaya dalam olahraga nasional kita sedari dulu.

Mengapa bisa dibilang membudaya?  Kondisi dimana seorang tokoh yang menduduki jabatan politik atau militer sekaligus merangkap sebagai ketua umum sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu.

Dari masa order baru, era reformasi hingga saat ini, kondisi itu tidak berubah dan bahkan sudah dinilai sebagai suatu kewajaran.

Pada tahun 2018 ini, selain Edy ada setidaknya tujuh orang ketua umum federasi olahraga nasional yang juga punya jabatan penting lainnya baik di bidang militer, pemerintahan maupun ekonomi. Beberapa diantaranya adalah:

  • Wiranto: Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan sekaligus Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
  • Airlangga Hartanto: Menteri Perindustrian sekaligus Ketua Umum Pengurus Besar Wushu Indonesia (PB WI).
  • Basuki Hadimuljono: Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sekaligus Ketua Umum Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI).
  • Rosan Perkasa Roeslani: Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sekaligus Ketua Umum Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI).
  • Utut Adianto: Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bidang Akuntabililitas Keuangan Negara dan Badan Urusan Rumah Tangga sekaligus Ketua Umum Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi).
  • Johanis Asadoma: Wakil Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur sekaligus Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PP Pertina).
  • Rildo Ananda Anwar: Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian PUPR sekaligus Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Tenis Lapangan Indonesia (Pelti).

Apakah mereka berhasil atau gagal dalam membawa induk olahraganya meraih prestasi?

Hasilnya beragam. Ada yang sukses dan konsisten meraih prestasi di ajang internasional seperti bulutangkis, ada yang pada Asian Games lalu menunjukkan peningkatan pencapaian dibandingkan periode sebelumnya seperti wushu, angkat besi dan tenis, ada juga yang biasa-biasa saja karena belum menghadirkan gelar bergengsi.

Wiranto saat dilantik sebagai Ketua Umum PBSI. Foto: PBSI.
Wiranto saat dilantik sebagai Ketua Umum PBSI. Foto: PBSI.
Jika kita ambil studi kasus pada PBSI, kita bisa melihat bahwa posisi ketua umum pada federasi olahraga yang paling berprestasi di Indonesia ini dalam sejarahnya sangat sering ditempati oleh tokoh yang sedang punya jabatan penting.

Try Soetrisno yang memimpin PBSI pada periode 1985-1993 merangkap sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Sutiyoso (2004-2008) sekaligus sebagai Gubernur DKI Jakarta, Djoko Santoso (2008-2012) juga bertugas sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Gita Wirjawan (2012-2016) yang menjadi Menteri Perdagangan.

Di bawah kepemimpinan para ketua umum tersebut, prestasi PBSI memang naik turun. Bulutangkis Indonesia tidak selalu berada di atas dalam persaingan dengan negara-negara kuat seperti Tiongkok, Korea, Denmark, dan lain-lain.

Namun pebulutangkis kita tidak pernah nihil gelar di setiap tahun kalender turnamen. Selalu ada trofi dan medali yang berhasil diraih meskipun jumlahnya tidak selalu sama.

Lalu apa yg menyebabkan ketua umum yang merangkap jabatan itu bisa berhasil atau gagal? Tentu saja ada banyak faktor baik eksternal maupun internal yang mempengaruhi.

Meskipun demikian, penulis berpendapat bahwa ada beberapa prinsip yang harus dipunyai oleh mereka yang ingin sukses dalam memimpin federasi olahraga nasional sembari mengurus tugas di birokrasi.

Pertama, mereka wajib punya kemampuan manajerial multitasking yang bagus.

Kedua, mereka harus bisa memilih orang-orang yang tepat untuk dipercaya mengorganisasi hal-hal teknis dan rutin di federasi karena ketua umum tidak setiap saat hadir di pusat pelatihan.

Ketiga, komunikasi yang baik dengan unit subordinate seperti klub, asosiasi atlet, sekolah olahraga, dan lain-lain mutlak dijalin dan dijaga oleh mereka.

Berbekal tiga prinsip itu, maka fungsi koordinasi yang melekat pada ketua umum dapat berjalan dengan baik.

Hal itu bisa sedari awal meminimalisasi munculnya permasalahan-permasalahan terkait tata kelola federasi olahraga seperti ketidakharmonisan hubungan dengan klub, kebijakan-kebijakan yang merugikan atlet dan lain-lain.

Basuki Hadimuljono bersama para atlet dayung dalam persiapan menuju Asian Games 2018. Foto: Detik.com.
Basuki Hadimuljono bersama para atlet dayung dalam persiapan menuju Asian Games 2018. Foto: Detik.com.
Lantas, mengapa selama ini kita masih butuh para pejabat terkenal sebagai ketua umum federasi olahraga? Kenapa tidak bisa semuanya dari kalangan profesional yang punya keahlian di bidang manajemen?

Hal itu karena federasi olahraga butuh tokoh yang bisa berperan sebagai patron. Tokoh itu diharapkan mampu membantu federasi olahraga untuk 'hidup' dengan suntikan dana dari sektor non-pemerintah.

Tak bisa dipungkiri bahwa pendanaan ke federasi olahraga adalah hal yang krusial bagi keberlangsungan pembinaan atlet, peningkatan mutu perangkat pertandingan, penyelenggaraan event, pemberian bonus prestasi  dan lain-lain. Dana yang dikucurkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga tidak cukup.

Oleh karena itu mereka butuh dana ekstra agar ambisi untuk berprestasi di kancah internasional dapat terpenuhi. 

Usaha federasi olahraga untuk menggaet dukungan para sponsor diyakini semakin kuat dengan bantuan lobi-lobi yang akan dilaksanakan oleh para pejabat di ranah eksekutif dan legislatif sebagai ketua umum. Mereka juga punya jaringan yang luas dengan para pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bos-bos perusahaan swasta nasional dan multinasional dan para filantropis yang punya perhatian pada dunia olahraga.

Airlangga Hartanto saat menerima atlet-atlet wushu yang akan bertanding ke luar negeri. Foto: KOMPAS.
Airlangga Hartanto saat menerima atlet-atlet wushu yang akan bertanding ke luar negeri. Foto: KOMPAS.
Di sisi lain, para pejabat itu sangat senang dan merasa terhormat bila dipilih sebagai ketua umum suatu federasi olahraga. Beberapa menjadi ketua umum untuk federasi yang menaungi olahraga yang menjadi hobi mereka sejak kecil.

Posisi ketua umum juga bisa menaikkan profil para pejabat itu, apalagi jika nanti mereka sukses menelurkan prestasi bersama federasi tersebut. Simbiosis mutualisme antara federasi olahraga dengan para pejabat itu yang membuat status rangkap jabatan di dunia olahraga Indonesia sudah menjadi hal biasa.

Sepertinya akan sulit dan bisa menuai banyak penolakan bila pemerintah nantinya membuat suatu peraturan yang melarang pejabat negara menjadi ketua umum suatu federasi olahraga.

Maka, apa solusinya agar rangkap jabatan tidak berakibat pada kegagalan federasi olahraga dalam berprestasi?

Para pecinta olahraga nasional berharap agar para pejabat yang berniat untuk rangkap sebagai ketua umum bisa melakukan introspeksi diri terlebih dulu. Jika memang dari awal tidak yakin bisa punya kemampuan dan waktu yang cukup untuk multitasking, maka sebaiknya jangan mengajukan diri atau menyanggupi ketika dipilih.

Sistem pemilihan ketua umum federasi olahraga di Indonesia umumnya melalui agenda Kongres atau Musyawaran Nasional yang diikuti oleh perwakilan dari pengurus daerah. Para peserta inilah yang akan memilih sosok ketua umum yang memimpin mereka untuk periode empat atau lima tahun mendatang.

Musyawarah Nasional PBSI tahun 2016. Foto: PBSI.
Musyawarah Nasional PBSI tahun 2016. Foto: PBSI.
Para pengurus olahraga di tingkat daerah yang hadir di Kongres atau Musyawarah Nasional sebaiknya juga lebih berhati-hati ketika hendak mendukung pejabat pemerintah atau militer untuk menduduki posisi ketua umum. Jangan sampai kekecewaan baru muncul di belakang setelah sang ketua umum tidak bisa memimpin dengan baik dan membawa serangkaian masalah.

Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak seluruh status rangkap jabatan itu buruk dan otomatis berujung pada kegagalan. Semua kembali kepada cara kepemimpinan tokoh itu dan sistem tata kelola yang dia terapkan di federasi olahraga.

Semoga saja dunia olahraga Indonesia bisa lebih maju dengan dipimpin oleh para ketua umum yang berdedikasi tinggi pada peningkatan prestasi atlet-atlet kita.

Salam olahraga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun