Kakek, nenek, ayah, dan/atau ibu dari para pemain keturunan Afrika, Karibia dan negara lain tersebut adalah imigran yang datang nun jauh dari benua di seberang lautan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Perancis dan Inggris adalah dua negara Eropa yang terpandang akan kemapanannya sejak dulu kala.
Selain itu, ada juga kaitan sejarah yang kuat di antara mereka karena negara-negara tersebut berada dalam status koloni Perancis atau Inggris selama puluhan bahkan ratusan tahun. Negara-negara bekas jajahan Inggris bahkan sampai saat ini masih tergabung dalam organisasi persemakmuran atau yang disebut Commonwealth.
Talenta yang dimiliki oleh anak-anak keturunan Afrika dan Karibia di Perancis dan Inggris ini sangatlah luar biasa. Oleh karena itu, pelatih kedua timnas tidak mungkin menutup mata untuk tidak memanggil mereka masuk dalam skuad di turnamen-turnamen internasional seperti Piala Dunia dan Piala Eropa dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Kehadiran begitu banyak pemain keturunan di timnas Perancis dan Inggris pada Piala Dunia 2018 ini disyukuri oleh kedua pelatih kepala. Baik Didier Deschamps (Perancis) maupun Gareth Southgate (Inggris) selalu mengatakan bahwa skuad mereka adalah wujud dari keberagaman yang ada di negara mereka. Dalam wawancara dengan media Inggris, Southgate bahkan menyebut bahwa keberagaman ini adalah identitas Inggris yang harus dibanggakan oleh seluruh warga.
Ada celetukan usil yang bilang bahwa orang Perancis dan Inggris sejak dulu hanya menyukai bakat-bakat luar biasa di bidang olahraga yang dimiliki para anak-anak keturunan imigran. Tapi mereka tidak mau menerima sepenuhnya bahwa imigran-imigran itu masuk ke dalam lingkungan mereka dan menjadi bagian dari bangsa Perancis dan Inggris di era modern.
Mereka baru ingat dan mengakui kontribusi signifikan dari para keturunan imigran ketika Kylian Mbappe sudah mengoleksi tiga gol bagi Les Bleus atau di momen saat gol Dele Alli mengunci kemenangan Inggris atas Swedia sekaligus mengantarkan negara Ratu Elizabeth itu lolos ke semifinal Piala Dunia lagi sejak terakhir tahun 1990.
Ironi itu sangat terasa karena sentimen pada imigran semakin menguat dan sedang panas-panasnya di kedua negara tersebut beberapa tahun belakangan ini. Salah satu faktor yang membuat mayoritas masyarakat Inggris memilih Brexit atau keluar dari keanggotaan Uni Eropa tahun lalu disinyalir adalah karena ketidaksetujuan mereka pada kebijakan penerimaan imigran yang diterapkan oleh Uni Eropa. Laporan akan adanya ujaran kebencian dan tindakan rasis juga meningkat di kota-kota besar di Inggris pasca Brexit.