Mohon tunggu...
Gentur Adiutama
Gentur Adiutama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pecinta bulutangkis dan pengagum kebudayaan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ironi Dua Tim Anak Imigran di Piala Dunia 2018

12 Juli 2018   11:32 Diperbarui: 12 Juli 2018   20:58 2724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gareth Southgate bersama para pemain tim Inggris. Foto: Skysports.

Skuad multiras di timnas Perancis saat ini. Foto: Reuters.
Skuad multiras di timnas Perancis saat ini. Foto: Reuters.
Tim The Three Lions Inggris juga dipenuhi oleh para pemain keturunan. Namun berbeda dengan koneksi Afrika yang kuat di Perancis, Inggris lebih kental dengan latar belakang Karibia. Pemain-pemain itu adalah Fabian Delph (Guyana), Danny Rose (Jamaika), Raheem Sterling (Jamaika), Ashley Young (Jamaika), Kyle Walker (Jamaika), Ruben Loftus-Cheek (Jamaika), Marcus Rashford (St. Kitts), Jesse Lingard (St. Vincent and the Grenadines). Mereka didukung oleh dua bintang Liga Premier Inggris dengan garis keturunan Afrika yaitu Dele Alli (Nigeria) dan Danny Welbeck (Ghana).

Kakek, nenek, ayah, dan/atau ibu dari para pemain keturunan Afrika, Karibia dan negara lain tersebut adalah imigran yang datang nun jauh dari benua di seberang lautan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Perancis dan Inggris adalah dua negara Eropa yang terpandang akan kemapanannya sejak dulu kala.

Selain itu, ada juga kaitan sejarah yang kuat di antara mereka karena negara-negara tersebut berada dalam status koloni Perancis atau Inggris selama puluhan bahkan ratusan tahun. Negara-negara bekas jajahan Inggris bahkan sampai saat ini masih tergabung dalam organisasi persemakmuran atau yang disebut Commonwealth.

Koneksi Commonwealth yang sangat terasa di tim Inggris. Foto: FourFourTwo.
Koneksi Commonwealth yang sangat terasa di tim Inggris. Foto: FourFourTwo.
Beberapa puluh tahun yang lalu, kapal-kapal dari berbagai negara Afrika dan Karibia bersandar di pelabuhan-pelabuhan di Perancis dan Inggris membawa para imigran, terutama laki-laki usia produktif. Kedatangan mereka memang diatur secara sistematis karena imigran dibutuhkan untuk mengisi kekosongan tenaga kerja, khususnya di sektor informal. Kemudian, mereka menjadi warga negara Perancis atau Inggris, menetap, berumahtangga dan memiliki anak cucu.

Talenta yang dimiliki oleh anak-anak keturunan Afrika dan Karibia di Perancis dan Inggris ini sangatlah luar biasa. Oleh karena itu, pelatih kedua timnas tidak mungkin menutup mata untuk tidak memanggil mereka masuk dalam skuad di turnamen-turnamen internasional seperti Piala Dunia dan Piala Eropa dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Kehadiran begitu banyak pemain keturunan di timnas Perancis dan Inggris pada Piala Dunia 2018 ini disyukuri oleh kedua pelatih kepala. Baik Didier Deschamps (Perancis) maupun Gareth Southgate (Inggris) selalu mengatakan bahwa skuad mereka adalah wujud dari keberagaman yang ada di negara mereka. Dalam wawancara dengan media Inggris, Southgate bahkan menyebut bahwa keberagaman ini adalah identitas Inggris yang harus dibanggakan oleh seluruh warga.

Gareth Southgate bersama para pemain tim Inggris. Foto: Skysports.
Gareth Southgate bersama para pemain tim Inggris. Foto: Skysports.
Namun benarkah warga Perancis dan Inggris sangat bangga akan keberagaman yang muncul dari eksistensi para imigran dan keturunannya di negara mereka? Di sinilah ironi itu muncul.

Ada celetukan usil yang bilang bahwa orang Perancis dan Inggris sejak dulu hanya menyukai bakat-bakat luar biasa di bidang olahraga yang dimiliki para anak-anak keturunan imigran. Tapi mereka tidak mau menerima sepenuhnya bahwa imigran-imigran itu masuk ke dalam lingkungan mereka dan menjadi bagian dari bangsa Perancis dan Inggris di era modern.

Mereka baru ingat dan mengakui kontribusi signifikan dari para keturunan imigran ketika Kylian Mbappe sudah mengoleksi tiga gol bagi Les Bleus atau di momen saat gol Dele Alli mengunci kemenangan Inggris atas Swedia sekaligus mengantarkan negara Ratu Elizabeth itu lolos ke semifinal Piala Dunia lagi sejak terakhir tahun 1990.

Ironi itu sangat terasa karena sentimen pada imigran semakin menguat dan sedang panas-panasnya di kedua negara tersebut beberapa tahun belakangan ini. Salah satu faktor yang membuat mayoritas masyarakat Inggris memilih Brexit atau keluar dari keanggotaan Uni Eropa tahun lalu disinyalir adalah karena ketidaksetujuan mereka pada kebijakan penerimaan imigran yang diterapkan oleh Uni Eropa. Laporan akan adanya ujaran kebencian dan tindakan rasis juga meningkat di kota-kota besar di Inggris pasca Brexit.

Aksi anti imigrasi di kota Newcastle, Inggris tahun lalu. Foto: mintpressnews.com.
Aksi anti imigrasi di kota Newcastle, Inggris tahun lalu. Foto: mintpressnews.com.
Demikian juga dengan Perancis yang masyarakatnya antipati pada kehadiran imigran karena menganggap mereka adalah biang dari kasus-kasus kriminalisme dan terorisme akhir-akhir ini. Memang harus diakui bahwa sejumlah pelaku kasus itu adalah oknum berlatar belakang dari keluarga imigran yang punya masalah kejiwaan atau berpaham radikal. Tapi melakukan generalisasi bahwa anak-anak imigran adalah kantong masalah sosial adalah suatu kekeliruan besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun