Mohon tunggu...
Gentur Adiutama
Gentur Adiutama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pecinta bulutangkis dan pengagum kebudayaan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bedug di Indonesia, Sebuah Syiar Agama dan Diplomasi Budaya

13 Juni 2018   13:17 Diperbarui: 7 Juni 2019   11:57 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Cheng Ho di Surabaya dengan bedug di terasnya. Ada pendapat bahwa bedug bermula dari kunjungan Cheng Ho ke Indonesia. Sumber foto: Kemenag.

Masyarakat Indonesia terutama umat Muslim sudah sangat familiar dengan bedug. Sayangnya belum banyak yang mengetahui asal mula dan perjalanan sejarah yang mengiringi eksistensi instrumen musik tradisional ini di Indonesia. Beberapa hanya sekedar kenal dengan bunyinya saja.

Proses pembuatan bedug sesungguhnya tidak rumit. Sepotong batang kayu besar dengan ukuran panjang kurang lebih satu meter dilubangi pada bagian tengahnya sehingga terbentuk suatu tabung besar. Kemudian ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit sapi atau kerbau. Penutup itu berfungsi sebagai membran atau selaput gendang sehingga menghasilkan suara yang keras saat ditabuh.

Belum ada data yang menyimpulkan siapa pencipta bedug dan sejak tahun berapa alat ini mulai digunakan di Indonesia. Menurut beberapa literatur, terdapat lebih dari satu versi tentang asal mula bedug. Kedatangan Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok ke Nusantara pada abad ke-15 disebut-sebut menjadi titik awal eksistensi bedug di Tanah Air.

Saat itu, instrumen dengan bentuk serupa banyak digunakan untuk sarana kegiatan sembahyang di kuil-kuil Budha di Tiongkok. Laksamana yang beragama Islam itu lalu menghadiahkan sebuah alat tabuh besar kepada penguasa lokal di Semarang. Konon karena suaranya yang "dug, dug, dug", maka alat tersebut akhirnya disebut sebagai bedug.

Sumber lain mengatakan bahwa bedug adalah salah satu bentuk transformasi dari alat tabuh yang sudah ada sejak masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara. Pada masa tersebut, dikenal genderang berbahan perunggu bernama nekara dan moko. Pemakaian genderang itu berhubungan erat dengan ritual-ritual peribadatan.

Hal itu pula yang membuat sejumlah ahli meyakini bahwa tradisi menabuh instrumen sebagai bagian dari kegiatan agama telah berlangsung lama di Nusantara. Penggagasnya bukan pendatang dari bangsa lain, melainkan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri di masa lalu. Transformasinya hanya pada bahan bakunya yang tidak menggunakan perunggu dan bentuknya yang lebih besar.

Masjid Cheng Ho di Surabaya dengan bedug di terasnya. Ada pendapat bahwa bedug bermula dari kunjungan Cheng Ho ke Indonesia. Sumber foto: Kemenag.
Masjid Cheng Ho di Surabaya dengan bedug di terasnya. Ada pendapat bahwa bedug bermula dari kunjungan Cheng Ho ke Indonesia. Sumber foto: Kemenag.
Terlepas dari perdebatan tersebut, tidak ada yang membantah fungsi bedug sebagai alat komunikasi yang menandakan dimulainya waktu sholat atau seruan bagi warga untuk berkumpul dalam acara-acara tertentu. Pada masa itu juga belum ada alat pengeras suara, sehingga bedug sangat diandalkan oleh masjid-masjid di berbagai daerah di Indonesia. Suara bedug bisa terdengar hingga jarak puluhan bahkan ratusan meter sehingga menjangkau masyarakat dalam satu desa.

Penggunaan bedug di masjid-masjid terus berlangsung pada masa Wali Songo. Sunan Kalijaga yang dikenal akan pendekatannya bersyiar Islam dengan memadukan unsur-unsur budaya lokal itu disebut-sebut sebagai salah satu ulama yang sangat mendukung penyebaran bedug sebagai alat komunikasi di masjid-masjid. Tak heran bila bedug berusia tua mudah ditemukan baik di masjid, suaru, maupun langgar yang telah berdiri lama di pelosok Indonesia. Bahkan beberapa bedug tertua di Indonesia konon usianya sudah menginjak lebih dari 100 tahun.

Bersama dengan kentungan, bedug dikukuhkan sebagai bagian dari syiar Islam di Indonesia pada Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bermula dari momen tersebut, masyarakat Indonesia mulai mengasosiasikan bedug dengan elemen pada rumah peribadatan agama Islam, sebagaimana penggunaan sajadah, minaret dan kubah. Bedug biasanya diletakkan di halaman depan atau teras masjid. Untuk melindungi dari kerusakan karena panas matahari, angin atau air hujan, beberapa bedug diberi kain penutup dan baru dibuka saat akan digunakan.

Sebagian besar masyarakat sudah mengasosiasikan bedug dengan masjid. Sumber foto: Kompas.
Sebagian besar masyarakat sudah mengasosiasikan bedug dengan masjid. Sumber foto: Kompas.
Sayangnya, eksistensi bedug sempat mengalami pertentangan pada masa Orde Baru. Oleh segelintir ulama yang didukung oleh politisi, bedug dianggap mengandung unsur non-Islam sehingga perlu dihentikan penggunaannya demi upaya 'pemurnian' Islam agar sesuai ajaran Nabi. Pada saat itu, sejumlah bedug terpaksa digudangkan atau dipindahkan ke luar area masjid. Beberapa bedug yang berukuran sangat besar tetap bertahan di teras masjid namun tidak lagi ditabuh.

Kondisi ini juga diikuti oleh munculnya alat pengeras suara berdaya listrik yang dianggap bersuara lebih nyaring dan lebih mudah perawatannya dibanding bedug. Masjid-masjid di kota-kota besar di Indonesia pun satu per satu beralih menggunakan alat pengeras suara sebagai media menyuarakan adzan atau pemberitahuan lainnya kepada para jamaah. Masjid-masjid yang baru dibangun dalam dua dasawarsa terakhir rata-rata tidak lagi memikirkan penggunaan bedug sebagai bagian dari unsurnya.

Kendati begitu, bedug tidak sepenuhnya ditinggalkan di Indonesia. Suara bedug yang bertalu-talu sebelum kumandang azan masih terdengar dari masjid dan surau di kota-kota kecil atau pedesaan. Selain itu, tren penggunaan kembali bedug pun akhirnya muncul pasca Orde Baru. Menurut beberapa sumber, masyarakat Indonesia belakangan ini berusaha mencari identitas Islam yang bercirikan budaya lokal. Bedug adalah salah satu di antaranya.

Oleh karena itu, kita masih dapat melihat bedug di masjid-masjid di Indonesia. Walaupun tidak lagi ditabuh sebanyak lima kali sehari sesuai waktu salat, namun bedug-bedug tersebut masih dipertahankan oleh para pengurus masjid. Bedug yang ada di masjid-masjid di kota besar biasanya dipukul saat acara-acara tertentu seperti hari raya Idulfitri dan Iduladha, peringatan hari besar Islam, dan lain-lain. Berkembang juga aneka festival dan lomba tabuh bedug antar masjid.

Kini bedug lebih sering dipakai saat acara-acara khusus seperti hari raya. Sumber foto: Tribunnews.
Kini bedug lebih sering dipakai saat acara-acara khusus seperti hari raya. Sumber foto: Tribunnews.
Bedug saat ini bahkan menjadi bagian dari diplomasi budaya Indonesia. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa bedug telah menjadi ikon budaya terkait Islam yang khas Indonesia. Posisinya mungkin bisa disetarakan dengan peci hitam dan sarung. Terlebih lagi, ada makna filosofis yang terkandung dalam penggunaan bedug, yaitu tentang kebersamaan umat dan kebahagiaan menyambut suka cita.

Ikon yang mudah dikenal dan makna filosofis yang dalam adalah dua hal yang sangat mendukung upaya diplomasi budaya yang bermuara pada pembentukan citra positif. Hal itulah yang kemudian mendorong pemerintah Indonesia bersama dengan para pengelola masjid Istiqlal memasukkan bedug sebagai salah satu agenda saat tamu-tamu negara berkunjung ke masjid Istiqlal. Apalagi bedug di Masjid Istiqlal merupakan salah satu yang berukuran terbesar di Indonesia dan kondisinya sangat terawat baik.

Sebagaimana diketahui, banyak tamu negara yaitu kepala pemerintahan atau menteri-menteri dari negara lain yang berkunjung ke Indonesia selalu menyempatkan diri singgah di Masjid Istiqlal. Hal itu tak lain karena status Masjid Istiqlal sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara dan kaitan eratnya dengan Indonesia sebagai negara berpopulasi Muslim terbesar di dunia. Kunjungan ke Masjid Istiqlal adalah bagian dari gestur mereka untuk menyapa dunia Islam di Indonesia.

Sejumlah tokoh dunia seperti Mantan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, Ketua Majelis Permusyawaratan Politik (MPR) China, Yu Zhengsheng, Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, dan yang terbaru Perdana Menteri India Narendra Modi berkesempatan memukul bedug di Masjid Istiqlal. Sebelum bedug ditabuh, imam besar Masjid Istiqlal yang mendampingi kunjungan para tamu tersebut akan menjelaskan tentang sejarah singkat bedug dan cara penggunaannya yang benar.

Perdana Menteri India Narendra Modi memukul bedug di Istiqlal. Foto: Bisnis.com.
Perdana Menteri India Narendra Modi memukul bedug di Istiqlal. Foto: Bisnis.com.
Agenda memukul bedug oleh para tamu negara ini kemudian diangkat sebagai narasi yang sejalan dengan kepentingan diplomasi Indonesia. Citra sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang di saat bersamaan juga merupakan negara multikultur yang demokratis adalah sesuatu yang menjadi kelebihan Indonesia dibandingkan negara-negara lain. Maka citra ini selalu ingin disampaikan oleh Indonesia kepada dunia internasional, salah satunya dengan medium kebudayaan.

Bedug sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia. Meskipun eksistensinya tidak selalu berjalan mulus, namun bedug telah diwariskan secara turun-temurun di berbagai tempat di Indonesia. Penggunaannya mungkin banyak berubah seiring perkembangan zaman, namun peranannya sebagai pendukung syiar Islam dan bahkan medium diplomasi budaya membuktikan bahwa bedug akan selalu menjadi bagian tak terpisakan dari peradaban bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun