Dalam beberapa tahun terakhir, populasi dunia menjadi semakin urban. Kota-kota tumbuh dan berkembang, menampung pertambahan 65 juta penduduk setiap tahunnya yang menyebabkan munculnya masalah dalam berbagai bidang. Dengan kondisi semacam itu, kota akhirnya menjadi laboratorium paling ideal untuk melakukan uji coba, demi mencari solusi-solusi baru yang memungkinkan terwujudnya ruang hidup yang layak huni.
Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya menampung 3,5 juta penduduk yang mayoritas bekerja dan bermukim secara informal. Dari jumlah tersebut, hampir 63% warga tinggal di wilayah perkampungan yang secara spasial hanya menempati 7% lahan di pusat kota. Kampung, dengan segala siasatnya, ternyata mampu menjadi urban absorber dan urban generator yang penting bagi Kota Surabaya.
Menyadari posisi tersebut, Pemerintah Kota Surabaya bergerak aktif dalam melakukan pembenahan dan penataan yang disebut Kampung Improvement Program (KIP) yang dilaksanakan secara konsisten sejak 1960an. Melalui program ini Pemerintah Kota Surabaya menempatkan kampung sebagai bagian dari strategi formal untuk mewujudkan kota yang humanis dan layak huni. Â
Dapatkah satu kota belajar pada kota lainnya? Mungkinkah inovasi di sebuah kota dapat diaplikasikan bagi kota lainnya? Bagaimana mengintegrasikan gagasan, konsep spasial, dan gaya hidup baru dalam kota sebuah kota yang multikultural?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadi bahan diskusi dalam program Lecture on Cities yang dikuratori oleh Mohammad Cahyo Novianto. Program ini mempertemukan elemen birokrasi, praktisi dan akademisi yang bergerak dalam studi urban dari Surabaya dan Brussels melalui serangkaian kegiatan.
Pada bulan November, wacana tentang kampung kota di Surabaya dibawa dan dipresentasikan di Brussels melalui rangkaian diskusi, ceramah, debat, dan obrolan santai yang melibatkan komponen birokrasi, akademisi, arsitek, peminat studi urban, dan masyarakat umum dari kedua negara.
Program Lecture on Cities merupakan bagian dari Europalia Arts Festival Indonesia yang didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Â
 Kamis, 16 November 2017
Lokasi:BOZAR, Rue Ravensteinstraat 23, 1000 Brussels, Belgium
Waktu: 5 AM - 7 AM, 8 PM - 9:45 PM
Surabaya: Challenging Practices of Commoning
Pembicara:
- Prof. Johan Silas
- Mohammad Cahyo
- Aryani Sari
- Jean-Philippe De Visscher, UCL-LOCI
- Thierry Kandjee, UCL-LOCI
- Dominique Nalpas, EGEB
- Etienne Haulotte, Brussels Environnement
- Sophie Ghyselen, Community Land Trust Bruxelles-Brussel
- Alessandra Manganelli, KUL/VUB
- Catherine Fierens, Brussels Environment, coordinator Boeren Bruxsel Paysans
- Ayos Purwoaji
The Urban Laboratory of Surabaya: The Kampung Experience
Pembicara:
- Tri Rismaharini (Walikota Surabaya)
- Prof. Johan Silas (Guru besar Institut Sepuluh Nopember, Surabaya)
- Kenta Kishi (Arsitek, profesor Graduate School of Transdisciplinary Arts, Akita University of Art, Jepang)
- Kristiaan Borret (kepala arsitek Brussels Region)
Moderator: Jean-Philippe De Visscher & Thierry Kandjee
Jumat, 17 November 2017
Lokasi: Kunstberg 5, 1000 Brussels, Belgium
Waktu: 4 AM
Coffee, tea or place-making?
Dikoordinasi oleh Arsitek Diaspora Indonesia
Tamu undangan:
- Tri Rismaharini (Walikota Surabaya)
- Prof. Johan Silas (Guru besar Institut Sepuluh Nopember, Surabaya)
Untuk informasi lengkap mengenai acara ini dapat menghubungi kurator, Mohammad Cahyo Novianto (madcahyo4nomaden@gmail.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H