Gemuruh suara penonton di Jakarta Convention Center menyambut kemenangan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir di Indonesia Open 2017. Pasangan ganda campuran peraih medali emas di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro itu berhasil mengalahkan pasangan peringkat nomor satu dunia dari Tiongkok, Zheng Siwei dan Chen Qingchen dalam dua set langsung 22-20 21-15. Gelar juara ganda campuran ini pun memastikan akhir dari penantian pebulutangkis Indonesia untuk jadi kampiun di Indonesia Open. Sebelumnya, Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan menjadi pemain Indonesia terakhir yang naik podium juara Indonesia Open yaitu di tahun 2013.
Keberhasilan pasangan yang akrab dengan julukan Owi/Butet ini tak lepas dari perjuangan luar biasa yang telah mereka lakukan. Di partai final, keduanya benar-benar menampilkan permainan yang terbaik, tidak mudah berbuat kesalahan sendiri dan menjaga kekompakan dengan komunikasi yang lancar. Pasangan Tiongkok yang sedang naik daun dalam dua tahun terakhir itu tidak diberikan kesempatan untuk bisa leluasa mengembangkan permainan mereka.
Walaupun sepertinya tidak perlu ada penjelasan tentang kehebatan Butet karena hal tersebut sudah diamini oleh semua orang di Indonesia dan bahkan di luar negeri, namun ada 2 hal spesial yang membuat Butet semakin kokoh dengan predikat wonder woman setelah ia merengkuh gelar Indonesia Open tahun 2017 ini, yaitu:
1. Kekuatan dan komitmen berprestasi di tengah cedera.
Dalam karir elit bulutangkisnya yang sudah melintang sejak masih berusia 18 tahun, Butet memang tergolong pemain yang jarang terkena cedera. Namun hantu cedera yang kerap mengganggu para olahragawan itu akhirnya harus ia temui di akhir tahun 2016. Ia mengalami cedera lutut dan terpaksa menepi dari lapangan selama beberapa bulan untuk proses penyembuhan.
Cedera Butet nampaknya tidak bisa dianggap remeh karena hal itu mempengaruhi penampilannya setelah mencoba kembali bermain pasca dinyatakan kondisinya membaik. Bersama Owi, Butet kalah di perempatfinal All England 2017 dan semifinal Malaysia Open 2017. Di Singapore Open 2017, pasangan yang waktu itu diunggulkan di posisi kedua ini malah dipaksa kalah dalam dua set langsung dari pemain Thailand, Dechapol Puavaranukroh dan Sapsiree Taerattanachai.
Namun Butet memang seorang wonder woman. Ia tahu bahwa dirinya dan Owi tak mungkin absen dari turnamen yang berlangsung di ‘rumah’ dan di depan para fans bulutangkis Indonesia yang fanatik itu. Meskipun lututnya masih dibebat dan pergerakannya terbatas, Butet dan Owi tetap memastikan bertanding di Indonesia Open 2017.
Butet bisa saja memilih mundur dari turnamen ini bila tidak mau ambil resiko pada lututnya. Ia juga bisa mundur dengan alasan cedera dan menikmati keseruan pertandingan bulutangkis di Indonesia Open 2017 dari bangku penonton atau di depan layar televisi. Jika keputusan itu ia ambil, sepertinya para pengurus PBSI dan masyarakat umum sangat memaklumi. Tapi alasan seperti itu tidak ada dalam pikiran dan hati Butet yang memang seorang juara sejati.
Jatuh-bangun dialami Butet di Indonesia Open 2017, terutama saat melawan pemain-pemain yang usianya lebih muda sehingga tenaganya lebih fit dan tentunya sedang tidak dibekap cedera. Untungnya Owi sangat sigap menjalankan beberapa pekerjaan tambahan untuk membantu Butet. Ada sejumlah porsi yang biasa dilahap oleh Butet di lapangan kini harus jadi tanggung jawabnya. Butet tetap memegang kendali sebagai playmaker di depan net dan pemimpin yang selalu memotivasi Owi.
Di babak-babak berikutnya, Butet yang masih terbatas pergerakannya tetap berusaha tampil prima melawan pemain-pemain yang masih fresh seperti Hafiz Faisal/Sheila Devi Aulia, Tan Kian Meng/Lai Pei Jing dan Chang Peng Soon/Peck Yen Wei. Dalam konferensi pers setelah menang di babak pertama, Butet mengatakan bahwa dia terpacu untuk melupakan cederanya karena mendengar dukungan luar biasa dari penonton. Ia tidak mau mengecewakan mereka yang sudah datang mendukungnya dan Owi. Sungguh luar biasa!
2. Ketenangan dalam Menghalau Tekanan dan Rasa Penasaran
Pada awal bergulirnya Indonesia Open 2017, sektor ganda campuran tidak dibebani target meraih gelar juara karena jagoan utamanya yaitu Owi/Butet sedang tidak dalam performa yang maksimal. Target juara dibebankan oleh PBSI kepada ganda putra, khususnya Markus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo yang memang sedang menggila dengan raihan tiga gelar juara Super Series di semester pertama tahun 2017.
Namun ternyata pasangan ganda putra berperingkat nomor satu dunia itu harus tersisih terlalu dini karena kalah dari Kim Astrup/Anders Skaarup (Denmark) di babak pertama. Kegawatan semakin menjadi karena andalan-andalan di ganda putra lainnya yaitu Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi dan Mohammad Ahsan/Rian Agung Saputra juga angkat koper sebelum turnamen memasuki tahap perempatfinal.
Meskipun masih ada ganda putra Fajar Alfian/M.Rian Ardianto ditambah duo ganda putri Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri Sari dan Anggia Shitta Awanda/Ni Ketut Mahadewi Istarani, namun semua mata para pecinta bulutangkis Indonesia dan pengurus PBSI sudah fokus tertuju pada Owi/Butet sebagai harapan meraih gelar untuk tuan rumah. Hal itu wajar karena Owi/Butet adalah peraih medali emas Olimpiade dan juara dunia serta berstatus sebagai pemain senior. Mereka dinilai punya peluang paling besar dibanding pemain Indonesia lain yang masih tersisa.
Dapat dibayangkan bagaimana besarnya tekanan yang ada di pundak Owi/Butet, termasuk saat mereka disambangi oleh Ketua Umum PB PBSI, Wiranto di balik lapangan seusai memastikan tiket final. Kehadiran sang panglima organisasi bulutangkis di Indonesia itu seolah menjadi pernyataan bahwa Owi/Butet sangat diperhatikan dengan baik-baik karena cuma merekalah yang bisa jadi kunci penyelamat bagi Indonesia agar terhindar dari puasa gelar di Indonesia Open untuk yang keempat kalinya berturut-turut.
Khusus bagi Butet, dia juga pernah merasakan pahitnya gagal menang di partai final saat bermain di depan publik Indonesia. Bersama Nova Widianto, ia kalah dari Zheng Bo/Gao Ling di Indonesia Open 2007. Maka, rasa penasaran yang besar itu pun bisa berubah jadi tekanan di pikiran dan hati Butet untuk harus menang kali ini.
Banyak yang awalnya menduga Owi/Butet akan kerepotan melawan Zheng Siwei/Chen Qingchen yang sedang penuh gairah sebagai pasangan muda namun sudah bisa jadi peringkat 1 dunia. Apalagi gaya permainan ganda campuran Tiongkok itu sangat cepat dan mengandalkan fisik. Butet bisa keteteran dalam hal ini. Belum lagi provokasi yang sering dilakukan Chen Qingchen dengan gaya selebrasinya yang khas setiap merebut poin dari lawan. Rekor head-to-head pun tidak baik karena mereka kalah dari pasangan Tiongkok itu di satu-satunya pertemuan mereka pada tahun 2014 lalu.
Hasil akhir berupa kemenangan Owi/Butet menjadi saksi bagaimana pasangan ini melengkapi koleksi gelar juara mereka yang kian 'wahh'. Khusus bagi Butet, setidaknya ia tidak lagi penasaran setelah sudah 10 tahun mencoba juara di Indonesia Open yang berlevel Super Series. Kemenangan ini juga diharapkan bisa ‘menampar’ para pasangan ganda campuran di Pelatnas PBSI seperti Alfian Eko Prasetyo/Annisa Saufika, Ronald Alexander/Melati Daeva O., Edi Subaktiar/Gloria E. Widjaja yang tak kunjung menyamai level permainan Owi/Butet, bahkan saat sang legenda hidup itu sedang dirundung cedera.
Terima kasih Owi/Butet! Selamat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H