Namun ternyata pasangan ganda putra berperingkat nomor satu dunia itu harus tersisih terlalu dini karena kalah dari Kim Astrup/Anders Skaarup (Denmark) di babak pertama. Kegawatan semakin menjadi karena andalan-andalan di ganda putra lainnya yaitu Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi dan Mohammad Ahsan/Rian Agung Saputra juga angkat koper sebelum turnamen memasuki tahap perempatfinal.
Meskipun masih ada ganda putra Fajar Alfian/M.Rian Ardianto ditambah duo ganda putri Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri Sari dan Anggia Shitta Awanda/Ni Ketut Mahadewi Istarani, namun semua mata para pecinta bulutangkis Indonesia dan pengurus PBSI sudah fokus tertuju pada Owi/Butet sebagai harapan meraih gelar untuk tuan rumah. Hal itu wajar karena Owi/Butet adalah peraih medali emas Olimpiade dan juara dunia serta berstatus sebagai pemain senior. Mereka dinilai punya peluang paling besar dibanding pemain Indonesia lain yang masih tersisa.
Dapat dibayangkan bagaimana besarnya tekanan yang ada di pundak Owi/Butet, termasuk saat mereka disambangi oleh Ketua Umum PB PBSI, Wiranto di balik lapangan seusai memastikan tiket final. Kehadiran sang panglima organisasi bulutangkis di Indonesia itu seolah menjadi pernyataan bahwa Owi/Butet sangat diperhatikan dengan baik-baik karena cuma merekalah yang bisa jadi kunci penyelamat bagi Indonesia agar terhindar dari puasa gelar di Indonesia Open untuk yang keempat kalinya berturut-turut.
Khusus bagi Butet, dia juga pernah merasakan pahitnya gagal menang di partai final saat bermain di depan publik Indonesia. Bersama Nova Widianto, ia kalah dari Zheng Bo/Gao Ling di Indonesia Open 2007. Maka, rasa penasaran yang besar itu pun bisa berubah jadi tekanan di pikiran dan hati Butet untuk harus menang kali ini.
Banyak yang awalnya menduga Owi/Butet akan kerepotan melawan Zheng Siwei/Chen Qingchen yang sedang penuh gairah sebagai pasangan muda namun sudah bisa jadi peringkat 1 dunia. Apalagi gaya permainan ganda campuran Tiongkok itu sangat cepat dan mengandalkan fisik. Butet bisa keteteran dalam hal ini. Belum lagi provokasi yang sering dilakukan Chen Qingchen dengan gaya selebrasinya yang khas setiap merebut poin dari lawan. Rekor head-to-head pun tidak baik karena mereka kalah dari pasangan Tiongkok itu di satu-satunya pertemuan mereka pada tahun 2014 lalu.
Hasil akhir berupa kemenangan Owi/Butet menjadi saksi bagaimana pasangan ini melengkapi koleksi gelar juara mereka yang kian 'wahh'. Khusus bagi Butet, setidaknya ia tidak lagi penasaran setelah sudah 10 tahun mencoba juara di Indonesia Open yang berlevel Super Series. Kemenangan ini juga diharapkan bisa ‘menampar’ para pasangan ganda campuran di Pelatnas PBSI seperti Alfian Eko Prasetyo/Annisa Saufika, Ronald Alexander/Melati Daeva O., Edi Subaktiar/Gloria E. Widjaja yang tak kunjung menyamai level permainan Owi/Butet, bahkan saat sang legenda hidup itu sedang dirundung cedera.
Terima kasih Owi/Butet! Selamat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H