Ada beberapa pebulutangkis yang acapkali mendapat teguran dari wasit karena menghabiskan waktu lama di jeda antar permainan. Marcus/Kevin bukan golongan ini. Setelah mereka mendapatkan poin karena keberhasilan shot atau kesalahan lawan, mereka akan langsung mengambil shuttlecock yang keluar dari lapangan atau jatuh di area sekitar net. Mereka pun segera siap mengeksekusi servis untuk meneruskan permainan.
Hal ini sangat sering mereka praktekkan ketika mereka sedang memimpin papan skor dan berniat mengajak lawan pelan-pelan masuk ke dalam pola permainan yang mereka sukai. Lihat saja di pertandingan-pertandingan mereka pada All England dan Malaysia Open lalu.
Dengan strategi 'segera lanjut bermain' ini, mereka seolah membatasi waktu bagi pemain lawan untuk melalukan evaluasi singkat atas kesalahan yang baru saja lawan mereka lakukan atau atas kesuksesan shot yang diluncurkan Marcus/Kevin. Sejumlah pasangan memang sering menggunakan waktu singkat beberapa detik pada jeda diantara permainan untuk berpikir dan berdiskusi kilat dengan teammate-nya agar mereka tidak mengulang kesalahan yang sama atau agar mereka berganti strategi karena bisa membaca titik kelebihan/kekurangan lawan.
Maka, sangat wajar bila hampir semua pertandingam yang dijalani oleh Marcus/Kevin di tahun 2017 ini berlangsung cepat. Baik pertandingan dua set maupun tiga set, rata-rata hanya menghabiskan waktu kurang dari satu jam. Pemain-pemain lawan yang tidak punya waktu leluasa untuk berpikir di jeda antar permainan itu lalu mengikuti ritme yang diterapkan Marcus/Kevin dan secara tak sadar telah terjebak dalam perangkap psikologis pasangan peraih medali perak SEA Games 2015 ini.
Marcus/Kevin tidak selalu berada di posisi nyaman yaitu unggul dalam perolehan skor. Di beberapa pertandingan, mereka malah tertinggal dan harus mengejar skor lawan agar bisa membalikkan keadaan. Misalnya di partai perempatfinal Malaysia Open melawan Li Junhui/Liu Yuchen dari Tiongkok yang merupakan aksi comeback terspektakuler dari hampir keok menjadi menang yang pernah dihasilkan oleh pasangan ini.
Saat lawannya sedang memanen poin, Marcus/Kevin berusaha untuk tidak pasang muka panik atau bingung. Mereka akan tetap menunjukkan ekspresi optimis yang fokus. Beberapa pebulutangkis lain yang berada dalam situasi krisis seperti ini akan sangat sering menolehkan wajah ke arah pelatih yang duduk di pojok lapangan untuk meminta masukan atau suntikan motivasi agar bisa bangkit. Marcus/Kevin tidak melakukan hal itu karena menyadari bahwa gestur tersebut justru makin menandakan mereka sedang tidak percaya diri.
Marcus/Kevin tidak mau memberikan sinyal apapun yang membuat pemain di seberang net mereka bisa merasa di atas angin secara psikologis. Dengan tetap agresif melawan dan beberapa kali melakukan tos atau menepuk pelan punggung sesamanya dengan raket, Marcus/Kevin memperlihatkan diri mereka tidak takut akan ketertinggalan skor dan tidak mau hanyut pada pola permainan lawan. Apabila butuh komunikasi, maka itu cukup terjadi antara keduanya saja. Mereka berharap instruksi dari pelatih didapat saat sudah interval poin 11 atau istirahat antar set saja. Keteguhan mental yang berbicara dalam perang psikologis ini.
Semoga Marcus/Kevin dapat terus bersinar dengan raihan prestasi mereka. Jayalah terus bulutangkis Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H