Video kampanye terbaru pasangan calon (paslon) gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat tengah beredar di media sosial sejak Minggu, 9 April 2017. Video yang diunggah oleh akun Twitter resmi milik Ahok @basuki_btp itu langsung mendapat respon yang beragam. Banyak masyarakat, terutama pendukung paslon nomor 2 itu yang memberikan pujian pada video dengan tagar #BeragamItuBasukiDjarot. Di sisi lain, muncul sejumlah kekecewaan bahkan kecaman dari masyarakat pada video berdurasi 2 menit itu.
Dalam video yang bertajuk “19 April 2017: Pilih Keberagaman” itu digambarkan tentang bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Kemudian, pluralisme Jakarta dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika itu mendapat ujian berupa demonstrasi massa dari suatu golongan masyarakat. Cerita di video itu terinspirasi oleh terjadinya beberapa aksi unjuk rasa yang akhir-akhir ini sering dilakukan terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, gubernur DKI Jakarta yang telah memimpin sejak 14 November 2014.
Sebagai disclaimer, penulis bukan pendukung Ahok-Djarot maupun paslon penantang mereka, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Penulis berada di posisi netral dalam menyikapi pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017. Penulis sendiri tidak punya hak pilih pada pilgub tersebut karena kartu tanda penduduk (KTP) yang dimiliki bukan berinduk di ibukota. Tulisan ini dibuat untuk menyuarakan pendapat penulis sebagai seorang pecinta bulutangkis Indonesia saja.
Penulis memilih untuk tidak memberikan komentar terkait ketepatan strategi paslon nomor 2 dalam mengangkat “Bhinneka Tunggal Ika” dalam video kampanye mereka. Demikian juga mengenai ancaman pada keberagaman Indonesia yang digambarkan melalui adegan aksi protes dengan spanduk “Ganyang Cina” yang diusung oleh kelompok masyarakat beratribut agama tertentu. Hal tersebut cukup kontroversial dan diyakini akan berkembang menjadi perdebatan yang panas dalam beberapa hari ke depan.
Penulis lebih tertarik dengan kemunculan bulutangkis di video yang bertujuan untuk menyedot perhatian para pemilih agar mendukung petahana. Tim sukses Ahok-Djarot pasti telah berpikir matang dan melakukan analisis khusus sehingga memutuskan untuk menampilkan olahraga tepok bulu tersebut. Di video itu, ada dua sosok pebulutangkis yang sedang berada dalam suatu pertandingan. Mereka berhasil memenangkan laga itu dan lalu hanyut dalam kegembiraan.
Penulis menyayangkan dimasukkannya bulutangkis dalam video kampanye itu. Bulutangkis memang ditampilkan dengan bagus yaitu mencetak kemenangan yang membanggakan, sebagaimana olahraga paling berprestasi di Indonesia ini biasa lakukan. Kekecewaan penulis adalah bahwa konteks pada video tersebut tidak sesuai dengan kondisi bulutangkis Indonesia saat ini. Oleh karena itu, sebaiknya bulutangkis tidak perlu diikutkan di dalamnya.
Adegan bulutangkis di video kampanye Ahok-Djarot itu berada dalam konteks bahwa semua elemen masyarakat Indonesia dari berbagai suku, agama dan ras (SARA) telah memiliki kontribusi yang luar biasa bagi kemajuan bangsa. Oleh karena itu, seharusnya tidak boleh ada diskriminasi yang merugikan seseorang hanya karena latar belakang SARA. Semuanya adalah saudara sebangsa dan setanah air yang punya hak dan kewajiban yang sama.
Pesan yang disampaikan secara eksplisit pada video adalah bahwa masyarakat Jakarta harus memilih paslon nomor 2 bila ingin negara Pancasila hadir dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika membumi di ibukota. Apabila mereka tidak terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode 2017-2021, maka hal itu akan mengganggu kehidupan pluralisme di Jakarta, dan bahkan Indonesia. Video menarasikan bahwa saat ini Indonesia sedang dilanda diskriminasi akut pada suatu golongan sehingga harus bersama-sama dilawan.
Mengapa bulutangkis tidak sesuai dengan konteks tersebut? Karena situasi perbulutangkisan Indonesia saat ini berada dalam masa yang sangat kondusif. Tidak ada diskriminasi apapun yang berbasis pada SARA yang terjadi baik dalam skala nasional di Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) maupun di lingkungan klub dan pelatihan tingkat daerah.
Ada banyak pemain bulutangkis Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa, baik di masa lalu maupun sekarang. Sebagian besar dari mereka memiliki prestasi yang sangat bagus dan menjadi tulang punggung Indonesia dalam mencapai kegemilangan di turnamen internasional. PBSI tidak pernah membeda-bedakan pemain berdasarkan SARA untuk dikirim ke turnamen internasional atau diberi kehormatan membela Tim Indonesia di kejuaraan beregu.
Siapapun yang punya kemampuan bagus akan dipilih sedangkan mereka yang performanya buruk pun akan tidak diprioritaskan, bahkan mungkin didegradasi di akhir tahun. Bakat-bakat muda yang bermunculan di berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke mendapat peluang yang sama untuk dapat difasilitasi dalam pelatihan dengan kurikulum dan infrastruktur berstandar internasional yang ada di Pelatnas Cipayung dan klub.
Di struktur kepengurusan PBSI, tidak ada sekat-sekat antar individu yang dikarenakan oleh perbedaan SARA. Semua mantan pelatih/pebulutangkis, public figure, politisi atau pengusaha yang memiliki tekad dan semangat untuk mengabdi bagi dunia bulutangkis pun mendapat kesempatan yang sama untuk bisa duduk di kursi kepengurusan dan ikut menentukan kebijakan yang terbaik bagi kemajuan para pebulutangkis Indonesia.
Bagi masyarakat luas yang menjadi fans bulutangkis Indonesia, pandangan atau perlakuan yang berbeda karena landasan SARA tidak pernah diberikan. Semua pemain dengan tulisan nama Indonesia di bagian punggung jersey-nya akan selalu didukung dengan penuh. Lihatlah bagaimana kekompakan pecinta bulutangkis Indonesia ketika sedang menyokong Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, dkk. berlaga di Indonesia Open Superseries. Tak ada perbedaan antusiasme penonton ketika menyaksikan seorang pemain Indonesia yang bersuku Sunda seperti Ihsan Maulana Mustofa atau pemain Indonesia lainnya yang beretnis Tionghoa seperti Jonatan Christie.
Terlepas dari pesan yang positif bahwa bangsa Indonesia harus selalu mengingat takdirnya sebagai bangsa yang multikultur, penulis menyayangkan bila bulutangkis dibawa-bawa sebagai isu di video yang kental muatan politisnya itu. Biarlah percaturan politik yang sedang memanas berjalan dengan sendirinya dan di sisi lain olahraga bulutangkis di Indonesia mencetak prestasi tinggi tanpa mendapat kaitan dengan hal-hal politis.
Jayalah Bulutangkis Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H