Kasus bumi asih jaya, perusahaan asuransi tersebut didirikan pada tahun 1967 dinyatakan pailit pada 13 juni 2016, sebelum perusahaan tersebut dinyatakan pailit, perusahaan tersebut dicabut izin beroprasi oleh OJK pada oktober 2013. Perusahaan tersebut pailit pada desember 2012 karena pada laporan keuangan perusahaan tersebut memiliki kewajiban pembayaran klaim dan manfaat kepada pemegang polis sebesar Rp.1,3 triliun sedangkan aset milik perusahaan tersebut hanya sebesar Rp.294,14 miliar, sehingga kekayaan perusahaan tersebut untuk memenuhi pembayaran kepada pemegang polis minus. Dan rasio pencapaian tingkat solvabilitas sebesar minus 11,59%. Ekuitas perseroan juga minus Rp. 768,4 miliar, jauh dibawah ketentuan yang mewajibkan perusahaan asuransi punya modal sebesar Rp 70 miliar pada saat itu dan Rp 100 miliar pada saat 31 desember 2014.
Perusahaan asuransi yang tidak mampu membayar segala kerugian akibat dari perusahaan tersebut mengalami kerugian yang besar jumlahnya menyebabkan pembubaran atau perubahan sebuah perusahaan asuransi yang telah go publik menjadi perusahaan yang baru disebut dengan sistem likuidasi.
Setiap perusahaan pasti memiliki resikonya masing-masing. Seperti perusahaan asuransi yang memiliki beberapa resiko yang harus dihadapinya seperti resiko strategis, resiko reputasi, resiko hukum, resiko operasional, resiko kredit, resiko asuransi, resiko pasar dan resiko likuiditas.
Pada umumnya perusahaan asuransi akan mendapatkan dana dari nasabah, dimana dana tersebut akan diinvestasikan kembali oleh perusahaan asuransi tersebut. Reksadana, pasar saham, deposito dan instrumen lainnya di pasar modal merupakan tempat yang biasanya digunakan untuk menginvestasikan kembali dana tersebut.
Salah satu faktor yang menyebabkan perusahaan mengalami resiko likuiditas adalah penempatan asuransi yang salah, sehingga perusahaan mengalami gagal bayar dan terjadinya likuidasi perusahaan asuransi. Beban klaim asuransi yang besar jumlahnya yang diajukan oleh nasabah juga menyebabkan kebangkrutan perusahaan asuransi apabila besarnya klaim tersebut tidak diiringi dengan premi atau kelolaan dana yang mencukupi.
Dalam proses likuidasi perusahaan ada lembaga yang mengawasi seperti OJK. Untuk melindungi para konsumen dan menjaga kepercayaan para masyarakat dan konsumen OJK memiliki kewenangan untuk menyatakan status pailit atas suatu perusahaan.
Lalu apa yang terjadi pada nasabah perusahaan asuransi yang telah likuidasi tersebut?
Untuk mencegah kerugian yang lebih besar karena perusahaan asuransi tersebut likuidasi, berikut hal apa saja yang harus diketahui oleh nasabah, yaitu :
- Hak Utama Pemegang Polis
- Undang-undang Tahun 1992 No. 2 Tentang Usaha Perasuransian, mengenai Kepailitan dan Likuidasi pada Bab X, Pasal 20 ayat 2 menyatakan bahwa pembagian harta atas kekayaan perusahaan asuransi yang mengalami kerugian atau perusahaan asuransi jiwa yang dilikuidasi merupakan hak pemegang polis atau disebut juga hak utama.
- Dengan itu, apabila kita membeli produk asuransi lalu perusahaan asuransi tersebut mengalami likuidasi, maka kita sebagai nasabah mempunyai hak utama atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi tersebut.
- Nasabah Prioritas
- Menurut undang-undang di atas, perusahaan harus mendahulukan membayar nasabah dari pembagian kekayaan perusahaan asuransi baik langsung atau melalui ahli waris atau pihak tertanggung.
- Pihak Ketiga
- Membayar kewajiban kepada pihak ketiga memang keharusan perusahaan, apabila perusahaan memiliki kelebihan dana setelah perusahaan asuransi membagi kekayaan perusahaan kepada nasabah maka perusahaan harus segera membayar kewajibannya kepada pihak ketiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H