Sebuah film bisa menjadi medium untuk menyampaikan sebuah pesan. Membuat penonton berlarut-larut dalam skenario atau pulang dengan tenang sembari refleksi. Itulah yang mungkin terjadi ketika anda usai menyaksikan film Ayat-Ayat Cinta 1 dan 2. Film yang mengambil agama Islam sebagai tema besarnya, mengalami perubahan arah tujuan dan perkembangan cerita. Mungkin anda ingat kisah Fahri dan Aisha. Tahukan apa yang terjadi di bab kehidupan selanjutnya?
Ayat-Ayat Cinta tidak bisa terlepas dari identifikasi film yang mengangkat isu dalam agama Islam. Begitu juga dengan pandangan mengenai wanita dan cinta versi agama yang memiliki hari besar Idul Fitri ini.
Film yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy menyuguhkan kisah seorang pemuda yang taat dalam melakoni ibadah lima waktunya. Bukan sesederhana jatuh cinta, menyelesaikan jenjang pendidikan, dan tamat. Ayat-Ayat Cinta lebih kompleks dan membawa misi lain di dalamnya.
Fahri memang pemeran utamanya. Namun, kali ini, anda akan diajak untuk melihat 'pemeran utama' lainnya. Yang melekat di film, yang membawa misi dari film, dan berperan besar atas langkah hidup Fahri bin Abdullah Shiddiq. Perempuan dengan latar kehidupan dan karakter yang beragam.
Berkebalikan dengan anggapan masyarakat mengenai posisi wanita dalam agama Islam, para tokoh yang ada terbilang kuat dan meninggalkan kesan berisi, pekerja keras, dan taat. Ditambah, perubahan misi dan gaya bercerita dari film di bawah naungan MD Pictures akan dibahas lebih lanjut.
Ayat-Ayat Cinta sebagai Penyebar Cinta dan Pendobrak Prasangka tentang Agama
Film Ayat-Ayat Cinta 1 (2008) dan 2 (2017) membawa latar budaya yang berbeda. Namun keduanya memiliki misi yang sama untuk mendobrak suatu budaya lain. Film pertama membawa budaya pemuda rantau dengan segala permasalahan roman di negara Mesir. Film kedua membawa budaya seorang suami dengan keteguhannya untuk berbuat kebaikan di Edinburg.
Menurut Samovar (2017), budaya bisa ditafsirkan sebagai hasil analisis dari kehidupan sehari-hari. Budaya juga memiliki identitas yang berasal dari pandangan reflektif. Dalam hal ini, Ayat-Ayat Cinta 1 (2008) dan 2 (2017) membawa hal tersebut.
Film ini menggunakan isu komunikasi yang realistik. Namun bukan hanya mengiyakan suatu kebenaran, namun juga memberikan sudut pandang lain untuk menetralisir hal tersebut.
Dilansir dari CNN Indonesia dalam artikel karya Khoiri Agniya (2017) yang berjudul Hanung Tak Lagi Diinginkan Garap 'Ayat Ayat Cinta 2', Hanung Bramantyo sang sutradara menemukan beberapa isu dalam masyarakat.
Isu tersebut adalah pandangan mengenai agama Islam sebagai agama mukjizat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya produk-produk media lainnya (sinetron, film singkat, variety show). Isu lain di film pertama adalah mengenai cinta dan poligami. Hanung dan tim membawa isu ini secara halus namun menohok.
Isu film kedua lebih global dari yang pertama. Hal ini berkaitan dengan stereotipe dari masyarakat akan mereka yang beragama Islam. Film kedua mengambil isu mengenai pengeboman jalur Gaza dan bom bunuh diri di London. Kedua isu ini menimbulkan stereotipe dan prasangka akan teroris pada seorang Fahri.
Melalui beberapa dialog dan adegan Fahri menjadi sebuah refleksi untuk masyarakat Muslim dan agama lainnya. Ketika menikahi dua perempuan, Fahri sempat dilema untuk membagi cintaya. Begitu juga ketika ia mengalami penolakan di Edinburg karena kepercayaannya. Ia tetap sabar dan berbuat kebaikan untuk orang-orang sekitarnya agar prasangka atas dirinya tidak dibenarkan.
Ayat-Ayat Cinta 1 (2008) dan 2 (2017), Beda Ayah Satu Rumah Sama Arahnya
Sutradara dan penulis novel Ayat-Ayat Cinta 1 (2008) dan 2 (2017) memiliki keinginan menyampaikan sesuatu kepada penonton. Tim ingin menyampaikan sebuah pesan sosial kepada masyarakat.
Dalam buku Ryan (2012) yang berjudul An Introduction to Criticsm: Literature-Film-Culture, film adalah sebuah perantara antara sumber dan penerima. Film membawa pesan atau informasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Salah satu bentuk pesan yang bisa disampaikan bisa berupa ideologi bahkan budaya.
Ayat-Ayat Cinta 1 (2008) mengandung ideologi yang ingin disampaikan oleh sang sutradara Hanung Baramantyo. Film yang sukses menjadi box office ini membawa misi tentang ketulusan cinta dalam agama Islam melalui representasi kehidupan pernikahan Fahri, Aisha, dan Maria.
Menurut Hanung, film dan novel Ayat-Ayat Cinta mengangkat hal lain dari agama Islam yang bukan mengarah pada 'mukjizat'. Ayat-Ayat Cinta 1 (2008) ingin menyampaikan tentang relasi, cinta, dan bagaimana agama Islam itu sendiri mengatur cinta.
Berbeda dengan film pertama, film yang kedua memiliki visi yang sedikit lebih kompleks. Di bawah arahan sutradara lain, Guntur Soehardjanto, Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) ingin mendekatkan diri lebih dekat lagi dengan masyarakat. Bentuk pendekatan yang dilakuakn dapat dilihat dari isu yang digunakan seperti stereotipe, prasangka, dan kembali lagi soal jatuh cinta akan kebaikan seorang pemuda 'baik-baik'.
Film kedua yang tidak kalah sukses dalam minggu pertama penayangannya ini, masih menunjukkan sisi ketulusan cinta seorang pemuda muslim nan cerdas dengan sekitarnya yang beragam latar belakangnya. Cinta yang disajikan untuk anda dan penonton lain lebih luas serta menampilkan Fahri dari dimensi berbeda. Guntur ingin penontonnya yang berada di usia muda bisa termotivasi untuk memiliki kepedulian akan sekitar dan ilmu pengetahuan.
Bagi anda yang sudah menonton, apakah anda menerima pesan dari kedua sutradara tersebut? Jangan-jangan anda malah fokus dan menghabiskan tissue karena kisah cinta yang nyari mustahil ditemukan di sekitar.
Perempuan-Perempuan Berhati Tulus dan Kuat Di Balik Karir Gemilang dan Keteguhan Seorang Fahri
Fahri memang menjadi tokoh utama dari film yang mengambil latar Mesir dan Edinburg ini. Namun, apa jadinya seorang Fahri jika hidupnya tidak 'diusik' oleh beberapa perempuan yang hadir dalam kehidupannya. Mungkin Fahri, tidak akan menjadi seorang dosen Filologi.
Sejak awal, film Ayat-Ayat Cinta selalu memberi campur tangan seorang perempuan dikehidupan tokoh utama laki-laki. Kemunculan mereka juga beragam dari yang jatuh hati, menolak keras, hingga menganggap Fahri seperti seorang anak.
Dalam bahasan kali ini, anda akan diajak untuk melihat betapa kuat dan cerdasnya para wanita yang ada di film Ayat-Ayat Cinta 1 (2008) dan 2 (2017). Pada film pertama anda bisa menemui Aisha, Maria, Noura, dan Nurul. Pada film kedua ada Aisha, Sabina, Hulya, Keira, Brenda, dan Nenek Catarina.
Beberapa tokoh wanita yang ada mendobrak stereotipe mengenai wanita Indonesia dan wanita beragama Islam. Pada umumnya, mereka dipandang sebagai wanita yang harus patuh dengan laki-laki, tidak berpendidikan, dan tidak bisa menyuarakan pendapat mereka.
Karakter para wanita ini menunjukan sisi feminisme dalama sebuah film. Feminisme dalam Ryan (2012), adalah pandangan yang menentang feminitas dan patriarki. Feminisme berbicara mengenai hak atas peran yang lebih besar bagi perempuan. Beberapa diantaranya adalah perempuan memiliki akses untuk segala bidang, kebebasan profesi dan sumber daya, hingga peran yang kuat dalam film.
Sebut saja Aisha istri dari seorang Fahri. Ia taat dan patuh terhadap suami. Namun ia juga menunjukkan sisi cerdas, baik hati, dan tangguh yang ditunjukkan dengan kesediannya untuk mengajukan diri sebagai sukarelawan di Gaza.
Tokoh lainnya adalah Hulya dan Maria. Keduanya memiliki kecerdasan yang luar biasa di bidangnya masing-masing. Maria menunjukkan kebebasannya dalam mengambil studi lintas agama. Hulya menampilkan kecerdasannya dan bersuara secara lantang di kelas mengenai sejarah Islam.
Wanita lain adalah seorang violinist bernama Keira. Ia kerasa kepala dan menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal. Hal ini ditunjukkan dalam dialog Keira yang tidak ingin dikasihani oleh Fahri atau orang lain. Selain itu ada Brenda seorang melayu yang memasang badan ketika Fahri diejek oleh orang lain karena agama dan pilihannya untuk tidak minum alkohol.
Tokoh lainnya adalah Nenek Catarina yang seorang Yahudi. Ia memberanikan diri di usia senja untuk membela Fahri atas anak tirinya sendiri. Ia juga memarahi sesama jemaat ketika ada yang mengusir Fahri saat menolongnya untuk berjalan.
Kekuatan wanita lainnya bisa dilihat dari soundtrack film ini. Penyanyi yang berkontribusi untuk menyanyikan lagu tematik ini adalah perempuan. Sebut saja Rossa, Krisdayanti, Isyana Sarasvati, dan Raisa. Beberapa lagu juga menunjukkan peran besar seorang wanita dalam kehidupan laki-laki.
Daftar Pustaka
Khoiri, Agniya. (2017). Dilema Fahri dan Tiga Wanita dalam 'Ayat Ayat Cinta 2'. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20170308195450-220-198811/dilema-fahri-dan-tiga-wanita-dalam-ayat-ayat-cinta-2/.
Khoiri, Agniya. (2017). Hanung Tak Lagi Diinginkan Garap 'Ayat Ayat Cinta 2'. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20170317104446-220-200821/hanung-tak-lagi-diinginkan-garap-ayat-ayat-cinta-2.
Kompas, Nasional. (2008). Ayat-Ayat Cinta: Sepenggal Kisah tentang Kemuliaan Cinta. https://nasional.kompas.com/read/2008/02/28/01042879/ayat-ayat.cinta.sepenggal.kisah.tentang.kemuliaan.cinta.
Muthahhari, Terry. (2017). Ayat-Ayat Cinta 2: Representasi Pembaharuan Islam Setengah Matang. https://tirto.id/ayat-ayat-cinta-2-representasi-pembaharuan-islam-setengah-matang-cCcf.
Ryan, M. (2012). An Introduction to Criticsm: Literature-Film-Culture. UK: John Wiley & Sons Ltd.
Samovar, L. A., Porter, R. E., McDaniel, E. R., & Roy, C. S. (2017). Communication Between Cultures. Nelson Education.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H