Berbeda dengan film pertama, film yang kedua memiliki visi yang sedikit lebih kompleks. Di bawah arahan sutradara lain, Guntur Soehardjanto, Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) ingin mendekatkan diri lebih dekat lagi dengan masyarakat. Bentuk pendekatan yang dilakuakn dapat dilihat dari isu yang digunakan seperti stereotipe, prasangka, dan kembali lagi soal jatuh cinta akan kebaikan seorang pemuda 'baik-baik'.
Film kedua yang tidak kalah sukses dalam minggu pertama penayangannya ini, masih menunjukkan sisi ketulusan cinta seorang pemuda muslim nan cerdas dengan sekitarnya yang beragam latar belakangnya. Cinta yang disajikan untuk anda dan penonton lain lebih luas serta menampilkan Fahri dari dimensi berbeda. Guntur ingin penontonnya yang berada di usia muda bisa termotivasi untuk memiliki kepedulian akan sekitar dan ilmu pengetahuan.
Bagi anda yang sudah menonton, apakah anda menerima pesan dari kedua sutradara tersebut? Jangan-jangan anda malah fokus dan menghabiskan tissue karena kisah cinta yang nyari mustahil ditemukan di sekitar.
Perempuan-Perempuan Berhati Tulus dan Kuat Di Balik Karir Gemilang dan Keteguhan Seorang Fahri
Fahri memang menjadi tokoh utama dari film yang mengambil latar Mesir dan Edinburg ini. Namun, apa jadinya seorang Fahri jika hidupnya tidak 'diusik' oleh beberapa perempuan yang hadir dalam kehidupannya. Mungkin Fahri, tidak akan menjadi seorang dosen Filologi.
Sejak awal, film Ayat-Ayat Cinta selalu memberi campur tangan seorang perempuan dikehidupan tokoh utama laki-laki. Kemunculan mereka juga beragam dari yang jatuh hati, menolak keras, hingga menganggap Fahri seperti seorang anak.
Dalam bahasan kali ini, anda akan diajak untuk melihat betapa kuat dan cerdasnya para wanita yang ada di film Ayat-Ayat Cinta 1 (2008) dan 2 (2017). Pada film pertama anda bisa menemui Aisha, Maria, Noura, dan Nurul. Pada film kedua ada Aisha, Sabina, Hulya, Keira, Brenda, dan Nenek Catarina.
Beberapa tokoh wanita yang ada mendobrak stereotipe mengenai wanita Indonesia dan wanita beragama Islam. Pada umumnya, mereka dipandang sebagai wanita yang harus patuh dengan laki-laki, tidak berpendidikan, dan tidak bisa menyuarakan pendapat mereka.
Karakter para wanita ini menunjukan sisi feminisme dalama sebuah film. Feminisme dalam Ryan (2012), adalah pandangan yang menentang feminitas dan patriarki. Feminisme berbicara mengenai hak atas peran yang lebih besar bagi perempuan. Beberapa diantaranya adalah perempuan memiliki akses untuk segala bidang, kebebasan profesi dan sumber daya, hingga peran yang kuat dalam film.