film Sang Penari (2011) dengan fokus di atas memiliki paradigma fungsionalisme.Â
Penari Ronggeng boleh jadi kebanggaan desa yang membesarkannya. Dielu-elukan dan dipamerkan ke desa hingga kota seberang. Sayang sekali, rasa cinta yang teramat membuat warga terlena untuk memujanya. Segala peristiwa yang menimpa desa, dipusatkan kepada Srintil, Sang Ronggeng. Sudah menjadi budaya, bahwa hakikat penari Ronggeng adalah sumber mata air padukuhan. Bila penuh air, berkecukupan, bila kering, kesusahan. Dari beragam paradigma,Film selalu membawa pesan atau makna tersembunyi. Bisa berupa teka-teki alur, bisa juga berupa sudut pandang.
Sudut pandang untuk memandang maksud dari cerita yang disampaikan film bernama paradigma.
Mungkin anda mulai mengingat kembali atau menyimpulkan pernah mencari paradigma suatu film usai menontonnya bersama kekasih, rekan, atau keluarga.
"Ohh ini fokusnya disatir kelas sosial masyarakat"
"Kalau sutradaranya si A, filmnya pasti bikin bingung pakai logika sains gitu"
Paradigma disisipkan oleh mereka yang melakukan proses produksi dan menuangkan ide di dalam film, terutama sutradara.
Lalu, bagaimana cara menguak paradigma yang ada pada sebuah film ?
Pada artikel kali ini, anda akan diajak mendalami salah satu paradigma bernama fungsionalisme menggunakan satu film karya anak bangsa, Sang Penari (2011).
Paradigma Fungsionalisme, Paradigma yang Berkacamata dari Masyarakat
Paradigma bisa dikatakan sebagai suatu sudut pandang atau cara pandang.
Di luar perfilman, anda pasti sudah tahu bahwa paradigma berkaitan dengan hal-hal penelitian atau ilmuwan. Paradigma menjadi sebuah dasar untuk berpikir dalam mengkaji suatu fenomena, budaya hingga sosial.
Dalam ranah perfilman, paradigma memiliki fungsi tersendiri. Paradigma membantu batasan dalam ketika anda menginterpretasi makna atau nilai dari film.
Paradigma menuntun anda untuk berjalan lurus ketika menganalisa fenomena yang paling menonjol dari film.
Paradigma yang digunakan untuk bahasan kali ini adalah paradigma fungsionalisme. Dalam Winda Rahmadai (2017), paradigma fungsionalisme digunakan untuk menggali mitos.
Fungsionalisme memiliki asumsi tentang kehidupan masyarakat dalam aspek sosio-budaya ibarat tubuh manusia. Saling bergantung satu sama lain serta tidak dapat dipisahkan.
Begini kunci utama dari paradigma ini, keberlangsungan dinamika kehidupan aspek sosio-budaya bisa bertahan ketika tiap individu dalam masyarakat menggantungkan diri satu sama lain dan menggunakan fungsinya satu sama lain.
Keteraturan yang terjadi membuat hidup masyarakat berjalan baik.
Maka, ketika ada suatu hal yang merusak tatanan, itu dikatakan sebagai sebuah penyakit.
Pembahasan kali ini, anda akan diberikan suguhan hasil telaah mengenai fenomena yang ada dalam sebuah film.
Ronggeng Dukuh Paruk, Penari Molek Pembawa Kunci Keberlangsungan Hidup Padukuhan Paruh dalam Sang Penari (2011)
Sang Penari (2011) sebelumnya merupakan sebuah novel dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk. Novel yang terbit ditahun 1982 tersebut adalah bagian dari trilogi yang ditulis oleh Ahmad Tohari.
Hingga kemudian pada tahun 2011, Ifa Isfansyah merilis karya film berdasarkan novel tersebut. Disarankan anda menonton dan mengapresiasi film ini dikala senggang.
Film digarap tidak jauh berbeda dengan novel. Srintil yang dari kecil berkenginan untuk menjadi Ronggeng di Dukuh Paruh tempatnya dibesarkan dengan Rasus seorang pemuda desa yang tumbuh gagah di bawah didikan militer.
Paradigma yang terlihat dalam film ini adalah paradigma fungsionalisme.
Tatanan sosial dalam masyarakat Paruk memiliki fungsinya masing-masing serta saling berkaitan. Tanpa terkecuali Srintil yang diperankan oleh Prisia Nasution.
Ronggeng dalam Dukuh Paruk membawa kehidupan. Roh yang ada dalam penari membawa rejeki dan nyawa kehidupan desa.
Ketika penari menua dan meninggal, desa terasa hampa dan tidak bergairah. Sebaliknya ketika mereka menemukan pengganti penari lama, warga berbinar berpesta beberapa malam hingga kegiatan panen berjalan lancar.
Kehadiran Ronggeng tidak hanya ditentukan oleh takdir, tetapi juga merupakan campur tangan dari dukun tetua desa. Sepasang suami istri yang mendidik, memingit, dan 'menjajakan' Srintil sang penari primadona desa.
Srintil adalah bagian dari desa. Yang boleh memilikinya hanya desanya. Maka ketika orang asing masuk mengubah sistem, mengadu domba warga, menarik Srintil, Dukuh Paruk menjadi kacau berantakan.
Anda mendapatkan poinnya di sini bukan ?
Srintil memang individu yang menggapai mimpinya. Namun, mimpinya merupakan sistem dari budaya yang ada di Dukuh Paruk. Kehadirannya sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan sosio dan budaya yang ada.
Maka, ketika Srintil kehilangan pamornya, desa redup dan hilang nyawa.
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan bentuk produk sosio-budaya yang memiliki fungsi tersendiri berkaitan dengan desa. Ronggeng Dukuh Paruk juga sebuah fenomena yang lekat dengan Dukuh Paruk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H